Senin, 29 Maret 2010

Rahasia Aidit

Rahasia Aidit
Disajikan Oleh RB Surya M Sastra
Anggota FPKS DPR RI
A-264

Edisi. 32/XXXVI/ 01 - 7 Oktober 2007

Hilmar farid
*Sejarawan



Aidit memimpin PKI sejak Januari 1951. Baru beberapa bulan, partai yang baru dipukul secara politik dan fisik menyusul peristiwa Madiun 1948 itu kembali berhadapan dengan represi. Pada pertengahan Agustus, ribuan pemimpin dan kader partai ditangkap di Medan dan Jakarta. Ini terjadi setelah serangan terhadap sebuah kantor polisi di Tanjung Priok oleh gerombolan yang mengenakan simbol palu arit. Sekalipun pemimpin partai membuat pernyataan tidak terlibat dalam serangan itu, pemerintah Sukiman tetap mengirim aparat untuk mengejar kaum komunis. Aidit bersama Lukman dan Njoto lolos dari kejaran.

Tepat empat tahun kemudian, September 1955, PKI menempati urutan keempat dalam pemilihan umum dengan 6,1 juta suara atau meraih 16,4 persen dari total suara. Dua tahun kemudian, dalam pemilihan daerah, jumlah suara untuk PKI meningkat hampir 40 persen, bahkan di beberapa daerah mereka mayoritas. Jumlah anggotanya yang semula hanya 4.000 orang meningkat puluhan kali lipat. Pada 1957 Aidit dengan bangga melaporkan bahwa jumlah perempuan anggota partai sudah mencapai 100 ribu. Pada usia 32 tahun Aidit sudah menjadi pemimpin salah satu kekuatan politik pasca-revolusi yang paling signifikan dan hidup.

Apa rahasia Aidit mengubah partai yang semula terbelah ke dalam banyak faksi menjadi kekuatan politik yang solid dan andal?

Pengambilalihan partai dari apa yang disebut ”kalangan tua” oleh Aidit, Lukman, dan Njoto, pada awal 1951 bukanlah proses yang mudah. Perdebatan berlangsung di tingkat pimpinan pusat sampai kader-kader daerah. Dalam berbagai kesempatan, Politbiro baru di bawah Aidit menggunakan tangan besi. ”Pengadilan” dibentuk untuk mendisiplinkan kader yang berseberangan pandangan dengan pemimpin baru. Banyak dari mereka yang diadili kemudian diturunkan jabatan dan status keanggotaannya, bahkan dikeluarkan dari partai.

Setelah berhasil melakukan konsolidasi dengan menyatukan unsur-unsur yang setuju pada garis kebijakan baru partai, Politbiro yang dipimpin Aidit mulai membangun struktur organisasi yang ketat. Orang yang bertanggung jawab melakukan tugas berat ini adalah Sudisman. Seleksi dan perekrutan anggota dirapikan. Setiap calon anggota melalui tahap pemeriksaan dan pengawasan selama lima sampai enam bulan sebelum menjadi anggota penuh dan kemudian kader partai. Pada saat bersamaan diberlakukan juga asas demokrasi di mana kader bisa menyuarakan perbedaan pendapat dan kritik sehingga tidak terakumulasi menjadi faksi seperti terjadi pada masa sebelumnya.

Pendidikan politik mendapat perhatian khusus dan menurut Ruth McVey inilah kunci yang membuat PKI mempesona banyak orang. Di tengah sistem pendidikan nasional yang belum berkembang, jumlah sekolah dan guru yang terbatas, kegiatan pendidikan yang diselenggarakan PKI di berbagai tingkat seperti menjadi jalan menuju modernitas. Analisis Marxis, studi ekonomi politik, sejarah masyarakat, yang diajarkan di sekolah dan kursus politik milik partai tidak hanya menawarkan isi tapi juga cara ”berilmu” baru.

Perluasan pendidikan ini dibarengi dengan berlipat gandanya kegiatan penerbitan. Harian Rakjat, yang semula terbit terbatas untuk kader dan anggota partai, pada awal 1957 sudah menjadi harian dengan tiras 60 ribu eksemplar. Cabang-cabang partai mempunyai penerbitan sendiri seperti Suara Ibukota di Jakarta, Suara Persatuan di Semarang, Buletin PKI Djawa Timur di Surabaya, dan Lombok Bangun di Mataram. Terjemahan karya asing ke dalam bahasa Indonesia banyak dilakukan. Di Jawa Barat, kader partai membaca karya Mao dalam bahasa Sunda.

Namun elemen yang paling penting dalam konsolidasi partai adalah tumbuhnya komunitas yang berpusat pada organisasi partai. Kantor partai adalah tempat yang hidup dan para pengurusnya adalah orang yang aktif dalam komunitas. Organisasi secara konkret membantu anggota menghadapi masalah, mulai dari tekanan politik pihak lawan sampai urusan sehari-hari seperti melahirkan dan kematian. Menurut Donald Hindley, PKI berhasil membangun komunitas-komunitas berbasis solidaritas dalam masyarakat yang penuh ketegangan dan pertentangan.

Perkembangan pesat ini hampir tidak mendapat hambatan berarti. Sejak 1951 Aidit menitikberatkan perjuangan partai melalui jalan parlemen. Dengan strategi front nasional PKI berhasil menciptakan ruang yang memudahkan konsolidasi partai. Sepanjang 1950-an PKI praktis tidak pernah ”bermain di luar jalur” seperti halnya partai-partai yang bertualang dengan terlibat aksi pemberontakan di daerah-daerah, usaha putsch atau persekongkolan untuk menyingkirkan pemimpin nasional. Tidak mengherankan jika Soekarno melihatnya sebagai sekutu penting untuk mengimbangi tekanan pihak militer.

Semua ini berubah pada awal 1960-an. Angkatan Darat dan kekuatan antikomunis kini melihat PKI sebagai ancaman nyata. Ancaman bahwa PKI akan berhasil menguasai pemerintah melalui pemilihan umum dan perjuangan parlementer membuat lawan politiknya diam-diam mensyukuri Demokrasi Terpimpin. Ketegangan sosial dan politik meningkat karena perekonomian memburuk. Para ahli psychological warfare dalam maupun luar negeri sementara itu meramaikan suasana politik dengan desas-desus, pengacauan informasi, dan aksi subversi.

PKI mulai memasuki gelanggang politik baru. Tekanan berbagai pihak membuat keputusan-keputusan penting semakin terpusat di tangan segelintir pimpinan. Jarak dengan massa mulai terasa. Komunitas yang tumbuh di sekeliling organisasi partai kini terpusat pada mobilisasi dan semakin banyak pertimbangan survival yang melandasi kebijakan partai. Buruh dilarang mogok, petani diminta menahan diri agar tidak mengambil alih lahan, jika sasarannya adalah sekutu dalam front nasional.

Jarak pemimpin dengan massa semakin terasa, sekalipun jumlah anggota partai semakin bertambah. Itu membuat PKI seperti ”raksasa berkaki lempung”, meminjam istilah sejarawan Jacques Leclerc.

Seruan Aidit untuk memperkuat barisan partai dengan menambah jumlah anggota tidak hanya disambut oleh rakyat di kampung dan desa yang melihat PKI sebagai pintu menuju modernitas dan kemakmuran, tapi juga para pejabat dan mereka yang dalam analisis sosial PKI disebut kabir alias kapitalis birokrat. Bagi mereka menjadi anggota partai adalah jalan mengamankan posisi dalam birokrasi dan membangun perlindungan diri menghadapi pergulatan sosial yang kadang berlangsung keras dan penuh konflik. PKI pun tumbuh menjadi tubuh besar yang lamban dan tidak lagi tangkas menghadapi perubahan.

Di tengah keadaan ini Aidit mendengar berita tentang Dewan Jenderal yang berencana menggulingkan pemerintahan Soekarno. PKI sebagai partai sudah terlalu lamban untuk mengikuti dinamika yang berlangsung cepat. Keadaan menuntut ketangkasan politik. Ketika keputusan menentukan harus diambil dalam hitungan hari dan jam, Aidit pun terkucil dari Comite Central dan kawan-kawannya sendiri. Selama September 1965 tidak ada lagi rapat Politbiro. Aidit bersama sejumlah pemimpin partai terseret dalam gelap politik klandestin, agen ganda, dan tipu daya.

Ada yang menyebutnya pengkhianatan. Ada juga yang bilang petualangan. Bagi saya, kata yang lebih tepat adalah tragedi.

DN.Aidit, PKI dan G30S: Pemimpin Muda yang Enerjetik

DN.Aidit, PKI dan G30S: Pemimpin Muda yang Enerjetik
Oleh: Harsutejo
Sudah sejak muda, sejak jaman penjajahan Belanda, Aidit dalam umur belasan tahun telah ikut serta dalam gerakan melawan penjajahan dalam berbagai bentuknya. Sudah sejak muda pula ia gemar membaca dan tertarik pada marxisme. Di masa revolusi fisik ada sebutan populer di kalangan kaum kiri, “mabuk marxisme” dalam artian positif, giat belajar teori dengan membaca, berdiskusi dan berdebat serta kursus-kursus politik sejak masa pendudukan Jepang, serta menerapkannya dalam praktek perjuangan. Selanjutnya juga menuliskan berbagai gagasannya.

Di Menteng 31 bersama banyak pemuda yang lain ia digembleng para pemimpin nasional. Sejumlah pemuda di antara mereka itu di kemudian hari menjadi tokoh komunis, di samping DN Aidit, di antaranya Wikana (salah seorang tokoh pemuda yang berperan penting dalam “penculikan” Bung Karno dan Bung Hatta pada 15 Agustus 1945), MH Lukman, Sidik Kertapati dsb. Jadi tidak benar jika sejarawan Prof Dr Brigjen Nugroho Notosusanto menyatakan kaum komunis tidak punya peran dalam Proklamasi 17 Agustus 1945, ini bagian dari pemalsuan sejarah.

Pada usia 38 tahun pada 1951 Aidit menjadi pemimpin tertinggi PKI bersama MH Lukman dan Nyoto. Pada 1952, setahun setelah kepemimpinannya, anggota PKI terdiri dari 8.000 orang. Tetapi pada 1964 mereka telah menghimpun jutaan anggota. Dalam pemilu demokratis pertama pada 1955 PKI keluar sebagai partai terbesar keempat, dalam pemilu di Jawa pada 1957 PKI meningkat sebagai partai terbesar pertama. Ini sungguh suatu prestasi luar biasa yang dicapai para pemimpin PKI muda usia. Oleh karenanya pihak pimpinan AD tidak menyukai pemilu semacam itu. Sebelum tragedi 1965 PKI mengklaim memiliki 3 juta anggota dengan 20 juta pengikut dan simpatisan, di antaranya terhimpun dalam organisasi massa. PKI menjadi partai komunis terbesar di luar kubu sosialis. Dengan demikian Aidit menjadi tokoh komunis internasional yang suaranya tidak dapat diabaikan oleh kawan maupun lawan. Namanya berkibar dalam iklim perang dingin antara blok kapitalis dengan blok komunis, perang ideologi antara komunis “murni” dan komunis “revisionis”, persaingan dan perkelahian antara blok Partai Komunis Uni Soviet (PKUS) dengan Partai Komunis Tiongkok (PKT). Dalam perselisihan ideologi ini PKI di bawah pimpinan Aidit cs berusaha bersikap netral secara politik.

Sebagai partai massa PKI memiliki disiplin tinggi, keanggotaannya diatur secara berjenjang yang dimulai dengan calon anggota sebelum seseorang diterima sebagai anggota penuh yang didampingi seorang pembina. Hal itu di antaranya didasarkan pada ideologi seseorang serta pengalaman perjuangan dan kontribusinya terhadap Partai. Dengan kriteria semacam itulah seseorang dapat menduduki kepengurusan Partai maupun jabatan dalam pemerintahan setelah kemenangan pemilu. Untuk hal-hal penting semacam di atas, butir kredit buat pemimpin kolektif tertinggi PKI, utamanya pada tokoh Aidit. Pemimpin muda ini sangat dinamis, berani, bergerak cepat, dengan daya tahan fisik dan mental luar biasa, bisa jadi sejumlah kawannya terkadang tertinggal dengan geraknya. Di samping itu ia pun tak lupa menekankan akan pentingnya kesabaran revolusioner dalam perjuangan jangka panjang.

Teori Kudeta, Retorika Revolusi

Aidit berada dalam rombongan delegasi Indonesa keluar negeri dalam rangka KAA di Aljazair yang gagal pada akhir Juni 1965, karena kudeta Kolonel Boumedienne terhadap Presiden Ben Bella yang baru saja terjadi. Delegasi melanjutkan perjalanan ke Paris,. di kota ini Aidit bertemu dengan enam orang kameradnya pelarian dari Aljazair. Ia menganjurkan mereka kembali ke negerinya untuk mendukung Kolonel Boumedienne. Kudeta itu disebutnya sebagai kudeta progresif. Jika kudeta itu didukung oleh paling tidak 30% rakyat maka hal itu dapat diubah menjadi revolusi rakyat. Demikian kata Aidit sebelum bertolak ke Moskow. Barangkali ia pun mengambil model Revolusi Oktober 1917 yang digerakkan Lenin dan Trotsky berupa pengambilalihan kekuasaan dengan kekuatan militer. Sekalipun demikian banyak pihak di kalangan kaum komunis yang tidak setuju dengan teori baru ini, dikatakan sebagai bertentangan dengan teori marxis. Konon hal ini juga menjadi perdebatan di Moskow. Perkembangan politik di tanahair yang relatif damai ketika itu dengan arus pokok berpihak kepada PKI.

Dalam bulan Agustus 1965, koran PKI Harian Rakjat memuat pernyataan Aidit berupa isyarat yang mengatakan biarlah mangkok, piring, gelas berpecahan untuk kepentingan revolusi. Pada 9 September 1965, di depan sukwati Deppen Aidit menyatakan kaum revolusioner bagaikan bidan dari masyarakat baru yang hendak dilahirkan, sang bayi pasti lahir dan tugas mereka untuk menjaga keselamatannya dan agar sang bayi cepat menjadi besar. Hal ini disambut dengan pernyataan petinggi PKI yang lain, Anwar Sanusi, tanahair sedang hamil tua. Sementara itu serangkaian sidang Politbiro dan Politbiro yang diperluas selama bulan Agustus dan September 1965 membicarakan tentang sakitnya Presiden Sukarno dan rencana pukulan dari pihak Dewan Djenderal (DD) ketika BK tak lagi dapat menjaga keseimbangan politik. Selanjutnya dilaporkan oleh Aidit adanya sejumlah perwira maju yang hendak mendahului guna mencegah kudeta DD.

Sangat menarik pesan Aidit kepada kedua adiknya, Sobron Aidit dan Asahan Aidit yang bertemu di Beijing dalam bulan Agustus 1965. “…Dan juga ingat, sementara ini, mungkin bertahun-tahun ini, jangan dulu memikirkan pulang! …tanahair dalam keadaan gawat dan semakin akan gawat…”. “…kita ini dalam keadaan ancaman… dari pihak tentara… Angkatan Darat.” Sedang kepada Asahan setelah mengetahui adiknya baru akan pulang setahun lagi, ia menyatakan sayang karena ia takkan dapat ikut revolusi. “Revolusi tidak akan menunggumu.” Dalam dua catatan dari dua orang berdasarkan ingatan setelah sekian puluh tahun berlalu itu secara implisit mengandung persamaan penting yakni disebut akan terjadinya sesuatu yang gawat, malah yang ke dua disebut sebagai revolusi.

Sementara itu selama bulan September 1965 terjadi juga serangkaian pertemuan sejumlah perwira militer (Letkol Inf Untung, Kolonel Inf Latief, Mayor Udara Suyono, Mayor Inf Agus Sigit, Kapten Art Wahyudi) yang juga dihadiri oleh Ketua Biro Chusus (BC) PKI Syam beserta pembantunya Pono. Gerakan ini berlanjut dengan penculikan dan pembunuhan 6 orang jenderal AD dan seorang perwira pertama pada dini hari 1 Oktober 1965 oleh gerakan militer yang menamakan dirinya Gerakan 30 September sesuai dengan apa yang diumumkan oleh RRI Jakarta pada pagi harinya.

Diculik atau Dijemput untuk Memimpin Gerakan?

Dalam salah satu kesaksiannya dr Tanti Aidit, pada 30 September 1965 malam hari DN Aidit, suaminya, diculik tentara. Murad Aidit yang juga sedang berada di rumah yang sama tidak memberikan gambaran kecuali “dibawa dengan mobil oleh orang yang tidak kukenal” bersama ajudannya Kusno. Memori seorang anak berumur 6 tahun, Ilham Aidit, agaknya lebih jernih, “Ibunya membentak dua orang berseragam militer warna biru di depan rumah” (Tempo 7 Okt.2007:76). Salah seorang yang menjemputnya ialah Mayor Udara Suyono (dengan seragam AU warna biru) dan membawa DN Aidit ke lingkungan PAU Halim. Di Halim ia kemudian ditemui oleh Ketua BC PKI Syam.

Apakah Aidit diculik bersama pengawalnya? Itu mokal, tidak ada adegan kekerasan di rumahnya di Jl. Pegangsaan, ia pun kemudian “bebas” pergi ke Yogya bersama pegnawalnya dengan pesawat pada tengah malam 2 Oktober 1965. Apa itu sesuai dengan kehendak dan rencana dirinya? Ini sulit dijawab karena terbukti segala rencana dilakukan oleh Ketua BC Syam, ia toh pembantu Ketua PKI Aidit. Apakah dia tidak mengetahui rencana G30S? Mokal jika dia tidak tahu, bisa saja pengetahuan dirinya kemudian dimanipulasi oleh Syam. Apalagi jika kita hubungkan dengan teori Aidit tentang kudeta tersebut di atas, lalu retorika sejumlah petinggi PKI selama bulan Agustus dan September 1965 serta topik sejumlah sidang Politbiro serta pesannya kepada kedua adiknya di Beijing. Apakah dia memimpin G30S? Ini tidak ada buktinya, sebab yang terbukti gerakan ini di lapangan dipimpin oleh Letkol Untung (yang mungkin sekali sekedar wayang), di baliknya lagi-lagi Ketua BC Syam. Apa Syam pun bukan sekedar wayang? Dari mana Syam menerima segala instruksi? Lagi-lagi ini sulit dijawab. Lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Salah satu saksi kunci, DN Aidit telah dilenyapkan dengan buru-buru atas instruksi Jenderal Suharto, tentu dengan suatu alasan kuat. Ada kepentingan apa Jenderal Suharto menghendaki Aidit cepat-cepat dibungkam? Adakah informasi yang dapat mencelakakan diri Suharto jika Aidit diberi kesempatan bicara di depan pengadilan, pengadilan sandiwara sekalipun? Saksi kunci yang lain, Jenderal Suharto, telah melenyapkan banyak hal dan memanipulasi segala sesuatu. Apa yang bisa diharap dari kesaksiannya? Apa dia masih punya hati nurani untuk bicara yang sebenarnya terjadi ketika belum “pikun”? Sementara sejumlah pelaku seperti Letkol Untung, Brigjen Suparjo, Mayor Udara Suyono dieksekusi mati dengan segera maka Syam yang ditangkap pada 1967, dijatuhi hukuman mati pada 1968, menurut catatan resmi baru dieksekusi pada 1986.

Dalam pengakuannya di depan Mahmillub pada 1967-1968, Syam menyatakan seluruh perbuatannya sebagai pelaksanaan instruksi Ketua PKI Aidit termasuk pengumuman dan dekrit yang disampaikan lewat RRI Jakarta menurut pengakuannya disusun oleh Aidit. Segala pengakuan Syam tentang G30S boleh dibilang tidak dapat diperiksa dan dirujuk kebenarannya. Dokumen G30S yang diumumkan pada 1 Oktober 1965 yang terdiri dari pengumuman Letkol Untung, Dekrit No.1, Keputusan No.1 dan Keputusan No.2, rendah mutu politiknya. Dalam pengumuman pertama bernada emosional. Sulit dipercaya dokumen semacam itu disusun oleh seorang Aidit, seorang pemimpin politik yang telah malang melintang secara nasional dan internasional, pemimpin komunis kaliber dunia. Dokumen itu bertentangan dengan politik front nasional yang mati-matian diperjuangkan oleh pimpinan PKI. Terlebih lagi dokumen itu menafikan persekutuannya dengan Presiden Sukarno, kekuasaan negara diambilalih oleh Dewan Revolusi, kabinet Presiden Sukarno didemisionerkan. Apa mungkin Aidit mengubah dasar politik PKI dalam semalam pada saat BK masih segar bugar? Pendeknya dokumen-dokumen tersebut menyerimpung politik PKI ketika itu.

Pembelaan Sudisman dan KOK

Tidak ada pihak di lingkungan PKI [setidaknya yang pernah saya ketahui], di dalam maupun di luar negeri yang meragukan kesahihan dokumen Kritik Otokritik (KOK) Politbiro CC PKI, terlepas di mana dan siapa saja penyusunnya. Sesuai dengan namanya, dokumen ini disusun oleh Politbiro CC PKI dengan sejumlah anggota yang pada akhir 1965 masih hidup sebagai buron rezim militer. Dewasa ini masih ada saksi hidup dalam hal proses penyusunan dokumen ini. Selanjutnya ada dokumen lain berupa pembelaan yang dibacakan Sudisman di depan Mahmillub pada 21 Juli 1967 yang diberi judul “Uraian Tanggungjawab.” Dari tangan Sudisman masih ada satu dokumen lagi berupa pernyataan politik (yang belum selesai ditulis) sebelum ia dieksekusi mati beberapa bulan sesudah Oktober 1968. Sejauh ini juga belum ada pihak yang meragukan kesahihan dokumen yang disusun oleh orang nomor satu PKI ini setelah dibunuhnya DN Aidit, Nyoto dan MH Lukman [sekali lagi setidaknya yang pernah saya dengar].

Dalam pembelaannya Sudisman dengan tegas mengakui “Saya pribadi terlibat dalam G30S yang gagal.” Adakah ini berarti Sudisman atau Aidit terlibat langsung pada operasional gerakan militer G30S, setidaknya memberikan arahan politik? Tidak ada bukti yang mendukungnya. Di bagian lain Sudisman juga dengan tegas menyatakan “tokoh-tokoh PKI, [maksudnya pemimpin teras PKI, hs]…. terlibat dalam G30S, tetapi PKI sebagai Partai tidak terlibat….” Mari kita cermati, Sudisman memisahkan antara pimpinan teras PKI dengan partai bernama PKI, artinya memisahkan pimpinan itu dengan jutaan anggota dan puluhan juta massa PKI. Bukankah di sini antara lain letak keblingernya pimpinan PKI, sejak kapan pimpinan PKI harus dipisahkan dengan Partai-nya, anggota dan massanya, melangkah sendiri tanpa keterlibatan anggota dan massa pendukung? Ataukah kata-kata Sudisman ini sekedar upaya terakhir untuk menyelamatkan Partai yang dia ketahui telah berantakan? Instruksi yang dibawa para utusan dari Jakarta atas petunjuk Aidit, “dengarkan pengumumam RRI pusat dan sokong Dewan Revolusi [DR].” Dan itulah yang dilakukan sejumlah massa kiri di Yogyakarta pada 2 Oktober 1965 melakukan demonstrasi yang kepancal kereta, ketika gerakan di Jakarta telah berhenti sehari sebelumnya dan situasi sudah berada dalam genggaman Jenderal Suharto. Instruksi untuk mendukung DR tidak dijalankan di tempat lain.

Sudisman juga menyatakan, “Dalam mengatur gerakan sangat dibutuhkan di samping keberanian adanya kepandaian revolusioner dalam menentukan waktu yang tepat dan memimpin gerakan. Faktor-faktor ini tidak dipenuhi oleh G30S sehingga menyebabkan kegagalannya. Ditambah lagi gerakan itu terpisah sama sekali dari kebangkitan massa.” Dapatkah dikatakan menurut Sudisman secara implisit, setidaknya secara politik, G30S dipimpin oleh para petinggi PKI yang terpisah dari massa anggota dan pendukungnya? Selanjutnya Sudisman menghubungkan hal tersebut dengan kelemahan dan kesalahan PKI di bidang ideologi, politik dan organisasi sebagaimana dibahas dalam KOK. Ada keterangan menarik, ketika Aidit baru saja sampai dari Jakarta, ia mengatakan, “Wah celaka, kita ditipu oleh Suharto.” Demikian yang diceritakan oleh seseorang yang pernah bekerja di kantor CC PKI. Sayang keterangan ini tidak dapat dirujuk silang dengan narasumber lain yang memadai.

Ketika PKI dan seluruh organisasi massa pendukungnya diobrak-abrik oleh pasukan militer Jenderal Suharto dengan dukungan massa kanan, maka ada instruksi dari pimpinan PKI yang tersohor di kalangan anggota bawah, yakni apa yang disebut “defensif aktif.’ Suatu istilah yang tidak dikenal dalam yargon mereka, instruksi kabur yang membingungkan tanpa keterangan jelas. Umumnya mereka menafsirkan sebagai “selamatkan diri, jangan melakukan perlawanan apa pun.” Karena tidak ada lagi tempat untuk menyelamatkan diri dan berlindung maka berbondong-bondonglah orang menyerahkan diri kepada musuh, sebagian dengan ilusi akan mendapatkan perlindungan. Kenyataan tiadanya perlawanan sebagai yang digembar-gemborkan pimpinan PKI semasa damai ini cukup mengejutkan pihak pasukan Suharto dan para aktivis kanan. Maka tidak aneh jika sejarawan Jacques Leclerc kemudian menyebut PKI sebagai raksasa berkaki lempung. Tetapi hampir dapat dipastikan Leclerc akan menulis yang lain jika ia lakukan sebelum tragedi, terlebih apabila ia menghadiri parade 45 tahun PKI pada 23 Mei 1965. Bagaimanapun PKI sebuah partai politik, tidak memiliki barisan bersenjata. Di pihak lain pimpinan PKI mengklaim memiliki pengaruh besar di kalangan angkatan bersenjata. Dalam kenyataannya pengaruh ini tidak punya peran dalam memperkecil korban. Sejumlah batalion yang disebut “merah” yang ditarik dari Kalimantan dalam rangka konfrontasi, kemudian dilucuti dan dijebloskan ke penjara. Pembersihan di kalangan angkatan bersenjata dilakukan bertahap dan sangat sistimatis.

Sebagian besar pendukung BK terutama di kalangan angkatan bersenjata sampai akhir 1965 dan permulaan 1966 berharap BK akan segera memberikan perintah untuk menindak keras para pembangkang, Jenderal Suharto cs, sebelum mereka lebih merajalela dan menjerumuskan negeri ini. Itulah yang juga ditunggu pimpinan PKI untuk waktu tertentu, setidaknya suatu penyelesaian politik yang tidak kunjung tiba, sampai PKI hancurluluh. Sebagaimana diuraikan dalam KOK, pimpinan PKI tidak bertindak independen, tetapi menggantungkan diri pada Presiden Sukarno.

Diukur dari ajaran BK maka apa yang telah dilakukan Jenderal Suharto sepenuhnya keblinger, kita tak dapat berharap yang lain dari dirinya. Para pemimpin lain yang memiliki kapasitas untuk melakukan perlawanan terhadap kegiatan berdarah Jenderal Suharto serta menghentikannya juga telah keblinger karena praktis membiarkan Suharto bersimaharajalela.

Source: www.teguhtimur.wordpress.com

Sumber: http://notbraindamage.wordpress.com/2007/11/17/dn-aidit-pki-dan-g30s-pemimpin-muda-yang-enerjetik/

D.N. Aidit Menggugat Peristiwa Madiun

D.N. Aidit Menggugat Peristiwa Madiun

Tulisan ini adalah pidato Kawan D.N. Aidit didalam Sidang DPR tanggal 11 Februari 1957 mendjawab keterangan anggota DPR Udin Sjamsudin (Masjumi) jang mentjoba menutupi maksud2 kontra-revolusioner dari "dewan2 partikelir" di Sumatera dengan menjinggung2 soal Peristiwa Madiun.

Dengan pidato Kawan D.N. Aidit ini masjarakat dapat mengetahui dengan lebih djelas lagi hakekat Peristiwa Madiun, suatu provokasi reaksi jang dilantjarkan oleh Hatta dan arti pemberontakan kontra-revolusioner gerombolan Siinbolon dan Ahmad Husein jang satu tahun kemudian mentjapai puntjaknja dengan diproklamasikannja "Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia" di Padang oleh gembong2 Masjumi-PSI seperti Sjafruddin Prawiranegara dan Sumitro Djojohadikusumo.

Dengan tulisan ini Rakjat Indonesia sampai sekarang mempunjai tiga dokumen penting tentang Peristiwa Madiun jaitu : B u k u P u t i h t e n t a n g P e r i s t i w a M a d i u n jang diterbitkan oleh Departemen Agitprop CC PKI, M e n g g u g a t P e r i s t i w a M a d i u n dan K o n f r o n t a s i P e r i s t i w a M a d i u n 1 9 4 8 -- P e r i s t i w a S u m a t e r a ( 1 9 5 6 )

Komisi Pilihan Tulisan
D.N. Aidit dari CC PKI.

Terlebih dulu saja ingin menjatakan bahwa Pemerintah Ali-ldham dalam keterangannja pada tanggal 21 Djanuari dan dalam djawabannja pada pandangan umum babak pertama pada tanggal 4 Februari jl. bisa membatasi diri pada persoalannja, jaitu tentang kedjadian2 di Sumatera dalam bulan Desember 1956. Hal ini dapat saja hargai dan tentang ini kawan2 sefraksi saja sudah menjatakan pendapat Fraksi PKI.

Pada pokoknja pendapat kami mengenai kedjadian2 di Sumatera dalam bulan Desember tahun jl. Adalah sbb. :
Pertama : Kedjadian2 di Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan adalah rentetan kedjadian jang sengadja ditimbulkan oleh sebuah partai ketjil jang kalah dalam pemilihan umum jl. jang berhasil mendalangi sebuah partai besar dan oknum2 liar, jang tidak melihat kemungkinan dengan djalan demokratis dapat duduk kembali dalam kekuasaan sentral, dan jang hanja melihat kemungkinan dengan djalan menggunakan saluran partai2 lain, dengan djalan mempertadjam pertentangan antara partai2 agama dengan PKI dan PNI, dengan bikin2an menimbulkan kemarahan Rakjat didaerah2 supaja memberontak terhadap Pemerintah Pusat, dengan djalan mengadudomba suku satu dengan suku lainnja dan dengan djalan menghasut orang2 militer supaja memberontak kepada atasannja.

Kedua : Kedjadian2 tersebut terang sedjalan dan berhubungan dengan rentjana kaum imperialis, jang dipelopori oleh Amerika Serikat untuk menarik Indonesia kedalam pakt militer SEATO. Rentjana2 dari pemberontak di Sumatera untuk memisahkan Sumatera dan Kalimantan dari Pemerintah Pusat dan untuk mendirikan negara sendiri jang mempunjai peralatan sipil dan militer sendiri, jang mempunjai hubungan luarnegeri sendiri, adalah sepenuhnja sedjalan dengan rentjana Amerika Serikat jang diatur oleh Pentagon (Kementerian Pertahanan) dan State Department (Kementerian Luarnegeri) Amerika Serikat, oleh "djendral2" DI-TII dan oleh aparat2 serta kakitangan2 Amerika Serikat jang ada di Indonesia.

Djadi, persoalannja adalah djelas, jaitu. kepentingan vital Rakjat Indonesia disatu fihak berhadapan langsung dengan kepentingan kaum imperialis asing difihak lain. Dalam hal ini Pemerintah Ali-Idham menjatukan diri dengan kepentingan Rakjat Indonesia, dan oleh karena itu PKI tidak ragu2 berdiri difihak Pemerintah dan melawan kaum pemberontak serta aktor2 intelektualisnja. Demikianlah, kalau mengenai persoalannja. Djelas dimana kami berdiri, dan djelas pula dimana fihak lain berdiri. Tetapi, disamping pemerintah dapat membatasi diri pada persoalan jang sedang dihadapi, anggota jang terhormat Udin Sjamsudin telah mem-bawa2 Peristiwa Madiun, dengan maksud mengaburkan persoalan.

Dalam Soal Peristiwa Madiun Kaum Komunis Adalah Pendakwa
Anggota tsb. telah me-njebut2 Peristiwa Madiun dalam hubungan dengan Peristiwa Sumatera, antara lain dikatakannja "pelopor pemberontakan di Indonesia ini setelah Indonesia Merdeka adalah Partai Koniunis Indonesia", selandjutnja "kaum Komunislah jang mendjadi mahaguru pemberontakan" dan "bibitnja sudah menular keseluruh Indonesia". Maksud pembitjara tsb. djelas, jaitu supaja dalam soal peniberontakan Kolonel Simbolon dan Letnan Kolonel Ahmad Husein djuga PKI jang disalahkan. Lihatlah, betapa tidak tahu malunja orang mentjari kambinghitamnja, sama dengan tidak tahu malunja mereka menjalahkan PKI dalam hubungan dengan Peristiwa Madiun. Saja tidak membantah, bahwa baik Peristiwa Madiun maupun Peristiwa Sumatera mempunjai satu sumber dan satu tudjuan, jaitu bersumber pada imperialisme Amerika dan Belanda dan bertudjuan untuk meletakkan Indonesia sepenuhnja dibawah telapak kaki mereka.

Berhubung dengan sebuah statement Politbiro CC PKI tanggal 13 September 1953 saja pernah dihadapkan kemuka pengadilan. Dalam sidang pengadilan tanggal 27 Djanuari 1955, dengan berpegang pada ajat 3 fasal 310 KUHP jang ditimpakan pada saja, sudah saja njatakan kesediaan saja kepada pengadilan untuk membuktikan dengan saksi2 bahwa Peristiwa Madiun memang provokasi dan bahwa dalam Peristiwa Madiun tsb. tangan Hatta-Sukiman-Natsir cs. memang berlumuran darah. Dengan ini berarti bahwa Hatta, ketika itu masih wakil Presiden, harus tampil sebagai saksi berhadapan dengan saja. Kesediaan saja ini, jang djuga diperkuat oleh advokat saja, Sdr. Mr. Suprapto, tidak mendapat persetudjuan. pengadilan. Djaksa menjatakan keberatannja akan pembuktian jang mau saja adjukan dengan saksi2. Oleh karena djaksa menolak pembuktian jang mau saja adjukan, maka djaksa terpaksa mentjabut tuduhan melanggar fasal 310 dan 311 KUHP. Djelaslah, bahwa ada orang2 jang kuatir kalau Peristiwa Madiun ini mendjadi terang bagi Rakjat.

Djadi, mengenai Peristiwa Madiun kami sudah lama siap berhadapan dimuka pengadilan dengan arsiteknja Moh. Hatta. Ini saja njatakan tidak hanja sesudah Hatta berhenti sebagai wakil Presiden, tetapi seperti diatas sudah saja katakan, djuga ketika Hatta masih Wakil Presiden. Saja tidak ingin menantang siapa-siapa, tetapi kapan sadja Hatta ingin Peristiwa Madiun dibawa kepengadilan, kami dari PKI selarnanja bersedia menghadapinja. Kami jakin, bahwa djika soal ini dibawa kepengadilan bukanlah kami jang akan mendjadi terdakwa, tetapi kamilah pendakwa. Kamilah jang akan tampil kedepan sebagai pendakwa atasnama Amir Sjarifuddin, putera utama bangsa Indonesia jang berasal dari tanah Batak, atasnama Suripno, Maruto Darusman, Dr. Wiroreno, Dr. Rustam, Harjono, Djokosujono, Sukarno, Sutrisno, Sardjono dan beribu-ribu lagi putera Indonesia jang terbaik dari suku Djawa jang mendjadi korban keganasan satu pemerintah jang dipimpin oleh burdjuis Minangkabau, Mohammad Hatta. Demikian kalau kita mau berbitjara dalam istilah kesukuan, sebagaimana sekarang banjak digunakan oleh pembela2 kaum pemberontak di Sumatera, hal jang sedapat mungkin ingin kami hindari. Ja, kami djuga akan berbitjara atasnama perwira2, bintara2 dan pradjurit2 TNI jang tewas dalam "membasmi Komunis" atas perintah Hatta, karena mereka djuga tidak bersalah dan mereka djuga adalah korban perang-saudara jang dikobarkan oleh Hatta.

Dalam pembelaan saja dimuka pengadilan tanggal 24 Februari 1955 telah saja katakan "bahwa diantara orang2 jang karena tidak mengertinja telah ikut dalam pengedjaran 'terhadap kaum Komunis', tidak sedikit sekarang sudah tidak mempunjai purbasangka lagi terhadap PKI dan sudah berdjandji pada diri sendiri untuk tidak lagi mendjadi alat perang-saudara dari kaum imperialis dan kakitangannja". Alat2 negara sipil maupun militer sudah mengerti bahwa dalam Peristiwa Madiun mereka telah disuruh memerangi saudara2 dan teman2nja sendiri.

Sudah mendjadi rahasia umum, bahwa dalam pemiiihan umum untuk Parlemen maupun untuk Konstituante lebih 80% daripada anggota2 Angkatan Perang memberikan suaranja kepada partai2 demokratis, dan 30% daripada suara jang diberikan anggota Angkatan Perang adalah diberikan kepada PKI. PSI dan Masjumi hanja mendapat kurang dari 20%, djadi kurang dari suara jang didapat oleh PKI sendiri atau PNI sendiri. PSI jang mempunjai pengaruh disedjumlah opsir tinggi adalah partai kelima didalam Angkatan Perang, sedangkan Masjumi, karena politik pro Dl-nja, adalah partai keenam. Dengan ini, saja hanja hendak memibuktikan bahwa memukul PKI dengan menjembar-njemburkan Peristiwa Madiun adalah tidak merugikan PKI, malahan memberi alasan pada kami untuk berbitjara dan mendjelas-djelaskan tentang Peristiwa Madiun.

Apalagi sekarang, sesudah terdjadi pemberontakan kolonel Simbolon di Sumatera Utara dan pemberontakan "Dewan Banteng" di Sumatera Barat, menggunakan Peristiwa Madiun untuk memukul PKI adalah seperti menepuk air didulang, bukan muka PKI jang kena, tetapi muka Masjumi dan PSI sendiri jang sekarang membela pemberontak2 di Sumatera itu dengan mati2an.

Hatta Bertanggungdjawab Atas Pentjulikan, Pembunuhan Dan Perang-Saudara Tahun 1948
Mari, dalam menilai kebidjaksanaan pemerintah Ali-Idham sekarang, kita perbandingkan antara kebidjaksanaan pemerintah Hatta tahun 1948 mengenai Peristiwa Madiun dengan kebidjaksanaan pemerintah Ali-ldham sekarang. Dari hasil penilaian ini saja akan rnenentukan sikap saia terhadap kebidjaksanaan pemerintah sekarang. Peristiwa Madiun didahului oleh kedjadian2 di Solo, mula2 dengan pembunuhan atas diri kolonel Sutarto, Komandan TNI Divisi IV, dan kemudian pada permulaan September 1948 dengan pentjulikan dan pembunuhan terhadap 5 orang perwira TNI, jaitu major Esmara Sugeng, kapten Sutarto, kapten Sapardi, kapten Suradi dan letnan Muljono. Djuga ditjulik 2 orang anggota PKI, Slamet Widja,ja dan Pardijo. Kenjataan bahwa saudara jang ditjulik ini pada tgl 24 September dimasukkan kedalam kamp resmi di Danuredjan, Djokdjakarta, membuktikan bahwa pemerntah Hatta langsung tjampurtangan dalam soal pentjulikan2 dan pembunuhan2 diatas. Ini tidak bisa diragukan lagi !

Dalam pidatonja tgl. 19 September 1948 Presiden Sukarno mengatakan bahwa Peristiwa Solo dan Peristiwa Madiun tidak berdiri sendiri. Ini sepenuhnja benar ! Sesudah pentjulikan2 dan pembunuhan2 di Solo jang diatur dari Djokja, keadaan di Madiun mendjadi sangat tegang sehingga terdjadilah pertempuran antara pasukan2 dalam Angkatan Darat jang pro dan jang anti pentjulikan2 serta pembunuhan2 di Solo, jaitu pertempuran pada tgl. 18 September 1948 malam. Dalam keadaan katjaubalau demikian ini Residen Kepala Daerah tidak ada di Madiun, Wakil Residen tidak mengambil tindakan apa2 sedangkan Walikota sedang sakit. Untuk mengatasi keadaan ini maka Front Demokrasi Rakjat, dimana PKI termasuk didalamnja, mendesak supaja Kawan Supardi, Wakil Walikota Madiun bertindak untuk sementara sebagai pendjabat Residen selama Residen Madiun belum kembali. Wakil Walikota Supardi berani mengambil tanggungdjawab ini. Pongangkatan Kawan Supardi sebagai Residen sementara ternjata djuga disetudjui oleh pembesar2 militer dan pembesar2 Sipil lainnja. Tindakan ini segera dilaporkan kepemerintah pusat dan dimintakan instruksi dari pemerintah pusat tentang apa jang harus dikerdjakan selandjutnja.

Nah, tindakan inilah, tindakan mengangkat Wakil Walikota mendjadi Residen sementara inilah jang dinamakan oleh pemerintah Hatta tindakan "merobohkan pemerintah Republik Indonesia", tindakan "mengadakan kudeta" dan tindakan "mendirikan pemerintah Sovjet". Kalau dengan mengangkat seorang Wakil Walikota mendjadi Residen sementara bisa dinamakan merobohkan pemerintah Republik Indonesia, bisa dinamakan kudeta dan bisa dinamakan mendirikan pemerintah Sovjet, nama apakah lagi jang bisa diberikan kepada tindakan komplotan Simbolon dan "Dewan Banteng" di Sumatera? Selain daripada itu, djika memang demikian halnja, alangkah mudahnja merobohkan pemerintah Republik Indonesia, alangkah mudahnja mengadakan kudeta dan alangkah mudahnja mendirikan pemerintah Sovjet ! Djika memang demikian mudahnja, saja kira sekarang sudah tidak ada lagi Republik kita, karena nafsu merobohkan Republik sekarang, begitu di-kobar2kan dan begitu besarnja disementara golongan, terutama dikalangan sebuah partai ketjil jang kalah dalam pemilihan umum jang lalu. Tetapi saja kira, merobohkan Republik Indonesia tidaklah begitu mudah sebagaimana sudah dibuktikan oleh kegagalan Simbolon dan oleh makin merosotnja pamor "Dewan Banteng", disamping Republik Indonesia tetap berdiri tegak. Apalagi mendirikan pemerintah Sovjet, tidaklah semudah mengangkat seorang Wakil Walikota mendjadi Residen sementara. Rakjat Tiongkok dan Tentara Pembebasan Rakiat Tiongkok jang sudah berdjuang mati2an selama ber-puluh2 tahun dibawah pimpinan Partai Komunis Tiongkok hingga sekarang belum sampai ketaraf mendirikan pemerintah Sovjet, artinja pemerintah sosialis di Tiongkok. Djadi, alangkah bebalnja, atau alangkah mentjari2nja orang2 jang menuduh PKI merobohkan Republik dan mendirikan pemerintah Sovjet di Madiun dengan mengangkat Wakil Walikota Supardi mendjadi Residen sementara.

Berdasarkan kedjadian pengangkatan Wakil Walikota Supardi mendjadi Residen sementara dan atas tanggungdjawab sepenuhnja dari pemerintah Hatta, maka pada tanggal 19 September 1948 oleh Presiden Sukarno dadakan pidato jang berisi seruan kepada seluruh Rakjat ber-sama2 membasmi "kaum pengatjau",maksudnja membasmi kaum Komunis dan kaum progresif lainnja setjara djasmaniah. Saja katakan sepenuhnja tanggungdjawab pemerintah Hatta, karena Hattalah jang mendjadi Perdana Menteri ketika itu. Tapi karena Hatta tahu bahwa pengaruhnja sangat ketjil dikalangan Angkatan Perang dan alat2 negara lainnja, apalagi dikalangan masjarakat, maka Hatta menggunakan mulut Sukarno dan rnemindjam kewibawaan Sukarno untuk membasmi Amir Sjarifuddin dan be-ribu2 putera Indonesia asal suku Djawa. Ini, sekali lagi, kalau kita rnau berbitjara dalam istilah kesukuan jang sekarang banjak dilakukan oleh pembela2 kaum pemberontak di Sumatera, sesuatu jang sedapat niungkin ingin kami hindari.

Demikianlah, "kebidjaksanaan" Hatta sebagai Perdana Menteri dalam menghadapi persoalan-persoalan masjarakat dan persoalan politik jang kongkrit. Karena kepitjikannja dari kesornbongannja sebagai burdjuis Minang jang ingin melondjak tjepat sampai keangkasa, karena kehausannja akan kekuasaan, karena kepalabatunja, karena ketakutannja jang keterlaluan kepada Komunisme, maka Hatta sebagai Perdana Menteri dengan setjara gegabah mengerahkan alat2 kekuasaan negara untuk mentjulik, membunuh dan mengobarkan perangsaudara. Orang sering salah kira dengan menjamakan sifat kepalabatu Hatta dengan "kemauan keras" atau sikap jang "konsekwen". Tetapi saja jang djuga mengenal Hatta dari dekat berpendapat, bahwa sifat kepalabatu Hatta adalah disebabkan karena sempit pikirannja, dan karena sempit pikirannja ia tidak bisa bertukar fikiran setjara sehat, tidak pandai bermusjawarah dan tahunja hanja main "ngotot", "mutung", "basmi" dan "tangan besi". Dan apa akibatnja permainan "basmi" dan "tangan besi" Hatta ? Be-ribu2 pemuda dan Rakjat dari kedua belah fihak jang berperang mati karenanja. Seluruh Rakjat sudah mengetahui dari pengalamannja sendiri bahwa semua ini dilakukan hanja untuk melapangkan djalan bagi Hatta buat pelaksanaan Konferensi Medja Bundar dengan Belanda jang langsung diawasi oleh Amerika Serikat, untuk membikin perdjandjian KMB jang chianat dan jang sudah kita batalkan itu.

Sifat gegabah dari tindakan Hatta lebih nampak lagi ketika ia meminta kekuasaan penuh dari BPKNIP, dimana didalam pidatonja dinjatakan bahwa "Tersiar pula berita -- entah benar entah tidak -- bahwa Musso akan mendjadi Presiden Republik rampasan itu dan Mr. Amir Sjarifuddin Perdana Menteri". Lihatlah betapa tidak bertanggungdjawabnja tindakan Hatta. la bertindak atas dasar berita jang sifatnja "entah benar entah tidak" bahwa sesuatu "akan" terdjadi. Ja, Hatta bertindak atas berita jang masih diragukan tentang akan terdjadinja sesuatu. Tetapi, adalah tidak diragukan lagi bahwa tindakan Hatta sudah berakibat dibunuhnja ribuan orang jang tidak berdosa tanpa proses.

Hatta lngin Berkuasa Sewenang-wenang Lagi
Berdasarkan pengalaman dengan Peristiwa Madiun, dimana Hatta menelandjangi dirinja sebagai manusia jang tidak berperikemanusiaan, maka saja seudjung rambutpun tidak ragu bahwa Hatta, seperti belum lama berselang dimuat dalam koran2 pemah mengutjapkan kepada Firdaus A. N., hanja bersedia berkuasa djika tidak bisa didjatuhan oleh Parlemen. Kalau mau tahu tentang Hatta, inilah dia ! lnilah politiknja, inilah moralnja, inilah segala-galanja! Jaitu, seorang jang mau berkuasa setjara se-wenang2.

Hatta samasekali tidak menghargai djerihpajah Rakjat jang kepanasan dan kehudjanan antri untuk memberikan suaranja untuk Parlemen kita sekarang. Lebih daripada itu, ia djuga tidak menghargai suaranja sendiri jang diberikannja ketika memilih Parlemen ini. Orang jang tidak menghargai orang lain sering kita temukan didunia ini. Tetapi orang jang tidak menghargai suaranja sendiri, ini keterlaluan.

Hatta ingin berkuasa kembali tanpa bisa didjatuhkan oleh Parlemen, ia mengimpikan masa keemasannja ditahun 1948. Kali ini jang mau didjadikannja mangsa bukan hanja putera2 Indonesia asal suku Djawa dan Batak, tetapi djuga putera2 suku lain, termasuk putera2 suku Minangkabau, karena PKI sekarang sudah tersebar diseluruh Indonesia dan disemua suku. Tetapi, sebelum Hatta sampai kesitu, perlu saja peringatkan bahwa dalam tahun 1948 ia hanja berhadapan dengan 10.000 Komunis jang hanja tersebar setjara sangat tidak merata dipulau Djawa dan Sumatera, karena PKI ketika itu dilarang berdiri didaerah pendudukan Belanda. Tetapi sekarang, Hatta harus berhadapan dengan lebih satu djuta Komunis jang tersebar disemua pulau dan disemua suku. Saja perlu menjatakan ini, hanja untuk menerangkan betapa besar akibatnja kalau Hatta bermain "tangan besi" lagi. Dan .... besipun bisa patah !

Saja jakin, bahwa tiap2 orang jang mempunjai peran tanggungdjawab tidak ingin terulang kembali tragedi nasional seperti Peristiwa Madiun itu. Dari fihak Partai Komunis Indonesia, seperti sudah berulang-ulang kami njatakan, dan sudah mendjadi peladjaran didalam Sekolah2 Kursus2 Partai kami, kami ingin dan kami jakin bisa mentjapai tudjuan2 politik kami setjara parlementer. Kami akan menghindari tiap2 perang-saudara selama kepada kami didjamin hak2 politik untuk memperdjuangkan tjita2 kami. Tetapi, kalau kepada kami disodorkan bajonet dan didesingkan peluru seperti dalam peristiwa Madiun, djuga seperti selama peristiwa itu, kami tidak akan memberikan dada kami untuk ditembus bajonet dan ditembus peluru kaum kontra-revolusioner.

Kami kaum Komunis tidak ingin menggangu siapa2 selama kami tidak diganggu. Kami ingin bersahabat dengan semua orang, semua golongan dan semua partai jang mau bersahabat dan bekerdiasama dengan kami untuk haridepan jang lebih baik bagi tanahair dan Rakjat Indonesia. Walaupun dihadapan kantor pusat Masjumi di Kramat Raja 45, Djakarta, terpantjang dengan djelas papan "Front Anti-Komunis", djadi anti kami, anti saja dan anti kawan2 saja, tetapi kami kaum Komunis tidak akan ikut gila untuk djuga memantjangkan papan "Front Anti-Masjumi"', apalagi "Front Anti-lslam". Kami tidak akan membiarkan diri kami terprovokasi oleh pemimpin Masjumi ini. Saja pribadi tidak mau diprovokasi oleh kenalan lama saja, Sdr. Mohamad Isa Anshari, pemimpin akbar "Front Anti-Komunis". Ber-angsur2 Rakjat Indonesia berdasarkan pengalamannja sendiri mendjadi makin jakin bahwa bukanlah kaum Komunis jang anti-agama, tetapi sebaliknja, sedjumlah pemimpin partai2 agamalah jang anti-Komunis dan menghasut anggota2nja supaja anti-Komunis.

Rakjat Indonesa sudah mengetahui bahwa dalam soal pemerintahan kami menginginkan terbentuknja pemerintah persatuan nasional dimana didalamnja duduk 4-Besar, djadi termasuk PKI dan Masjumi, ber-sama2 dengan partai2 lain. Ini akan kami perdjuangkan terus walaupun sampai ini hari saja kira Masjumi belum mau, karena masih mengikuti apa jang dikatakan oleh pemimpin Masjumi Sdr. Moh. Natsir dalam muktamar Masjumi di Bandung bulan Desember 1956. Dalam muktamar tsb. Sdr. Moh. Natsir mengatakan antara lain bahwa pimpinan partai Masjumi "meletakkan strateginja menghadapi pembentukan kabinet kepada dua pokok pikiran jaitu (a) Memulihkan kerdjasama antara partai2 Islam (b) Menggabungkan tenaga2 non-Komunis dalam kabinet, Parlemen dan masjarakat serta mengisolir PKI atau para crypto-Koi-ntinis dari kabinet". (Halaman 22 "Laporan Beleid Politik Pimpinan Partai Masjumi"). Tjobalah renungkan, bukan persatuan nasional jang mereka adjarkan dan amalkan, tetapi perpetjahan nasional. Mengisolasi PKI adalah identik dengan mengisolasi berdjuta-djuta Rakjat Indonesia. Bagaimana persatuan nasional akan bisa tertjapai dengan sikap jang a-priori sematjam ini. Sikap sematjam ini hanja mempertegas keadaan politik dinegeri kita, dan jang untung bukan bangsa Indonesia, tetapi kaum imperialis asing, jang memang menginginkan peruntjingan keadaan dan perpetjahan didalam tubuh bangsa kita.

Djadi, kapankah semua pemuka bangsa kita akan beladjar dari pengalaman Peristiwa Madiun jang tragis itu, supaja tidak lagi mengulangi kesalahan tindakan dan kebidjaksanaan agar persatuan bangsa kita terpelihara baik, supaja kita tidak gegabah dalam mengambil tindakan2, apalagi tindakan2 jang bisa berakibat luas ? Saja berusaha dan terus akan berusaha untuk menarik peladjaran sebanjak-banjaknja dari pengalaman sedjarah itu.

Kabinet Ali-ldham Ber-puluh2 Kali Lebih Bidjaksana Daripada Kabinet Hatta
Dibanding dengan kebidjaksanaan pemerintah Hatta dalam menghadapi kedjadian di Madiun dalam bulan September 1948, kabinet Ali-ldham sekarang ber-puluh2 kali lebih bidjaksana. Padahal kalau melihat kedjadiannja, pengangkatan seorang Wakil Walikota mendjadi Residen sementara karena dipaksa oleh keadaan, belumlah apa2 kalau dibanding dengan pengoperan pimpinan pemerintah daerah Sumatera Tengah oleh orang2 "Dewan Banteng", jang terang-terangan direntjanakan terlebih dulu dalam reunie ex-divisi Banteng bulan

November 1956, dan jang terang2an sudah pernah menolak dan menghina perutusan pemerintah pusat jang datang untuk berunding. Apalagi kalau dibanding dengan perbuatan komplotan kolonel Simbolon pada tanggal 22 Desember 1956, jang terang2an menjatakan tidak lagi mengakui pemerintah jang sah sekarang. Apalagi, kalau kita ingat bahwa maksud jang sesungguhnja dari semua tindakan itu jalah untuk memisahkan Sumatera dan Kalimantan dari Pemerintah Pusat, mendirikan negara Sumatera dan Kalimantan serta mengadakan hubungan luarnegeri sendiri. Apalagi kalau diingat bahwa ada maksud2 untuk menjerahkan pulau We di Utara Sumatera kepada negara besar tertentu untuk didjadikan pangkalan-perang. Apalagi kalau diigat bahwa semua rentjana itu sesuai sepenuhnja dengan apa jang direntjanakan oleh Pentagon dan State Department Amerika Serikat, oleh "djendral2" DI-Tll dan aparat2 serta kakitangan2 Amerika lainnja jang ada di Indonesia. Djika diingat semuanja ini, maka pengangkatan Wakil Walikota Supardi mendjadi Residen sementara Madiun adalah hanja "kinderspel" (permainan kanak2).

Tetapi penamaan apa jang diberikan oleh Hatta kepada kedjadian2 di Madiun bulan September 1948 dan penamaan apa pula jang, diberikan orang kepada perbuatan-perbuatan kaum pemberontak di Sumatera pada bulan Desember 1956 ? Peristiwa Madiun dinamakan "merobohkan Republik Indonesia", dinamakan "kudeta", tetapi pemberontakan di Sumatera jang sepenuhnja dan setjara terang2an disokong oleh kaum imperialis asing, terutama kaum imperialis Amerika dan Belanda, mereka namakan "tindakan konstruktif" demi "kepentingan daerah"... Saja bertanja : Konstruktif untuk siapa ? Untuk kepentingan daerah mana ? Memang konstruktif sekali tindakan kaum pemberontak di Sumatera, konstruktif dalam rangka membangun pangkalan-pangkalan perang SEATO ! Memang untuk kepentingan daerah, kepentingan perluasan daerah SEATO ! Djadi, samasekali tidak konstruktif untuk Rakjat Indonesia dan samasekali bukan untuk kepentingan daerah Indonesia !

Demikianlah, apa sebabnja saja katakan bahwa mengemukakan Peristiwa Madiun dalam keadaan sekarang untuk memukul PKI adalah seperti menepuk air didulang. Bukannja PKI jang ketjipratan, tetapi djustru si-penepuk air jang sial itu. Mengemukakan soal Peristiwa Madiun dalam menghadapi Peristiwa Sumatera sekarang berarti memberi alasan jang kuat untuk mengkonfrontasikan kebidjaksanaan jang memang bidjaksana dari kabinet Ali-ldham sekarang dengan kebidjaksanaan jang tidak bidjaksana dari Kabinet Hatta dalam tahun 1948. Djika sudah dikonfrontasikan, maka akan merasa berdosalah orang2 jang ber-teriak2 ingin melihat naiknja Hatta kembali, ketjuali kalau orang2 itu memang ingin melihat Hatta sekali lagi mempermainkan njawa umat Indonesia sebagai mempermainkan njawa anak ajam.

Kebidjaksanaan kabinet Ali-ldham dalam menghadapi Peristiwa Sumatera sekarang tidak disebabkan terutama karena Ali Sastroamidjojo seorang Indonesia dari suku Djawa jang toleran, tidak, tetapi karena pimpinan kabinet sekarang terdiri dari orang2 jang mempunjai perasaan tanggungdjawab jang besar. Sukurlah, bahwa ketika terdjadi Peristiwa Sumatera Hatta tidak memegang fungsi dalam pimpinan negara, walaupun saja tidak ragu adanja sangkutpaut Hatta dengan kedjadian2 itu. Kalau Hatta memegang fungsi penting, apalagi kalau Hatta memegang tampuk pemerintahan, entah berapa banjak lagi korban jang dibikinnja.

Dalam usaha menjelesaikan Peristiwa Sumatera ada orang2 jang ingin supaja soal kolonel Simbolon "diselesaikan setjara adat", supaja soal "Dewan Banteng" diselesaikan "setjara musjawarat", setjara "potong kerbau" dan dengan "menggunakan pepatah dan petitih". Pendeknja, adat, kerbau serta pepatah dan petitih mau dimobilisasi untuk menjelesaikan soal kolonel Simbolon dan soal "Dewan Banteng". Sampai2 orang2, jang tidak beradat djuga berbitjara tentang "penjelesaian setjara adat".

Tetapi, orang-orang ini pada bungkam semua ketika Amir Sjarifuddin dengan tanpa proses ditembus oleh peluru atas perintah Hatta. Ketika Amir Sjarifuddin masih ditahan dipendjara Djokja sebelum dibawa ke Solo dan digiring kedesa Ngalian untuk ditembak, tidak ada seorang Batak atau siapapun jang tampil kedepan, dan mengatakan: "Mari soal Amir Sjarifuddin kita selesaikan setjara adat tanah Batak", atau "Mari soal Amir Sjarifuddin kita selesaikan setjara Kristen".

Saja hanja ingin bertanja: Apakah Amir Sjarifuddin jang bermarga Harahap itu kurang Bataknja daripada kolonel Simbolon sehingga adat Batak mendjadi tidak berlaku bagi dirinja? Saja kira Amir Sjarifuddin tidak kalah Bataknja daripada orang Batak jang mana djuapun, malahan ia tidak kalah Keristennja daripada kebanjakan orang Keristen. Amir Sjarifuddin meninggal sesudah ia menjanjikan lagu Internasionale, lagu Partainja, lagu kesajangannja, dan ia meninggal dengan Kitab Indjil ditangannja. Amir Sjarifuddin adalah putera Batak jang baik, jang patriotik, dan karena itu djuga ia adalah seorang putera Indonesia jang baik. Djadi tidak sepantasnja adat tanah Batak tidak berlaku baginja.

Bagaimana pula halnja ribuan orang Djawa jang didrel tanpa proses atas perintah Hatta itu ? Apakah suku Djawa jang menderita dari abad keabad tidak mengenal musjawarat dan tidak mengenal pepatah dan petitih sehingga ketika dilantjarkan kampanje pembunuhan terhadap orang2 Djawa selama Peristiwa Madiun tidak ada orang Djawa jang beradat dan tidak ada tjerdik-pandai Djawa jang tampil kedepan untuk menjelesaikan persoalan ketika itu setjara rembugan (musjawarat), setjara adat, .dan dengan berbitjara menggunakan banjak paribasan (peribahasa), dengan potong sapi, potong kerbau, dan dengan mbeleh wedus (potong kambing) ? Ataukah karena pulau Djawa sudah kepadatan penduduk maka pembunuhan atas orang2 Djawa oleh tangan besi burdjuis Minang Mohammad Hatta boleh dibiarkan ? PKI tampil kedepan untuk kepentingan, "de zwijgende Javanen" ("Orang2 Djawa Jang Berdiam Diri") ini, baik mereka Komunis ataupun bukan-Komunis. Ja, djika soal ini dibawa kepengadilan, PKI djuga akan berbitjara atasnama pradjurit2, bintara2 dan perwira2 dari suku Djawa jang mati karena melakukan tugas "membasmi Komunis" jang diperintahkan oleh Hatta. Pradjurit2, bintara2 dan perwira2 jang mati dalam pertempuran melawan Komunis ketika itu adalah tidak bersalah, sama tidak bersalahnja dengan Komunis2 jang mereka tembak. Mereka semuanja adalah korban permainan politik 'perang-saudara Hatta. Tidak hanja kami, sebagai pewaris2 dari pahlawan2 Komunis dalam Peristiwa Madiun, tetapi djuga keluarga para pradjurit, bintara dan perwira TNI jang disuruh "membasmi Komunis" berhak untuk mendakwa Hatta sebagai pembunuh sanak-saudara mereka, djika soal ini dibawa kepengadilan.

Mari sekarang kita lihat bagairnana sikap pemerintah Hatta terhadap perwira jang belum tentu bersalah dalam Peristiwa Madiun, dan bagaimana sikap pemerintah Ali-ldham sekarang terhadap opsir2 jang sudah terang bersalah dalarn pemberontakan2 di Sumatera. Pemerintah Hatta dengan tanpa memeriksa lebih dulu kesalahan mereka terus sadja memetjat perwira2, antara lain jang masih hidup sekarang bekas Djenderal Major Ir. Sakirman, bekas Letnan Kolonel Martono, bekas Major Pramudji, dan banjak lagi. Padahal perwira2 ini belum pernah dipanggil untuk menghadap, apalagi diperiksa; djadi samasekali tidak ada dasar untuk memetjat mereka. Para perwira jang belum tentu bersalah tidak hanja dipetjat, tetapi banjak djuga jang disiksa diluar perikemanusiaan dan dibunuh tanpa dibuktikan kesalahannja terlebih dahulu.

Sekedar untuk mengetahui bagaimana penibunuhan2 kedjam oleh alat-alat resmi ketika itu, bersama ini, saja lampirkan 3 buah turunan laporan resmi dan pengakuan resmi tentang pembunuhan terhadap diri Sidik Aslan dkk. dan terhadap letnan kolonel Dachlan dan major Mustoffa. Untuk menghemat waktu tidak saja batjakan lampiran-Iampiran ini. Lampiran2 ini, saja sampaikan lepas dari penilaian siapa dan bagaimana major Sabarudin, pembuat pengakuan2 tsb. Jang sudah terang major Sabarudin bukan simpatisan PKI, apalagi anggota PKI. Kekedjaman pemerintah Hatta selama Peristiwa Madiun adalah ber-puluh2 kali lebih kedjam daripada pemerintah kolonial Belanda ketika menghadapi pemberontakan Rakjat tahun 1926. Pemerintah kolonial Belanda masih memakai alasan2 hukum untuk membunuh, memendjarakan dan mengasingkan kaum pemberontak, tetapi Hatta sepenuhnja mempraktekkan hukum rimba. Semuanja ini mengingatkan saja kembali pada tulisan Hatta jang berkepala "14 Djuli", dimuat dalam harian "Pemandangan" pada 14 Djuli 1941 dimana antara lain ia menulis tentang Petain, seorang Perantjis boneka Hitler, sebagai "seorang serdadu jang berhati lurus dan djudjur". Hanja serigala mengagumi serigala, hanja fasis mengagumi fasis !

Bandingkanlah sikap pemerintah Hatta terhadap kedjadian di Madiun dengan sikap pemerintah sekarang terhadap kolonel Siinbolon jang sudah terang bersalah karena merebut kekuasaan disebagian wilajah Republik Indonesia, jang sudah terang melanggar disiplin militer atau jang oleh Presiden Sukarno/Panglima Tertinggi dalam amanatnja tanggal 25 Desember 1956 dirumuskan telah berbuat jang "menggontjangkan sendi2 ketentaraan dan kenegaraan kita, dan jang membahajakan keutuhan tentara dan negara kita pula". Kolonel Simbolon hanja diberhentikan sementara sebagai Panglima Tentara dan Teritorium I. Sedangkan terhadap pemimpin2 pemberontakan militer di Sumatera Tengah sampai sekarang belum diambil tindakan apa2.

Tentu ada orang2 jang mengatakan: ja, karena Panglima Tertinggi, Pemerintah dan Gabungan Kepala Staf Angkatan Perang sekarang tidak mempunjai kewibawaan, maka mereka tidak menghukum perwira2 tersebut seperti Hatta dulu menghukum perwira2 jang disangka tersangkut dalam Peristiwa Madiun.

Istilah "wibawa" pada waktu belakangan ini banjak dipergunakan orang dengan masing2 mempunjai interpretasinja sendiri2. Kalau dengan istilah "wibawa" jang dimaksudkan jalah kemampuan pemerintah untuk bertindak, maka terang bahwa pemerintah sekarang sanggup bertindak, sanggup memerintah, artinja mempunjai kewibawaan. Apakah bukan tanda wibawa dari pemerintah sekarang dengan dapatnja digulingkan keradjaan sehari komplotan kolonel Simbolon dalam waktu jang sangat singkat ?

Tanggal 22 Desember 1956 pemerintah memutuskan dan mengumumkan pemberhentian sementara kolonel Simbolon sebagai Panglima TT I dan menjerahkan tanggungdjawab TT I kepada letnan-kolonel Djamin Gintings atau letnan-kolonel A. Wahab Macmour. Dalam waktu hanja empat hari, jaitu pada tanggal 27 Desember 1956 komplotan kolonel Simbolon sudah dapat diturunkan dari keradjaan seharinja. Ini artinja bahwa seruan pemerintah dipatuhi, ini artinja pemerintah mempunjai kewibawaan.

Tentu ada orang2 jang berkata lagi: ja, tetapi itu mengenai Sumatera Utara. Mengenai Sumatera Tengah pemerintah tidak mempunjai kewibawaan. Mengenai ini saja djawab sbb. : Tiap2 orang jang tahu imbangan kekuatan didalam negeri tidak sukar memahamkan, bahwa kalau pemerintah pusat sekarang mau bertindak, apalagi kalau mau bertindak serampangan seperti Hatta, maka dengan pengerahan serentak seluruh kekuatan Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara, dengan dibantu oleh massa Rakjat, maka keradjaan "Dewan Banteng" djuga hanja akan merupakan keradjaan sehari.

Soalnja bukanlah hanja menundjukkan kemampuan menggunakan kekuatan seperti jang pernah dilakukan oleh Hatta, tetapi djuga kebidjaksanaan. Pada pokoknja kami setudju bahwa pemerintah sekarang mengkombinasi kekuatan riilnja dengan kebidjaksanaan. Sikap ini merupakan dasar jang kuat bagi pemerintah, djika pada satu waktu pemerintah harus bertindak keras, karena djalan perundingan sudah tidak mempan lagi.

Walaupun kami kaum Komunis pernah diperlakukan setjara kedjam oleh pemerintah Hatta selama Peristiwa Madiun, tetapi kami tidak menjetudjui djika pemerintah sekarang mentjontoh perbuatan Hatta jang gegabah dan tidak bertanggungdjawab itu. Kita semua mengetahui bahwa politik "tangan besi" Hatta sepenuhnja menguntungkan kepentingan kaum imperialis asing. Ja, walaupuin banjak perwira penganut tjita-tjita PKI jang dibasmi setjara djasmaniah dalam Peristiwa Madiun, tetapi kami tidak menuntut supaja kolonel Simbolon, letnankolonel Abmad Husein dll. dibasmi setjara djasmaniah. Apalagi kami tahu bahwa banjak opsir2 jang tersangkut dalam pemberontakan2 di Sumatera adalah karena hasutan-hasutan sebuah partai ketjil jang keok dalam pemilihan umun, jl. Kami tidak menghendaki penumpahan darah jang disebabkan oleh kehampaan kebidjaksanaan. Djadi apakah jang kami inginkan ?

Kami hanja ingin, supaja disiplin militer berdjalan sebagaimana mestinja, supaja hierarchie ketentaraan ditaati dengan patuh, supaja Angkatan Perang tetap setia kepada tjita2 Revolusi Agustus 1945, karena hanja dengan demikian kita dapat membangun Angkatan Perang jang mampu membantu menjelesaikan semua tuntutan Revolusi Agustus 1945. Hanja dengan penegakan tatatertib hukum dalam ketentaraan jang berdjiwa Revolusi Agustus 1945 Angkatan Perang kita akan setia kepada sumbernja, jaitu Revolusi dan Rakjat. Sebagaimana sudah saja katakan diatas, ada sementara orang berteriak supaja diadakan penjelesaian "setjara adat", "dengan potong kerbau" dan "dengan menggunakan pepatah dan petitih". Tetapi, djika kita tidak waspada, apakah jang tersembunji dibelakang kata2 ini semuanja? Tidak lain jalah untuk mentjairkan disiplin dalam Angkatan Perang kita, untuk mengatjau-balaukan hierarchie dan tatatertib hukum didalam ketentaraan kita. Saja tidak berkeberatan djika djuga ditempuh djalan setjara adat, kerbau2 dipotongi dan segala matjam pepatah dan petitih nenekmojang digali dan dipakai, karena semuanja ini memang warisan dan milik kita sendiri. Tetapi djangan lupa, bahwa semuanja ini hanialah faktor tambahan. Jang primer bagi orang2 militer jalah tatatertib hukum didalam ketentaraan. Kalau tidak demikian lebih baik perwira2 jang bersangkutan menanggalkan epoletnja dan kembali kekampung untuk duduk dalam lembaga2 adat dikampung. Disanalah barangkali mereka akan menemukan ketenteraman djiwanja.

Sesudah mengkonfrontasikan Peristiwa Madiun 1948 dengan Peristiwa Sumatera 1956, maka sampailah saja pada kesimpulan, bahwa peinerintah Ali-ldham sekarang berpuluh-puluh kali lebih bidjaksana daripada pemerintah Hatta ketika menghadapi kedjadian2 di Madiun dalam bulan September 1948. Ini dilihat dari sudut kebidjaksanaan. Dilihat dari sudut kewibawaan pemerintah Ali-Idham mempunjai kewibawaan, dibuktikan oleh ketaatan alat2nja pada umumnja. Jang tidak mentaati pemerintah sekarang hanja minoritet iang sangat ketjil jang sudah diratjuni oleh sebuah partai ketjil dan oknum2 liar jang tidak melihat haridepannja dalam demokrasi, tetapi dalam sesuatu kekuasaan militeris-fasis. Adalah djanggal dan tidak bertanggungdjawab djika pemerintah Ali-Idham menjerah kepada ambisi partai ketjil dan oknum2 liar ini.

Selandjutnja dapat pula ditarik kesimpulan, bahwa adalah perbuatan jang tidak bertanggungdjawab untuk memberi kans sekali lagi kepada Mohamad Hatta, bapak perang-saudara, seorang jang karena haus kekuasaan dan pendek akal telah menewaskan be-ribu2 Rakjat dan pemuda baik orang2 sipil maupun orang2 militer kita jang baik2.

Dwitunggal Tidak Pernah Ada
Sementara orang tentu akan bertanja: Tetapi bagaimana dengan "dwitunggal"? Per-tama2 perlu saja njatakan bahwa dwitunggal tidak pernah ada, bahwa dwitunggal hanja ada dalam dunia impian orang2 jang tidak mengerti seluk-beluk sedjarah perdjuangan kemerdekaan dan sedjarah pentjetusan Revolusi Agustus 1945.

Kalau orang mau tenang dan mau meng-ingat2 kembali pada pertentangan pendapat jang sengit antara Sukarno dengan "Partai Indonesia" (Partindo) disatu fihak dan Hatta-Sjahrir dengan apa jang dinamakan "Pendidikan Nasional Indonesia" difihak lain, maka orang akan sependapat bahwa dwitunggal jang sungguh2 memang tidak pernah ada. Untuk pertama kali, pada kesempatan ini ingin saja njatakan, bahwa saja sudah lama merasa ikut berdosa karena sudah ambil bagian aktif dalam gerakan memaksa Hatta menandatangani Proklamasi 17 Agustus 1945. Hatta sudah sedjak semula setjara ngotot menentang pentjetusan Revolusi Agustus. la menggantungkan kemerdekaan Indonesia sepenuhnja pada rachmat Saikoo Sikikan (Panglima Tertinggi Tentara Djepang di Indonesia) jang tidak kundjung tiba itu.

Saja merasa lebih2 ikut berdosa lagi ketika membatja pidato Hatta waktu menerima gelar Dr. HC dari Universitas "Gadjah Mada" dimana dengan tegas dikatakannja bahwa revolusi harus dibendung. Kalau saja tidak salah Universitas "Gadjah Mada" sudah tiga kali memberikan gelar kehormatan, pertama kepada Presiden Sukarno, kedua kepada Hatta dan ketiga kepada Ki Hadjar Dewantara. Pemberian jang pertama dan ketiga, menurut pendapat saja, adalah tepat, karena Universitas "Gadjah Mada" jang dilahirkan oleh revolusi memberikan gelar kehormatan kepada orang2 revolusioner, pengabdi2 revolusi. Tetapi pemberian jang kedua, jaitu pada Hatta, maaf, adalah satu kekeliruan jang mungkln tidak disengadja. Betapa tidak keliru, sebuah universitas jang dilahirkan oleh revolusi memberikan gelar kehormatan kepada seorang jang ingin membendung revolusi, kepada seorang kontra-revolusioner.

Dwitunggal jang terdiri dari seorang revolusioner dan jang seorang lagi kontra-revolusioner samasekali bukan dwitunggal. Oleh karena itulah saja katakan, dwitunggal tidak pernah ada, ketjuali didalam dongengan dan impian. Dongengan tentang dwitunggal inilah jang antara lain telah membikin revolusi kita mendjadi matjet, karena dwitunggal jang di-bikin2 itu, jang heterogeen itu, telah membikin kita terdjepit diantara dua kutub, kutub revolusi dan kutub kontra-revolusi. Selama lebih sebelas tahun Rakjat Indonesia sudah ditipu dengan apa jang dinamakan dwitunggal.

Revolusi kita berdjalan terus, semua kekuatan revolusioner harus dipersatukan dan dimobilisasi untuk mengalahkan kekuatan2 kontra-revolusioner.

Demikianlah, penilaian saja mengenai kebidjaksanaan pemerintah sekarang, sesudah saja mengkonfrontasikan kebidjaksanaan pemerintah sekarang dengan kebidjaksanaan pemerintah Hatta ditahun 1948. Saja dipaksa untuk memberikan penilaian setjara ini, karena ada salahseorang anggota Parlemen kita jang dalam pemandangan umumnja membawa-bawa Peristiwa Madiun.

Sumber:
http://dev.progind.net/modules/smartsection/item.php?itemid=39

Wajah Aidit di Seluloid

Wajah Aidit di Seluloid
October 12, 2007...3:00 pm
Film Pengkhianatan G-30-S/PKI, untuk beberapa lama, menjadi sumber visualisasi tentang sosok Aidit.

BERONDONGAN peluru Cakrabirawa merangsek ke tubuh Letnan Jenderal Achmad Yani pada malam Jumat Pahing, 30 September 1965. Saat tubuhnya terempas membentur pintu, putranya menyaksikan dari bawah meja setrika dengan wajah pasi. Jenazah Yani yang masih hangat lantas digeret keluar oleh para pelaku, memborehkan jejak darah yang berlimpah-ruah di permukaan ubin.

Malam Jumat Pahing. Sebutan itu keluar dari mulut Dipa Nusantara Aidit, Ketua Partai Komunis Indonesia, saat ia menyebutkan hari-H dari sebuah operasi rahasia. ”Kita tak boleh terlambat,” ujarnya kesal saat ada anggota Politbiro lain menyangsikan eksistensi Dewan Jenderal dan rencana mereka untuk melakukan kup terhadap Presiden Soekarno.

Peristiwa malam Jumat Pahing yang kelak dikenal sebagai Gerakan 30 September itu direka ulang lewat film kolosal Pengkhianatan G-30-S/PKI (1982). Itulah pertama kalinya masyarakat bisa menyaksikan rekaan wajah Aidit dengan jelas melalui interpretasi Syu’bah Asa. Bagaimana gayanya berbicara, bagaimana ekspresinya saat berpikir, termasuk caranya mengepulkan asap rokok. Ada saat Aidit hanya disorot dengan close-up pada gerak bibirnya, terutama ketika menunjukkan strategi yang tengah dirancang. Aidit hasil tafsiran sutradara Arifin C. Noer adalah Aidit yang penuh muslihat.

Adalah Syu’bah Asa, budayawan yang kala itu wartawan majalah Tempo, yang didapuk Arifin sebagai sang gembong PKI. ”Tadinya saya ingin memberikan perwatakan yang lebih utuh,” ungkap mantan Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta ini, ”tapi Arifin bilang tak perlu karena dia hanya butuh beberapa ekspresi saja.”

Maka, seperti tersaji di film berdurasi 271 menit itu, pada saat Aidit muncul di layar, yang tersodor adalah fragmen-fragmen seperti mata yang mendelok-delok marah atau gaya merokok yang menderu-deru gelisah. ”Saya tidak merasa sukses memainkan peran itu,” kata Syu’bah.

Tapi ia tak kecewa karena sejak awal tahu bahwa sosok Aidit dibutuhkan hanya sebagai pengimbang, bukan tokoh utama yang menjadi alasan film itu dibuat. Belum lagi menyangkut akses untuk mempelajari karakter Aidit yang sangat terbatas. Bahan riset minim, dan akses ke keluarga almarhum saat itu tak ada. ”Waktu itu tidak mungkin menghubungi keluarga Aidit. Ada jurang besar yang tak terjembatani. Tidak seperti sekarang,” ujar Syu’bah. Maka, selain dengan penafsirannya sendiri atas skenario yang ditulis Arifin, Syu’bah mendalami tokoh yang akan diperankannya melalui diskusi intens dengan Amarzan Ismail Hamid, penyair yang mengenal Aidit secara pribadi. Sepanjang malam mereka berdiskusi di Wisma Tempo Sirnagalih, Megamendung, Jawa Barat.

Apa saja informasi penting yang ia dapatkan? ”Amarzan bilang dia sudah bertemu pemimpin komunis dunia seperti Mao Tse Tung dan Ho Chi Minh. Semua karismatis di mata dia. Tapi Aidit tidak,” ungkap Syu’bah. ”Dari informasi itulah saya tafsirkan ke dalam gerak wajah.” Namun, ketika besoknya syuting dilakukan, Syu’bah sempat ketiduran. ”Kecapekan,” tuturnya. Ketika film itu selesai, Syu’bah kembali mengunjungi Amarzan, menanyakan pendapatnya tentang peran yang ia mainkan. ”Buruk,” ujar sang penyair seperti diulangi Syu’bah.

Amarzan, 66 tahun, yang dihubungi wartawan Tempo Arti Ekawati, menyatakan memang itu bukan peran yang gampang. ”Sulit untuk menggambarkan sosok seorang Aidit,” katanya. ”Apalagi itu film propaganda. Semua yang ada di dalamnya dibuat berdasarkan keinginan sang pemesan.” Di awal proses preproduksi, sebetulnya Amarzan sempat terlibat atas ajakan Arifin dan Danarto, yang menjadi direktur artistik film. ”Saya memberikan masukan tentang setting suasana rapat-rapat PKI dan suasana pada waktu itu,” tuturnya. Belakangan ia mengundurkan diri setelah sarannya tidak banyak didengar.

Danarto pun tak bertahan lama dalam pembuatan film yang digarap selama dua tahun dengan melibatkan lebih dari 10 ribu pemain figuran itu. ”Setelah berbulan-bulan melakukan riset, saya akhirnya juga mengundurkan diri sebagai art director karena soal honor,” Danarto menandaskan.

Bujet film ini sendiri tercatat Rp 800 juta, yang menjadikannya sebagai film termahal di awal 1980-an.

l l l

EMBIE C. Noer, yang bertindak sebagai direktur musik film itu, ingat kata-kata Arifin saat mendeskripsikan film yang akan mereka buat dengan sangat singkat, ”Ini film horor, Mbi.”

Bagi Embie, frasa sependek itu cukup menjadi dasar baginya untuk mengembangkan tafsir bebunyian. ”Saya bukan cuma adiknya atau krunya, melainkan juga anaknya sekaligus muridnya sejak dia masih muda,” tutur Embie. ”Karena itu, yang sama-sama kami pahami adalah Aidit sebagai sebuah diskusi politik ketimbang sebagai rekonstruksi fakta yang debatable.”

Contoh kecil yang menunjukkan itu, antara lain, adegan Aidit merokok yang dianggap menyimpang dari kebiasaan Aidit sebenarnya yang tidak merokok—seperti diyakini sang adik, Murad Aidit. ”Adegan itu justru menegaskan Mas Arifin sedang tidak merekonstruksi fakta, melainkan menyodorkan sebuah diskusi politik,” kata Embie. Ia prihatin melihat pelbagai diskusi yang muncul saat itu tentang pencitraan Aidit, dan film itu secara umumnya, yang hanya ditakar dari sisi estetika, bukan secara substantif. ”Banyak yang gagal membaca film ini,” keluh Embie. Dalam wawancaranya dengan majalah ini 23 tahun silam, Arifin mengatakan bahwa niatnya membuat film ini adalah sebagai ”film pendidikan dan renungan tanpa menawarkan kebencian” (Tempo edisi 6/14, 7 April 1984).

Berkaitan dengan tugasnya untuk memberi tafsir musikal pada film itu, Embie berkeyakinan bahwa ranah politik Indonesia, sampai detik ini, adalah konsep budaya Barat dengan para pionir seperti Ronggowarsito untuk sastra dan metafisika serta Raden Saleh untuk estetika. ”Maka saya meramu suling bambu, tape double-cassette, keyboard, dengan semangat budaya pseudo-modern,” ujarnya.

Perdebatan yang sempat muncul mengenai sosok Aidit dalam film itu, seingat Jajang C. Noer, tak sampai menggelisahkan suaminya. ”Dia sangat excited ketika melihat hasil akhirnya,” tutur Jajang.

Bagi Jajang, proses persiapan bahan untuk sosok Aidit adalah saat yang sibuk sekaligus mencemaskan. Mereka sibuk membuat kompilasi dari pelbagai bahan tertulis. Itulah yang diolah Arifin menjadi sebuah skenario. Yang membuat cemas, tim Arifin hanya memiliki satu foto Aidit, ketika sang figur berada di sebuah acara di Istora. Rumitnya lagi, foto itu pun tak begitu jelas. Persoalan menjadi sedikit lebih mudah setelah mereka berhasil mendapatkan sebuah pasfoto Aidit yang lebih jelas. ”Ternyata bentuk fisik Aidit tak sebesar yang kami bayangkan semula,” ujar Jajang. ”Dari pasfoto itulah Mas Arifin punya kesan bahwa Aidit terlihat mirip Syu’bah. Bukan pada kepersisan wajah, tapi pada wibawa.” Jajang mencontohkan, pencarian pada ”kemiripan wibawa” ketimbang kemiripan wajah juga menjadi pertimbangan utama saat mencari pemeran Bung Karno, yang akhirnya jatuh pada Umar Kayam.

Sudah selesaikah persoalan? Ternyata belum. Jajang mengungkapkan, mereka masih kesulitan mendapatkan ciri atau gestur khusus Aidit, meski sudah mencari informasi ke Subandrio dan Syam Kamaruzzaman. ”Satu-satunya tambahan informasi yang muncul adalah bahwa Aidit itu dandy. Bukan dalam pengertian genit, tapi pada gaya busana. Dan di situlah repotnya,” Jajang terkekeh sejenak. ”Syu’bah nggak bisa dibilang dandy.”

Ihwal Aidit yang merokok itu, Jajang punya jawaban lain. Saat itu Arifin merasa merokok sebagai representasi dari The Thinker. ”Secara visual terlihat lebih bagus penggambaran seseorang yang berpikir keras itu lewat rokoknya,” ulas Jajang. ”Itu sebabnya ada adegan di mana layar hanya dipenuhi asap rokok sebagai metafor sumpeknya suasana politik Indonesia.”

Dengan segala pro-kontra yang muncul akibat film Pengkhianatan G-30-S/PKI, satu hal yang tak bisa disangkal adalah generasi yang lahir pada 1970-an dan sesudahnya mendapatkan satu-satunya gambaran tentang sosok Aidit secara jelas hanya dari film itu. Setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 1998, buku tentang Aidit kemudian bermunculan, termasuk yang ditulis oleh mereka yang mengenalnya lebih dekat.

Sumber : Laporan Utama Edisi. Majalah Tempo Edisi 32/XXXVI/01 – 7 Oktober 2007

Blog Dr: http://siapakah.wordpress.com/2007/10/12/wajah-aidit-di-seluloid/