Rabu, 07 April 2010

Aidit Dalam Bingkai Nawaksara

Aidit Dalam Bingkai Nawaksara

Asvi Warman Adam
Peneliti LIPI

Pertanyaan seberapa besar atau seberapa kecil peran Aidit dalam Gerakan 30 September mengimplikasikan bahwa ia terlibat dalam manuver politik tingkat tinggi tahun 1965. Versi-versi dalang peristiwa tersebut yang selama ini bersifat tunggal (PKI, Angkatan Darat, Soekarno, Soeharto, CIA, dst.) tak luput dari kritik. Peristiwa yang begitu kompleks tidak mungkin dilakukan satu orang, satu kelompok, atau satu golongan saja. Dalang peristiwa itu lebih dari satu, sehingga analisis Bung Karno sebagaimana disampaikan dalam pidato Nawaksara tahun 1967 dianggap lebih tepat. Menurut Soekarno, peristiwa itu merupakan pertemuan tiga sebab: keblingernya pimpinan PKI, subversi Nekolim, dan adanya oknum-oknum yang tidak benar.

Kalau digunakan matematika sederhana, andil masing-masing pihak yang disebut dalam pidato Nawaksara itu 33,33 persen. Tulisan ini mencoba mengelaborasi persentase tersebut. Mana yang lebih menentukan, pihak asing atau unsur dalam negeri?

Pimpinan PKI yang "keblinger" itu adalah Biro Chusus yang diketuai langsung Aidit di mana Sjam Kamaruzzaman boleh dikatakan direktur eksekutifnya. Nekolim (Neokolonialisme) tentu mengacu kepada Amerika Serikat (AS), sungguhpun arsip yang terbuka belakangan memperlihatkan bahwa Inggris dan Australia juga mendukung sepenuhnya gebrakan membasmi komunis. Namun dalam kategori pihak asing itu tentu tidak dapat diabaikan peran Uni Soviet (termasuk Pakta Warsawa, konon agen asal Cek, Ladislav Bittman, terlibat) dan RRC. Sebelum meletusnya Gerakan 30 September, dokter-dokter Cina telah keluar-masuk Istana Presiden. Arsip Jepang mengenai tahun 1965 juga perlu diperiksa.

Rumusan "oknum yang tidak benar" itu konon penghalusan dari "jenderal yang tidak benar". Proses penulisan pidato Nawaksara itu sendiri perlu diteliti karena Soekarno meminta masukan dari beberapa tokoh. Apakah yang dituju Soekarno adalah Soeharto (yang pada masa awal beraliansi dengan Nasution)? Atau termasuk juga Untung dan Latief?

"Keblingernya" Aidit disebabkan situasi yang sangat meruncing saat itu. Menjelang peristiwa itu, kekuasaan terpusat pada tiga pihak, yakni Soekarno, PKI, dan Angkatan Darat (AD). AD menguasai senjata, sedangkan PKI mendominasi dukungan massa. Kalau saat itu diadakan pemilu, niscaya partai komunis akan menang. Sebab itu kekuatan antikomunis seperti Jenderal Suhardiman mengupayakan Soekarno menjadi presiden seumur hidup agar status quo tetap terjaga. Bung Karno sendiri tidak pernah memberikan kesempatan kepada elite komunis memimpin departemen kecuali jadi menteri negara. Soekarno juga menolak usulan pembubaran Himpunan Mahasiswa Islam oleh mahasiswa kiri. Kekuatan Soekarno selain dukungan masif dari rakyat juga terletak pada kemampuan menjaga perimbangan politik. Ia akhirnya jatuh karena keseimbangan itu patah setelah meletus Gerakan 30 September.

Kondisi perekonomian yang terpuruk, suasana politik yang kian panas karena konflik tanah dan kebudayaan, konfrontasi dengan Malaysia dan agitasi terhadap pihak asing (AS dan Inggris), serta beredarnya dokumen Gilchrist dan Dewan Jenderal, menyebabkan semua pihak bersiaga. AD dapat mengkudeta Soekarno namun tidak akan didukung rakyat dan dunia internasional. PKI tidak punya senjata untuk makar. Dalam konteks ini, bila AD mengambil langkah lebih dulu dan berhasil, Presiden akan terguling dan selanjutnya PKI akan dibasmi. Karena itu, manuver Dewan Jenderal (yang keberadaannya dipercayai sang ketua) harus dicegah. Rapat antara motor Biro Chusus PKI, Sjam (pihak sipil) dengan Untung dan Latief (unsur militer) memilih cara yang "lazim" dalam sejarah revolusi Indonesia, yakni culik. Para Jenderal itu akan diculik dan dihadapkan kepada Bung Karno. Bila mereka dipecat atau dipermalukan, ancaman kudeta tidak terjadi lagi dan selanjutnya pihak kiri tentu dapat meminta kursi pimpinan departemen kepada Presiden.

Konsep culik sudah dipraktekkan sejak Desember 1945, ketika terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap Menteri Negara Otto Iskandar di Nata. PM Sjahrir juga pernah diculik walaupun kemudian ia kembali dengan selamat. Bahkan Soekarno dan Hatta pada hakikatnya pernah diculik oleh pemuda sehari sebelum Proklamasi. Pada 1980, Soeharto berpidato bahwa ia tidak segan memerintahkan untuk menculik seorang anggota MPRS bila mereka mencoba mengubah UUD 1945. Pidato tersebut mendapat penentangan dari kelompok yang kemudian dikenal sebagai Petisi 50. Sebelum akhir pemerintahan Soeharto, anggota komando khusus TNI AD telah menculik beberapa orang aktivis.

Karena misi utamanya hanya penculikan, maka dapat dipahami keanehan struktur Gerakan 30 September yang dipimpin seorang letnan kolonel, tetapi membawahkan perwira yang lebih tinggi pangkatnya. Dengan alasan menyelamatkan Presiden, gerakan itu dipimpin oleh Komandan Batalion Cakrabirawa. Persiapan militer tidak dilakukan secara besar-besaran karena tujuannya bukan menguasai ibu kota.

Namun ternyata penculikan terhadap tujuh orang jenderal itu gagal, karena hanya tiga orang yang masih hidup ketika dibawa ke Lubang Buaya. Ketika dilapori peristiwa ini, Soekarno di pangkalan AU Halim Perdanakusuma memerintahkan agar mereka menghentikan gerakan. Terjadi kekalutan karena ternyata di dalam gerakan itu tidak ada satu komando yang dapat mengambil keputusan tunggal. Sjam hanya koordinator antara Biro Chusus dan perwira militer.

Keblingeran pertama dari Biro Chusus PKI adalah keterlibatan mereka dalam perencanaan penculikan. Keblingeran keduanya adalah meneruskan gerakan dengan menyiarkan dokumen kedua (tentang pendemisioner kabinet Dwikora) dan dokumen ketiga (penyesuaian pangkat militer tertinggi menjadi letnan kolonel) setelah terjadi kevakuman enam jam pada tanggal 1 Oktober 1965. Padahal, dalam percobaan kudeta, satu menit pun sangat berharga.

Kalau perintah Soekarno untuk menghentikan Gerakan 30 September itu dipatuhi, mungkin korban yang jatuh tidak banyak. Kalau Soeharto yang membangkang perintah Presiden untuk datang ke Halim Perdanakusuma langsung dipecat oleh Soekarno tentu sejarah Indonesia akan berbeda. Kekurangan utama Soekarno adalah karena ia menganggap enteng seorang Mayor Jenderal Soeharto.

Siapa yang diuntungkan?

Peran seseorang atau kelompok dalam suatu kegiatan berbanding lurus dengan keuntungan yang (akan) diperolehnya. Dalam peristiwa 1965 itu Soekarno adalah pihak yang dirugikan karena selanjutnya ia kehilangan jabatannya, sedangkan Soeharto sangat diuntungkan. Ia yang selama ini kurang diperhitungkan berpeluang meraih puncak kekuasaan karena para seniornya telah terbunuh dalam satu malam. Yang sangat dirugikan pula adalah bangsa Indonesia secara keseluruhan karena enam jenderal, empat perwira, seorang gadis cilik, dan sekitar setengah juta orang terbunuh setelah peristiwa tersebut. Yang paling diuntungkan dari tragedi nasional tersebut tak lain dari Nekolim.

Tahun 1965 menjadi watersheet, pembatas zaman. Terjadi perubahan drastis secara serempak dalam segala bidang. Politik luar negeri Indonesia menjadi lembek dan pro-Barat. Ekonomi berdikari berubah jadi ekonomi pasar yang bergantung pada modal asing dan utang. Polemik dalam bidang politik dan kebudayaan berganti dengan asas tunggal yang tidak membiarkan kritik.

Pergantian Duta Besar Howard Jones dengan Marshal Green bulan Juni 1965 menandai perubahan rencana AS terhadap politik Indonesia. Kelompok kiri didorong untuk melakukan suatu gerakan sehingga ada alasan bagi AD untuk menumpasnya sampai habis. Skenario model AS itu lebih didukung arsip sejarah ketimbang imajinasi seorang profesor gaek bernama Victor Fic bahwa Mao Tse Tung menyuruh Aidit mengambil kekuasaan. Anehnya, Soekarno kok mau dan membiarkannya. Selanjutnya Bung Karno akan beristirahat di danau angsa Cina.

Dialog imajiner itu berbunyi:

Mao: Kamu harus bertindak cepat.

Aidit: Saya khawatir AD akan menjadi penghalang.

Mao: Baiklah, lakukanlah apa yang saya nasihatkan kepadamu, habisi semua jenderal dan para perwira reaksioner itu dalam sekali pukul. Angkatan Darat lalu akan menjadi seekor naga yang tidak berkepala dan akan mengikutimu.

Aidit: Itu berarti membunuh beberapa ratus perwira.

Mao: Di Shensi Utara saya membunuh 20.000 orang kader dalam sekali pukul saja.

Tulisan Fic bersumber dari harian The Straits Times, Singapura, 26 April 1966, yang mengutip tulisan anonim di Harian Angkatan Bersenjata, Jakarta, 25 April 1966. Siapa penulis anonim di Jakarta itu? Menurut keterangan Salim Said yang saat itu wartawan pemula Harian Angkatan Bersenjata, harian tersebut memiliki versi bahasa Inggris. Apakah penerbitan itu bekerja sama dengan pihak AS dan Inggris? Yang jelas, arsip departemen luar negeri AS mengakui bahwa mereka memberikan daftar pengurus PKI di Indonesia kepada pihak AD melalui Adyatman, sekretaris Adam Malik. Juga mereka memberikan bantuan dana Rp 50 juta kepada KAP (Komite Aksi Pengganyangan) Gestapu yang terbentuk setelah meletus Gerakan 30 September serta dipimpin oleh Subchan Z.E. dan Harry Tjan Silalahi.

Setelah membaca berbagai buku dan arsip, saya cenderung menganggap pemikiran Soekarno bahwa Gerakan 30 September adalah pertemuan dari tiga sebab merupakan analisis yang paling lengkap dari berbagai versi tunggal yang ada. Andil ketiganya (keblingeran pimpinan PKI, Nekolim, dan oknum yang tidak benar) tidak sama. Menurut hemat saya, faktor kedua, yakni Nekolim, merupakan pemegang saham mayoritas.

Beijing, 19 September 2007
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2007/10/01/LU/mbm.20071001.LU125183.id.html

Senin, 29 Maret 2010

Rahasia Aidit

Rahasia Aidit
Disajikan Oleh RB Surya M Sastra
Anggota FPKS DPR RI
A-264

Edisi. 32/XXXVI/ 01 - 7 Oktober 2007

Hilmar farid
*Sejarawan



Aidit memimpin PKI sejak Januari 1951. Baru beberapa bulan, partai yang baru dipukul secara politik dan fisik menyusul peristiwa Madiun 1948 itu kembali berhadapan dengan represi. Pada pertengahan Agustus, ribuan pemimpin dan kader partai ditangkap di Medan dan Jakarta. Ini terjadi setelah serangan terhadap sebuah kantor polisi di Tanjung Priok oleh gerombolan yang mengenakan simbol palu arit. Sekalipun pemimpin partai membuat pernyataan tidak terlibat dalam serangan itu, pemerintah Sukiman tetap mengirim aparat untuk mengejar kaum komunis. Aidit bersama Lukman dan Njoto lolos dari kejaran.

Tepat empat tahun kemudian, September 1955, PKI menempati urutan keempat dalam pemilihan umum dengan 6,1 juta suara atau meraih 16,4 persen dari total suara. Dua tahun kemudian, dalam pemilihan daerah, jumlah suara untuk PKI meningkat hampir 40 persen, bahkan di beberapa daerah mereka mayoritas. Jumlah anggotanya yang semula hanya 4.000 orang meningkat puluhan kali lipat. Pada 1957 Aidit dengan bangga melaporkan bahwa jumlah perempuan anggota partai sudah mencapai 100 ribu. Pada usia 32 tahun Aidit sudah menjadi pemimpin salah satu kekuatan politik pasca-revolusi yang paling signifikan dan hidup.

Apa rahasia Aidit mengubah partai yang semula terbelah ke dalam banyak faksi menjadi kekuatan politik yang solid dan andal?

Pengambilalihan partai dari apa yang disebut ”kalangan tua” oleh Aidit, Lukman, dan Njoto, pada awal 1951 bukanlah proses yang mudah. Perdebatan berlangsung di tingkat pimpinan pusat sampai kader-kader daerah. Dalam berbagai kesempatan, Politbiro baru di bawah Aidit menggunakan tangan besi. ”Pengadilan” dibentuk untuk mendisiplinkan kader yang berseberangan pandangan dengan pemimpin baru. Banyak dari mereka yang diadili kemudian diturunkan jabatan dan status keanggotaannya, bahkan dikeluarkan dari partai.

Setelah berhasil melakukan konsolidasi dengan menyatukan unsur-unsur yang setuju pada garis kebijakan baru partai, Politbiro yang dipimpin Aidit mulai membangun struktur organisasi yang ketat. Orang yang bertanggung jawab melakukan tugas berat ini adalah Sudisman. Seleksi dan perekrutan anggota dirapikan. Setiap calon anggota melalui tahap pemeriksaan dan pengawasan selama lima sampai enam bulan sebelum menjadi anggota penuh dan kemudian kader partai. Pada saat bersamaan diberlakukan juga asas demokrasi di mana kader bisa menyuarakan perbedaan pendapat dan kritik sehingga tidak terakumulasi menjadi faksi seperti terjadi pada masa sebelumnya.

Pendidikan politik mendapat perhatian khusus dan menurut Ruth McVey inilah kunci yang membuat PKI mempesona banyak orang. Di tengah sistem pendidikan nasional yang belum berkembang, jumlah sekolah dan guru yang terbatas, kegiatan pendidikan yang diselenggarakan PKI di berbagai tingkat seperti menjadi jalan menuju modernitas. Analisis Marxis, studi ekonomi politik, sejarah masyarakat, yang diajarkan di sekolah dan kursus politik milik partai tidak hanya menawarkan isi tapi juga cara ”berilmu” baru.

Perluasan pendidikan ini dibarengi dengan berlipat gandanya kegiatan penerbitan. Harian Rakjat, yang semula terbit terbatas untuk kader dan anggota partai, pada awal 1957 sudah menjadi harian dengan tiras 60 ribu eksemplar. Cabang-cabang partai mempunyai penerbitan sendiri seperti Suara Ibukota di Jakarta, Suara Persatuan di Semarang, Buletin PKI Djawa Timur di Surabaya, dan Lombok Bangun di Mataram. Terjemahan karya asing ke dalam bahasa Indonesia banyak dilakukan. Di Jawa Barat, kader partai membaca karya Mao dalam bahasa Sunda.

Namun elemen yang paling penting dalam konsolidasi partai adalah tumbuhnya komunitas yang berpusat pada organisasi partai. Kantor partai adalah tempat yang hidup dan para pengurusnya adalah orang yang aktif dalam komunitas. Organisasi secara konkret membantu anggota menghadapi masalah, mulai dari tekanan politik pihak lawan sampai urusan sehari-hari seperti melahirkan dan kematian. Menurut Donald Hindley, PKI berhasil membangun komunitas-komunitas berbasis solidaritas dalam masyarakat yang penuh ketegangan dan pertentangan.

Perkembangan pesat ini hampir tidak mendapat hambatan berarti. Sejak 1951 Aidit menitikberatkan perjuangan partai melalui jalan parlemen. Dengan strategi front nasional PKI berhasil menciptakan ruang yang memudahkan konsolidasi partai. Sepanjang 1950-an PKI praktis tidak pernah ”bermain di luar jalur” seperti halnya partai-partai yang bertualang dengan terlibat aksi pemberontakan di daerah-daerah, usaha putsch atau persekongkolan untuk menyingkirkan pemimpin nasional. Tidak mengherankan jika Soekarno melihatnya sebagai sekutu penting untuk mengimbangi tekanan pihak militer.

Semua ini berubah pada awal 1960-an. Angkatan Darat dan kekuatan antikomunis kini melihat PKI sebagai ancaman nyata. Ancaman bahwa PKI akan berhasil menguasai pemerintah melalui pemilihan umum dan perjuangan parlementer membuat lawan politiknya diam-diam mensyukuri Demokrasi Terpimpin. Ketegangan sosial dan politik meningkat karena perekonomian memburuk. Para ahli psychological warfare dalam maupun luar negeri sementara itu meramaikan suasana politik dengan desas-desus, pengacauan informasi, dan aksi subversi.

PKI mulai memasuki gelanggang politik baru. Tekanan berbagai pihak membuat keputusan-keputusan penting semakin terpusat di tangan segelintir pimpinan. Jarak dengan massa mulai terasa. Komunitas yang tumbuh di sekeliling organisasi partai kini terpusat pada mobilisasi dan semakin banyak pertimbangan survival yang melandasi kebijakan partai. Buruh dilarang mogok, petani diminta menahan diri agar tidak mengambil alih lahan, jika sasarannya adalah sekutu dalam front nasional.

Jarak pemimpin dengan massa semakin terasa, sekalipun jumlah anggota partai semakin bertambah. Itu membuat PKI seperti ”raksasa berkaki lempung”, meminjam istilah sejarawan Jacques Leclerc.

Seruan Aidit untuk memperkuat barisan partai dengan menambah jumlah anggota tidak hanya disambut oleh rakyat di kampung dan desa yang melihat PKI sebagai pintu menuju modernitas dan kemakmuran, tapi juga para pejabat dan mereka yang dalam analisis sosial PKI disebut kabir alias kapitalis birokrat. Bagi mereka menjadi anggota partai adalah jalan mengamankan posisi dalam birokrasi dan membangun perlindungan diri menghadapi pergulatan sosial yang kadang berlangsung keras dan penuh konflik. PKI pun tumbuh menjadi tubuh besar yang lamban dan tidak lagi tangkas menghadapi perubahan.

Di tengah keadaan ini Aidit mendengar berita tentang Dewan Jenderal yang berencana menggulingkan pemerintahan Soekarno. PKI sebagai partai sudah terlalu lamban untuk mengikuti dinamika yang berlangsung cepat. Keadaan menuntut ketangkasan politik. Ketika keputusan menentukan harus diambil dalam hitungan hari dan jam, Aidit pun terkucil dari Comite Central dan kawan-kawannya sendiri. Selama September 1965 tidak ada lagi rapat Politbiro. Aidit bersama sejumlah pemimpin partai terseret dalam gelap politik klandestin, agen ganda, dan tipu daya.

Ada yang menyebutnya pengkhianatan. Ada juga yang bilang petualangan. Bagi saya, kata yang lebih tepat adalah tragedi.

DN.Aidit, PKI dan G30S: Pemimpin Muda yang Enerjetik

DN.Aidit, PKI dan G30S: Pemimpin Muda yang Enerjetik
Oleh: Harsutejo
Sudah sejak muda, sejak jaman penjajahan Belanda, Aidit dalam umur belasan tahun telah ikut serta dalam gerakan melawan penjajahan dalam berbagai bentuknya. Sudah sejak muda pula ia gemar membaca dan tertarik pada marxisme. Di masa revolusi fisik ada sebutan populer di kalangan kaum kiri, “mabuk marxisme” dalam artian positif, giat belajar teori dengan membaca, berdiskusi dan berdebat serta kursus-kursus politik sejak masa pendudukan Jepang, serta menerapkannya dalam praktek perjuangan. Selanjutnya juga menuliskan berbagai gagasannya.

Di Menteng 31 bersama banyak pemuda yang lain ia digembleng para pemimpin nasional. Sejumlah pemuda di antara mereka itu di kemudian hari menjadi tokoh komunis, di samping DN Aidit, di antaranya Wikana (salah seorang tokoh pemuda yang berperan penting dalam “penculikan” Bung Karno dan Bung Hatta pada 15 Agustus 1945), MH Lukman, Sidik Kertapati dsb. Jadi tidak benar jika sejarawan Prof Dr Brigjen Nugroho Notosusanto menyatakan kaum komunis tidak punya peran dalam Proklamasi 17 Agustus 1945, ini bagian dari pemalsuan sejarah.

Pada usia 38 tahun pada 1951 Aidit menjadi pemimpin tertinggi PKI bersama MH Lukman dan Nyoto. Pada 1952, setahun setelah kepemimpinannya, anggota PKI terdiri dari 8.000 orang. Tetapi pada 1964 mereka telah menghimpun jutaan anggota. Dalam pemilu demokratis pertama pada 1955 PKI keluar sebagai partai terbesar keempat, dalam pemilu di Jawa pada 1957 PKI meningkat sebagai partai terbesar pertama. Ini sungguh suatu prestasi luar biasa yang dicapai para pemimpin PKI muda usia. Oleh karenanya pihak pimpinan AD tidak menyukai pemilu semacam itu. Sebelum tragedi 1965 PKI mengklaim memiliki 3 juta anggota dengan 20 juta pengikut dan simpatisan, di antaranya terhimpun dalam organisasi massa. PKI menjadi partai komunis terbesar di luar kubu sosialis. Dengan demikian Aidit menjadi tokoh komunis internasional yang suaranya tidak dapat diabaikan oleh kawan maupun lawan. Namanya berkibar dalam iklim perang dingin antara blok kapitalis dengan blok komunis, perang ideologi antara komunis “murni” dan komunis “revisionis”, persaingan dan perkelahian antara blok Partai Komunis Uni Soviet (PKUS) dengan Partai Komunis Tiongkok (PKT). Dalam perselisihan ideologi ini PKI di bawah pimpinan Aidit cs berusaha bersikap netral secara politik.

Sebagai partai massa PKI memiliki disiplin tinggi, keanggotaannya diatur secara berjenjang yang dimulai dengan calon anggota sebelum seseorang diterima sebagai anggota penuh yang didampingi seorang pembina. Hal itu di antaranya didasarkan pada ideologi seseorang serta pengalaman perjuangan dan kontribusinya terhadap Partai. Dengan kriteria semacam itulah seseorang dapat menduduki kepengurusan Partai maupun jabatan dalam pemerintahan setelah kemenangan pemilu. Untuk hal-hal penting semacam di atas, butir kredit buat pemimpin kolektif tertinggi PKI, utamanya pada tokoh Aidit. Pemimpin muda ini sangat dinamis, berani, bergerak cepat, dengan daya tahan fisik dan mental luar biasa, bisa jadi sejumlah kawannya terkadang tertinggal dengan geraknya. Di samping itu ia pun tak lupa menekankan akan pentingnya kesabaran revolusioner dalam perjuangan jangka panjang.

Teori Kudeta, Retorika Revolusi

Aidit berada dalam rombongan delegasi Indonesa keluar negeri dalam rangka KAA di Aljazair yang gagal pada akhir Juni 1965, karena kudeta Kolonel Boumedienne terhadap Presiden Ben Bella yang baru saja terjadi. Delegasi melanjutkan perjalanan ke Paris,. di kota ini Aidit bertemu dengan enam orang kameradnya pelarian dari Aljazair. Ia menganjurkan mereka kembali ke negerinya untuk mendukung Kolonel Boumedienne. Kudeta itu disebutnya sebagai kudeta progresif. Jika kudeta itu didukung oleh paling tidak 30% rakyat maka hal itu dapat diubah menjadi revolusi rakyat. Demikian kata Aidit sebelum bertolak ke Moskow. Barangkali ia pun mengambil model Revolusi Oktober 1917 yang digerakkan Lenin dan Trotsky berupa pengambilalihan kekuasaan dengan kekuatan militer. Sekalipun demikian banyak pihak di kalangan kaum komunis yang tidak setuju dengan teori baru ini, dikatakan sebagai bertentangan dengan teori marxis. Konon hal ini juga menjadi perdebatan di Moskow. Perkembangan politik di tanahair yang relatif damai ketika itu dengan arus pokok berpihak kepada PKI.

Dalam bulan Agustus 1965, koran PKI Harian Rakjat memuat pernyataan Aidit berupa isyarat yang mengatakan biarlah mangkok, piring, gelas berpecahan untuk kepentingan revolusi. Pada 9 September 1965, di depan sukwati Deppen Aidit menyatakan kaum revolusioner bagaikan bidan dari masyarakat baru yang hendak dilahirkan, sang bayi pasti lahir dan tugas mereka untuk menjaga keselamatannya dan agar sang bayi cepat menjadi besar. Hal ini disambut dengan pernyataan petinggi PKI yang lain, Anwar Sanusi, tanahair sedang hamil tua. Sementara itu serangkaian sidang Politbiro dan Politbiro yang diperluas selama bulan Agustus dan September 1965 membicarakan tentang sakitnya Presiden Sukarno dan rencana pukulan dari pihak Dewan Djenderal (DD) ketika BK tak lagi dapat menjaga keseimbangan politik. Selanjutnya dilaporkan oleh Aidit adanya sejumlah perwira maju yang hendak mendahului guna mencegah kudeta DD.

Sangat menarik pesan Aidit kepada kedua adiknya, Sobron Aidit dan Asahan Aidit yang bertemu di Beijing dalam bulan Agustus 1965. “…Dan juga ingat, sementara ini, mungkin bertahun-tahun ini, jangan dulu memikirkan pulang! …tanahair dalam keadaan gawat dan semakin akan gawat…”. “…kita ini dalam keadaan ancaman… dari pihak tentara… Angkatan Darat.” Sedang kepada Asahan setelah mengetahui adiknya baru akan pulang setahun lagi, ia menyatakan sayang karena ia takkan dapat ikut revolusi. “Revolusi tidak akan menunggumu.” Dalam dua catatan dari dua orang berdasarkan ingatan setelah sekian puluh tahun berlalu itu secara implisit mengandung persamaan penting yakni disebut akan terjadinya sesuatu yang gawat, malah yang ke dua disebut sebagai revolusi.

Sementara itu selama bulan September 1965 terjadi juga serangkaian pertemuan sejumlah perwira militer (Letkol Inf Untung, Kolonel Inf Latief, Mayor Udara Suyono, Mayor Inf Agus Sigit, Kapten Art Wahyudi) yang juga dihadiri oleh Ketua Biro Chusus (BC) PKI Syam beserta pembantunya Pono. Gerakan ini berlanjut dengan penculikan dan pembunuhan 6 orang jenderal AD dan seorang perwira pertama pada dini hari 1 Oktober 1965 oleh gerakan militer yang menamakan dirinya Gerakan 30 September sesuai dengan apa yang diumumkan oleh RRI Jakarta pada pagi harinya.

Diculik atau Dijemput untuk Memimpin Gerakan?

Dalam salah satu kesaksiannya dr Tanti Aidit, pada 30 September 1965 malam hari DN Aidit, suaminya, diculik tentara. Murad Aidit yang juga sedang berada di rumah yang sama tidak memberikan gambaran kecuali “dibawa dengan mobil oleh orang yang tidak kukenal” bersama ajudannya Kusno. Memori seorang anak berumur 6 tahun, Ilham Aidit, agaknya lebih jernih, “Ibunya membentak dua orang berseragam militer warna biru di depan rumah” (Tempo 7 Okt.2007:76). Salah seorang yang menjemputnya ialah Mayor Udara Suyono (dengan seragam AU warna biru) dan membawa DN Aidit ke lingkungan PAU Halim. Di Halim ia kemudian ditemui oleh Ketua BC PKI Syam.

Apakah Aidit diculik bersama pengawalnya? Itu mokal, tidak ada adegan kekerasan di rumahnya di Jl. Pegangsaan, ia pun kemudian “bebas” pergi ke Yogya bersama pegnawalnya dengan pesawat pada tengah malam 2 Oktober 1965. Apa itu sesuai dengan kehendak dan rencana dirinya? Ini sulit dijawab karena terbukti segala rencana dilakukan oleh Ketua BC Syam, ia toh pembantu Ketua PKI Aidit. Apakah dia tidak mengetahui rencana G30S? Mokal jika dia tidak tahu, bisa saja pengetahuan dirinya kemudian dimanipulasi oleh Syam. Apalagi jika kita hubungkan dengan teori Aidit tentang kudeta tersebut di atas, lalu retorika sejumlah petinggi PKI selama bulan Agustus dan September 1965 serta topik sejumlah sidang Politbiro serta pesannya kepada kedua adiknya di Beijing. Apakah dia memimpin G30S? Ini tidak ada buktinya, sebab yang terbukti gerakan ini di lapangan dipimpin oleh Letkol Untung (yang mungkin sekali sekedar wayang), di baliknya lagi-lagi Ketua BC Syam. Apa Syam pun bukan sekedar wayang? Dari mana Syam menerima segala instruksi? Lagi-lagi ini sulit dijawab. Lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Salah satu saksi kunci, DN Aidit telah dilenyapkan dengan buru-buru atas instruksi Jenderal Suharto, tentu dengan suatu alasan kuat. Ada kepentingan apa Jenderal Suharto menghendaki Aidit cepat-cepat dibungkam? Adakah informasi yang dapat mencelakakan diri Suharto jika Aidit diberi kesempatan bicara di depan pengadilan, pengadilan sandiwara sekalipun? Saksi kunci yang lain, Jenderal Suharto, telah melenyapkan banyak hal dan memanipulasi segala sesuatu. Apa yang bisa diharap dari kesaksiannya? Apa dia masih punya hati nurani untuk bicara yang sebenarnya terjadi ketika belum “pikun”? Sementara sejumlah pelaku seperti Letkol Untung, Brigjen Suparjo, Mayor Udara Suyono dieksekusi mati dengan segera maka Syam yang ditangkap pada 1967, dijatuhi hukuman mati pada 1968, menurut catatan resmi baru dieksekusi pada 1986.

Dalam pengakuannya di depan Mahmillub pada 1967-1968, Syam menyatakan seluruh perbuatannya sebagai pelaksanaan instruksi Ketua PKI Aidit termasuk pengumuman dan dekrit yang disampaikan lewat RRI Jakarta menurut pengakuannya disusun oleh Aidit. Segala pengakuan Syam tentang G30S boleh dibilang tidak dapat diperiksa dan dirujuk kebenarannya. Dokumen G30S yang diumumkan pada 1 Oktober 1965 yang terdiri dari pengumuman Letkol Untung, Dekrit No.1, Keputusan No.1 dan Keputusan No.2, rendah mutu politiknya. Dalam pengumuman pertama bernada emosional. Sulit dipercaya dokumen semacam itu disusun oleh seorang Aidit, seorang pemimpin politik yang telah malang melintang secara nasional dan internasional, pemimpin komunis kaliber dunia. Dokumen itu bertentangan dengan politik front nasional yang mati-matian diperjuangkan oleh pimpinan PKI. Terlebih lagi dokumen itu menafikan persekutuannya dengan Presiden Sukarno, kekuasaan negara diambilalih oleh Dewan Revolusi, kabinet Presiden Sukarno didemisionerkan. Apa mungkin Aidit mengubah dasar politik PKI dalam semalam pada saat BK masih segar bugar? Pendeknya dokumen-dokumen tersebut menyerimpung politik PKI ketika itu.

Pembelaan Sudisman dan KOK

Tidak ada pihak di lingkungan PKI [setidaknya yang pernah saya ketahui], di dalam maupun di luar negeri yang meragukan kesahihan dokumen Kritik Otokritik (KOK) Politbiro CC PKI, terlepas di mana dan siapa saja penyusunnya. Sesuai dengan namanya, dokumen ini disusun oleh Politbiro CC PKI dengan sejumlah anggota yang pada akhir 1965 masih hidup sebagai buron rezim militer. Dewasa ini masih ada saksi hidup dalam hal proses penyusunan dokumen ini. Selanjutnya ada dokumen lain berupa pembelaan yang dibacakan Sudisman di depan Mahmillub pada 21 Juli 1967 yang diberi judul “Uraian Tanggungjawab.” Dari tangan Sudisman masih ada satu dokumen lagi berupa pernyataan politik (yang belum selesai ditulis) sebelum ia dieksekusi mati beberapa bulan sesudah Oktober 1968. Sejauh ini juga belum ada pihak yang meragukan kesahihan dokumen yang disusun oleh orang nomor satu PKI ini setelah dibunuhnya DN Aidit, Nyoto dan MH Lukman [sekali lagi setidaknya yang pernah saya dengar].

Dalam pembelaannya Sudisman dengan tegas mengakui “Saya pribadi terlibat dalam G30S yang gagal.” Adakah ini berarti Sudisman atau Aidit terlibat langsung pada operasional gerakan militer G30S, setidaknya memberikan arahan politik? Tidak ada bukti yang mendukungnya. Di bagian lain Sudisman juga dengan tegas menyatakan “tokoh-tokoh PKI, [maksudnya pemimpin teras PKI, hs]…. terlibat dalam G30S, tetapi PKI sebagai Partai tidak terlibat….” Mari kita cermati, Sudisman memisahkan antara pimpinan teras PKI dengan partai bernama PKI, artinya memisahkan pimpinan itu dengan jutaan anggota dan puluhan juta massa PKI. Bukankah di sini antara lain letak keblingernya pimpinan PKI, sejak kapan pimpinan PKI harus dipisahkan dengan Partai-nya, anggota dan massanya, melangkah sendiri tanpa keterlibatan anggota dan massa pendukung? Ataukah kata-kata Sudisman ini sekedar upaya terakhir untuk menyelamatkan Partai yang dia ketahui telah berantakan? Instruksi yang dibawa para utusan dari Jakarta atas petunjuk Aidit, “dengarkan pengumumam RRI pusat dan sokong Dewan Revolusi [DR].” Dan itulah yang dilakukan sejumlah massa kiri di Yogyakarta pada 2 Oktober 1965 melakukan demonstrasi yang kepancal kereta, ketika gerakan di Jakarta telah berhenti sehari sebelumnya dan situasi sudah berada dalam genggaman Jenderal Suharto. Instruksi untuk mendukung DR tidak dijalankan di tempat lain.

Sudisman juga menyatakan, “Dalam mengatur gerakan sangat dibutuhkan di samping keberanian adanya kepandaian revolusioner dalam menentukan waktu yang tepat dan memimpin gerakan. Faktor-faktor ini tidak dipenuhi oleh G30S sehingga menyebabkan kegagalannya. Ditambah lagi gerakan itu terpisah sama sekali dari kebangkitan massa.” Dapatkah dikatakan menurut Sudisman secara implisit, setidaknya secara politik, G30S dipimpin oleh para petinggi PKI yang terpisah dari massa anggota dan pendukungnya? Selanjutnya Sudisman menghubungkan hal tersebut dengan kelemahan dan kesalahan PKI di bidang ideologi, politik dan organisasi sebagaimana dibahas dalam KOK. Ada keterangan menarik, ketika Aidit baru saja sampai dari Jakarta, ia mengatakan, “Wah celaka, kita ditipu oleh Suharto.” Demikian yang diceritakan oleh seseorang yang pernah bekerja di kantor CC PKI. Sayang keterangan ini tidak dapat dirujuk silang dengan narasumber lain yang memadai.

Ketika PKI dan seluruh organisasi massa pendukungnya diobrak-abrik oleh pasukan militer Jenderal Suharto dengan dukungan massa kanan, maka ada instruksi dari pimpinan PKI yang tersohor di kalangan anggota bawah, yakni apa yang disebut “defensif aktif.’ Suatu istilah yang tidak dikenal dalam yargon mereka, instruksi kabur yang membingungkan tanpa keterangan jelas. Umumnya mereka menafsirkan sebagai “selamatkan diri, jangan melakukan perlawanan apa pun.” Karena tidak ada lagi tempat untuk menyelamatkan diri dan berlindung maka berbondong-bondonglah orang menyerahkan diri kepada musuh, sebagian dengan ilusi akan mendapatkan perlindungan. Kenyataan tiadanya perlawanan sebagai yang digembar-gemborkan pimpinan PKI semasa damai ini cukup mengejutkan pihak pasukan Suharto dan para aktivis kanan. Maka tidak aneh jika sejarawan Jacques Leclerc kemudian menyebut PKI sebagai raksasa berkaki lempung. Tetapi hampir dapat dipastikan Leclerc akan menulis yang lain jika ia lakukan sebelum tragedi, terlebih apabila ia menghadiri parade 45 tahun PKI pada 23 Mei 1965. Bagaimanapun PKI sebuah partai politik, tidak memiliki barisan bersenjata. Di pihak lain pimpinan PKI mengklaim memiliki pengaruh besar di kalangan angkatan bersenjata. Dalam kenyataannya pengaruh ini tidak punya peran dalam memperkecil korban. Sejumlah batalion yang disebut “merah” yang ditarik dari Kalimantan dalam rangka konfrontasi, kemudian dilucuti dan dijebloskan ke penjara. Pembersihan di kalangan angkatan bersenjata dilakukan bertahap dan sangat sistimatis.

Sebagian besar pendukung BK terutama di kalangan angkatan bersenjata sampai akhir 1965 dan permulaan 1966 berharap BK akan segera memberikan perintah untuk menindak keras para pembangkang, Jenderal Suharto cs, sebelum mereka lebih merajalela dan menjerumuskan negeri ini. Itulah yang juga ditunggu pimpinan PKI untuk waktu tertentu, setidaknya suatu penyelesaian politik yang tidak kunjung tiba, sampai PKI hancurluluh. Sebagaimana diuraikan dalam KOK, pimpinan PKI tidak bertindak independen, tetapi menggantungkan diri pada Presiden Sukarno.

Diukur dari ajaran BK maka apa yang telah dilakukan Jenderal Suharto sepenuhnya keblinger, kita tak dapat berharap yang lain dari dirinya. Para pemimpin lain yang memiliki kapasitas untuk melakukan perlawanan terhadap kegiatan berdarah Jenderal Suharto serta menghentikannya juga telah keblinger karena praktis membiarkan Suharto bersimaharajalela.

Source: www.teguhtimur.wordpress.com

Sumber: http://notbraindamage.wordpress.com/2007/11/17/dn-aidit-pki-dan-g30s-pemimpin-muda-yang-enerjetik/

D.N. Aidit Menggugat Peristiwa Madiun

D.N. Aidit Menggugat Peristiwa Madiun

Tulisan ini adalah pidato Kawan D.N. Aidit didalam Sidang DPR tanggal 11 Februari 1957 mendjawab keterangan anggota DPR Udin Sjamsudin (Masjumi) jang mentjoba menutupi maksud2 kontra-revolusioner dari "dewan2 partikelir" di Sumatera dengan menjinggung2 soal Peristiwa Madiun.

Dengan pidato Kawan D.N. Aidit ini masjarakat dapat mengetahui dengan lebih djelas lagi hakekat Peristiwa Madiun, suatu provokasi reaksi jang dilantjarkan oleh Hatta dan arti pemberontakan kontra-revolusioner gerombolan Siinbolon dan Ahmad Husein jang satu tahun kemudian mentjapai puntjaknja dengan diproklamasikannja "Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia" di Padang oleh gembong2 Masjumi-PSI seperti Sjafruddin Prawiranegara dan Sumitro Djojohadikusumo.

Dengan tulisan ini Rakjat Indonesia sampai sekarang mempunjai tiga dokumen penting tentang Peristiwa Madiun jaitu : B u k u P u t i h t e n t a n g P e r i s t i w a M a d i u n jang diterbitkan oleh Departemen Agitprop CC PKI, M e n g g u g a t P e r i s t i w a M a d i u n dan K o n f r o n t a s i P e r i s t i w a M a d i u n 1 9 4 8 -- P e r i s t i w a S u m a t e r a ( 1 9 5 6 )

Komisi Pilihan Tulisan
D.N. Aidit dari CC PKI.

Terlebih dulu saja ingin menjatakan bahwa Pemerintah Ali-ldham dalam keterangannja pada tanggal 21 Djanuari dan dalam djawabannja pada pandangan umum babak pertama pada tanggal 4 Februari jl. bisa membatasi diri pada persoalannja, jaitu tentang kedjadian2 di Sumatera dalam bulan Desember 1956. Hal ini dapat saja hargai dan tentang ini kawan2 sefraksi saja sudah menjatakan pendapat Fraksi PKI.

Pada pokoknja pendapat kami mengenai kedjadian2 di Sumatera dalam bulan Desember tahun jl. Adalah sbb. :
Pertama : Kedjadian2 di Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan adalah rentetan kedjadian jang sengadja ditimbulkan oleh sebuah partai ketjil jang kalah dalam pemilihan umum jl. jang berhasil mendalangi sebuah partai besar dan oknum2 liar, jang tidak melihat kemungkinan dengan djalan demokratis dapat duduk kembali dalam kekuasaan sentral, dan jang hanja melihat kemungkinan dengan djalan menggunakan saluran partai2 lain, dengan djalan mempertadjam pertentangan antara partai2 agama dengan PKI dan PNI, dengan bikin2an menimbulkan kemarahan Rakjat didaerah2 supaja memberontak terhadap Pemerintah Pusat, dengan djalan mengadudomba suku satu dengan suku lainnja dan dengan djalan menghasut orang2 militer supaja memberontak kepada atasannja.

Kedua : Kedjadian2 tersebut terang sedjalan dan berhubungan dengan rentjana kaum imperialis, jang dipelopori oleh Amerika Serikat untuk menarik Indonesia kedalam pakt militer SEATO. Rentjana2 dari pemberontak di Sumatera untuk memisahkan Sumatera dan Kalimantan dari Pemerintah Pusat dan untuk mendirikan negara sendiri jang mempunjai peralatan sipil dan militer sendiri, jang mempunjai hubungan luarnegeri sendiri, adalah sepenuhnja sedjalan dengan rentjana Amerika Serikat jang diatur oleh Pentagon (Kementerian Pertahanan) dan State Department (Kementerian Luarnegeri) Amerika Serikat, oleh "djendral2" DI-TII dan oleh aparat2 serta kakitangan2 Amerika Serikat jang ada di Indonesia.

Djadi, persoalannja adalah djelas, jaitu. kepentingan vital Rakjat Indonesia disatu fihak berhadapan langsung dengan kepentingan kaum imperialis asing difihak lain. Dalam hal ini Pemerintah Ali-Idham menjatukan diri dengan kepentingan Rakjat Indonesia, dan oleh karena itu PKI tidak ragu2 berdiri difihak Pemerintah dan melawan kaum pemberontak serta aktor2 intelektualisnja. Demikianlah, kalau mengenai persoalannja. Djelas dimana kami berdiri, dan djelas pula dimana fihak lain berdiri. Tetapi, disamping pemerintah dapat membatasi diri pada persoalan jang sedang dihadapi, anggota jang terhormat Udin Sjamsudin telah mem-bawa2 Peristiwa Madiun, dengan maksud mengaburkan persoalan.

Dalam Soal Peristiwa Madiun Kaum Komunis Adalah Pendakwa
Anggota tsb. telah me-njebut2 Peristiwa Madiun dalam hubungan dengan Peristiwa Sumatera, antara lain dikatakannja "pelopor pemberontakan di Indonesia ini setelah Indonesia Merdeka adalah Partai Koniunis Indonesia", selandjutnja "kaum Komunislah jang mendjadi mahaguru pemberontakan" dan "bibitnja sudah menular keseluruh Indonesia". Maksud pembitjara tsb. djelas, jaitu supaja dalam soal peniberontakan Kolonel Simbolon dan Letnan Kolonel Ahmad Husein djuga PKI jang disalahkan. Lihatlah, betapa tidak tahu malunja orang mentjari kambinghitamnja, sama dengan tidak tahu malunja mereka menjalahkan PKI dalam hubungan dengan Peristiwa Madiun. Saja tidak membantah, bahwa baik Peristiwa Madiun maupun Peristiwa Sumatera mempunjai satu sumber dan satu tudjuan, jaitu bersumber pada imperialisme Amerika dan Belanda dan bertudjuan untuk meletakkan Indonesia sepenuhnja dibawah telapak kaki mereka.

Berhubung dengan sebuah statement Politbiro CC PKI tanggal 13 September 1953 saja pernah dihadapkan kemuka pengadilan. Dalam sidang pengadilan tanggal 27 Djanuari 1955, dengan berpegang pada ajat 3 fasal 310 KUHP jang ditimpakan pada saja, sudah saja njatakan kesediaan saja kepada pengadilan untuk membuktikan dengan saksi2 bahwa Peristiwa Madiun memang provokasi dan bahwa dalam Peristiwa Madiun tsb. tangan Hatta-Sukiman-Natsir cs. memang berlumuran darah. Dengan ini berarti bahwa Hatta, ketika itu masih wakil Presiden, harus tampil sebagai saksi berhadapan dengan saja. Kesediaan saja ini, jang djuga diperkuat oleh advokat saja, Sdr. Mr. Suprapto, tidak mendapat persetudjuan. pengadilan. Djaksa menjatakan keberatannja akan pembuktian jang mau saja adjukan dengan saksi2. Oleh karena djaksa menolak pembuktian jang mau saja adjukan, maka djaksa terpaksa mentjabut tuduhan melanggar fasal 310 dan 311 KUHP. Djelaslah, bahwa ada orang2 jang kuatir kalau Peristiwa Madiun ini mendjadi terang bagi Rakjat.

Djadi, mengenai Peristiwa Madiun kami sudah lama siap berhadapan dimuka pengadilan dengan arsiteknja Moh. Hatta. Ini saja njatakan tidak hanja sesudah Hatta berhenti sebagai wakil Presiden, tetapi seperti diatas sudah saja katakan, djuga ketika Hatta masih Wakil Presiden. Saja tidak ingin menantang siapa-siapa, tetapi kapan sadja Hatta ingin Peristiwa Madiun dibawa kepengadilan, kami dari PKI selarnanja bersedia menghadapinja. Kami jakin, bahwa djika soal ini dibawa kepengadilan bukanlah kami jang akan mendjadi terdakwa, tetapi kamilah pendakwa. Kamilah jang akan tampil kedepan sebagai pendakwa atasnama Amir Sjarifuddin, putera utama bangsa Indonesia jang berasal dari tanah Batak, atasnama Suripno, Maruto Darusman, Dr. Wiroreno, Dr. Rustam, Harjono, Djokosujono, Sukarno, Sutrisno, Sardjono dan beribu-ribu lagi putera Indonesia jang terbaik dari suku Djawa jang mendjadi korban keganasan satu pemerintah jang dipimpin oleh burdjuis Minangkabau, Mohammad Hatta. Demikian kalau kita mau berbitjara dalam istilah kesukuan, sebagaimana sekarang banjak digunakan oleh pembela2 kaum pemberontak di Sumatera, hal jang sedapat mungkin ingin kami hindari. Ja, kami djuga akan berbitjara atasnama perwira2, bintara2 dan pradjurit2 TNI jang tewas dalam "membasmi Komunis" atas perintah Hatta, karena mereka djuga tidak bersalah dan mereka djuga adalah korban perang-saudara jang dikobarkan oleh Hatta.

Dalam pembelaan saja dimuka pengadilan tanggal 24 Februari 1955 telah saja katakan "bahwa diantara orang2 jang karena tidak mengertinja telah ikut dalam pengedjaran 'terhadap kaum Komunis', tidak sedikit sekarang sudah tidak mempunjai purbasangka lagi terhadap PKI dan sudah berdjandji pada diri sendiri untuk tidak lagi mendjadi alat perang-saudara dari kaum imperialis dan kakitangannja". Alat2 negara sipil maupun militer sudah mengerti bahwa dalam Peristiwa Madiun mereka telah disuruh memerangi saudara2 dan teman2nja sendiri.

Sudah mendjadi rahasia umum, bahwa dalam pemiiihan umum untuk Parlemen maupun untuk Konstituante lebih 80% daripada anggota2 Angkatan Perang memberikan suaranja kepada partai2 demokratis, dan 30% daripada suara jang diberikan anggota Angkatan Perang adalah diberikan kepada PKI. PSI dan Masjumi hanja mendapat kurang dari 20%, djadi kurang dari suara jang didapat oleh PKI sendiri atau PNI sendiri. PSI jang mempunjai pengaruh disedjumlah opsir tinggi adalah partai kelima didalam Angkatan Perang, sedangkan Masjumi, karena politik pro Dl-nja, adalah partai keenam. Dengan ini, saja hanja hendak memibuktikan bahwa memukul PKI dengan menjembar-njemburkan Peristiwa Madiun adalah tidak merugikan PKI, malahan memberi alasan pada kami untuk berbitjara dan mendjelas-djelaskan tentang Peristiwa Madiun.

Apalagi sekarang, sesudah terdjadi pemberontakan kolonel Simbolon di Sumatera Utara dan pemberontakan "Dewan Banteng" di Sumatera Barat, menggunakan Peristiwa Madiun untuk memukul PKI adalah seperti menepuk air didulang, bukan muka PKI jang kena, tetapi muka Masjumi dan PSI sendiri jang sekarang membela pemberontak2 di Sumatera itu dengan mati2an.

Hatta Bertanggungdjawab Atas Pentjulikan, Pembunuhan Dan Perang-Saudara Tahun 1948
Mari, dalam menilai kebidjaksanaan pemerintah Ali-Idham sekarang, kita perbandingkan antara kebidjaksanaan pemerintah Hatta tahun 1948 mengenai Peristiwa Madiun dengan kebidjaksanaan pemerintah Ali-ldham sekarang. Dari hasil penilaian ini saja akan rnenentukan sikap saia terhadap kebidjaksanaan pemerintah sekarang. Peristiwa Madiun didahului oleh kedjadian2 di Solo, mula2 dengan pembunuhan atas diri kolonel Sutarto, Komandan TNI Divisi IV, dan kemudian pada permulaan September 1948 dengan pentjulikan dan pembunuhan terhadap 5 orang perwira TNI, jaitu major Esmara Sugeng, kapten Sutarto, kapten Sapardi, kapten Suradi dan letnan Muljono. Djuga ditjulik 2 orang anggota PKI, Slamet Widja,ja dan Pardijo. Kenjataan bahwa saudara jang ditjulik ini pada tgl 24 September dimasukkan kedalam kamp resmi di Danuredjan, Djokdjakarta, membuktikan bahwa pemerntah Hatta langsung tjampurtangan dalam soal pentjulikan2 dan pembunuhan2 diatas. Ini tidak bisa diragukan lagi !

Dalam pidatonja tgl. 19 September 1948 Presiden Sukarno mengatakan bahwa Peristiwa Solo dan Peristiwa Madiun tidak berdiri sendiri. Ini sepenuhnja benar ! Sesudah pentjulikan2 dan pembunuhan2 di Solo jang diatur dari Djokja, keadaan di Madiun mendjadi sangat tegang sehingga terdjadilah pertempuran antara pasukan2 dalam Angkatan Darat jang pro dan jang anti pentjulikan2 serta pembunuhan2 di Solo, jaitu pertempuran pada tgl. 18 September 1948 malam. Dalam keadaan katjaubalau demikian ini Residen Kepala Daerah tidak ada di Madiun, Wakil Residen tidak mengambil tindakan apa2 sedangkan Walikota sedang sakit. Untuk mengatasi keadaan ini maka Front Demokrasi Rakjat, dimana PKI termasuk didalamnja, mendesak supaja Kawan Supardi, Wakil Walikota Madiun bertindak untuk sementara sebagai pendjabat Residen selama Residen Madiun belum kembali. Wakil Walikota Supardi berani mengambil tanggungdjawab ini. Pongangkatan Kawan Supardi sebagai Residen sementara ternjata djuga disetudjui oleh pembesar2 militer dan pembesar2 Sipil lainnja. Tindakan ini segera dilaporkan kepemerintah pusat dan dimintakan instruksi dari pemerintah pusat tentang apa jang harus dikerdjakan selandjutnja.

Nah, tindakan inilah, tindakan mengangkat Wakil Walikota mendjadi Residen sementara inilah jang dinamakan oleh pemerintah Hatta tindakan "merobohkan pemerintah Republik Indonesia", tindakan "mengadakan kudeta" dan tindakan "mendirikan pemerintah Sovjet". Kalau dengan mengangkat seorang Wakil Walikota mendjadi Residen sementara bisa dinamakan merobohkan pemerintah Republik Indonesia, bisa dinamakan kudeta dan bisa dinamakan mendirikan pemerintah Sovjet, nama apakah lagi jang bisa diberikan kepada tindakan komplotan Simbolon dan "Dewan Banteng" di Sumatera? Selain daripada itu, djika memang demikian halnja, alangkah mudahnja merobohkan pemerintah Republik Indonesia, alangkah mudahnja mengadakan kudeta dan alangkah mudahnja mendirikan pemerintah Sovjet ! Djika memang demikian mudahnja, saja kira sekarang sudah tidak ada lagi Republik kita, karena nafsu merobohkan Republik sekarang, begitu di-kobar2kan dan begitu besarnja disementara golongan, terutama dikalangan sebuah partai ketjil jang kalah dalam pemilihan umum jang lalu. Tetapi saja kira, merobohkan Republik Indonesia tidaklah begitu mudah sebagaimana sudah dibuktikan oleh kegagalan Simbolon dan oleh makin merosotnja pamor "Dewan Banteng", disamping Republik Indonesia tetap berdiri tegak. Apalagi mendirikan pemerintah Sovjet, tidaklah semudah mengangkat seorang Wakil Walikota mendjadi Residen sementara. Rakjat Tiongkok dan Tentara Pembebasan Rakiat Tiongkok jang sudah berdjuang mati2an selama ber-puluh2 tahun dibawah pimpinan Partai Komunis Tiongkok hingga sekarang belum sampai ketaraf mendirikan pemerintah Sovjet, artinja pemerintah sosialis di Tiongkok. Djadi, alangkah bebalnja, atau alangkah mentjari2nja orang2 jang menuduh PKI merobohkan Republik dan mendirikan pemerintah Sovjet di Madiun dengan mengangkat Wakil Walikota Supardi mendjadi Residen sementara.

Berdasarkan kedjadian pengangkatan Wakil Walikota Supardi mendjadi Residen sementara dan atas tanggungdjawab sepenuhnja dari pemerintah Hatta, maka pada tanggal 19 September 1948 oleh Presiden Sukarno dadakan pidato jang berisi seruan kepada seluruh Rakjat ber-sama2 membasmi "kaum pengatjau",maksudnja membasmi kaum Komunis dan kaum progresif lainnja setjara djasmaniah. Saja katakan sepenuhnja tanggungdjawab pemerintah Hatta, karena Hattalah jang mendjadi Perdana Menteri ketika itu. Tapi karena Hatta tahu bahwa pengaruhnja sangat ketjil dikalangan Angkatan Perang dan alat2 negara lainnja, apalagi dikalangan masjarakat, maka Hatta menggunakan mulut Sukarno dan rnemindjam kewibawaan Sukarno untuk membasmi Amir Sjarifuddin dan be-ribu2 putera Indonesia asal suku Djawa. Ini, sekali lagi, kalau kita rnau berbitjara dalam istilah kesukuan jang sekarang banjak dilakukan oleh pembela2 kaum pemberontak di Sumatera, sesuatu jang sedapat niungkin ingin kami hindari.

Demikianlah, "kebidjaksanaan" Hatta sebagai Perdana Menteri dalam menghadapi persoalan-persoalan masjarakat dan persoalan politik jang kongkrit. Karena kepitjikannja dari kesornbongannja sebagai burdjuis Minang jang ingin melondjak tjepat sampai keangkasa, karena kehausannja akan kekuasaan, karena kepalabatunja, karena ketakutannja jang keterlaluan kepada Komunisme, maka Hatta sebagai Perdana Menteri dengan setjara gegabah mengerahkan alat2 kekuasaan negara untuk mentjulik, membunuh dan mengobarkan perangsaudara. Orang sering salah kira dengan menjamakan sifat kepalabatu Hatta dengan "kemauan keras" atau sikap jang "konsekwen". Tetapi saja jang djuga mengenal Hatta dari dekat berpendapat, bahwa sifat kepalabatu Hatta adalah disebabkan karena sempit pikirannja, dan karena sempit pikirannja ia tidak bisa bertukar fikiran setjara sehat, tidak pandai bermusjawarah dan tahunja hanja main "ngotot", "mutung", "basmi" dan "tangan besi". Dan apa akibatnja permainan "basmi" dan "tangan besi" Hatta ? Be-ribu2 pemuda dan Rakjat dari kedua belah fihak jang berperang mati karenanja. Seluruh Rakjat sudah mengetahui dari pengalamannja sendiri bahwa semua ini dilakukan hanja untuk melapangkan djalan bagi Hatta buat pelaksanaan Konferensi Medja Bundar dengan Belanda jang langsung diawasi oleh Amerika Serikat, untuk membikin perdjandjian KMB jang chianat dan jang sudah kita batalkan itu.

Sifat gegabah dari tindakan Hatta lebih nampak lagi ketika ia meminta kekuasaan penuh dari BPKNIP, dimana didalam pidatonja dinjatakan bahwa "Tersiar pula berita -- entah benar entah tidak -- bahwa Musso akan mendjadi Presiden Republik rampasan itu dan Mr. Amir Sjarifuddin Perdana Menteri". Lihatlah betapa tidak bertanggungdjawabnja tindakan Hatta. la bertindak atas dasar berita jang sifatnja "entah benar entah tidak" bahwa sesuatu "akan" terdjadi. Ja, Hatta bertindak atas berita jang masih diragukan tentang akan terdjadinja sesuatu. Tetapi, adalah tidak diragukan lagi bahwa tindakan Hatta sudah berakibat dibunuhnja ribuan orang jang tidak berdosa tanpa proses.

Hatta lngin Berkuasa Sewenang-wenang Lagi
Berdasarkan pengalaman dengan Peristiwa Madiun, dimana Hatta menelandjangi dirinja sebagai manusia jang tidak berperikemanusiaan, maka saja seudjung rambutpun tidak ragu bahwa Hatta, seperti belum lama berselang dimuat dalam koran2 pemah mengutjapkan kepada Firdaus A. N., hanja bersedia berkuasa djika tidak bisa didjatuhan oleh Parlemen. Kalau mau tahu tentang Hatta, inilah dia ! lnilah politiknja, inilah moralnja, inilah segala-galanja! Jaitu, seorang jang mau berkuasa setjara se-wenang2.

Hatta samasekali tidak menghargai djerihpajah Rakjat jang kepanasan dan kehudjanan antri untuk memberikan suaranja untuk Parlemen kita sekarang. Lebih daripada itu, ia djuga tidak menghargai suaranja sendiri jang diberikannja ketika memilih Parlemen ini. Orang jang tidak menghargai orang lain sering kita temukan didunia ini. Tetapi orang jang tidak menghargai suaranja sendiri, ini keterlaluan.

Hatta ingin berkuasa kembali tanpa bisa didjatuhkan oleh Parlemen, ia mengimpikan masa keemasannja ditahun 1948. Kali ini jang mau didjadikannja mangsa bukan hanja putera2 Indonesia asal suku Djawa dan Batak, tetapi djuga putera2 suku lain, termasuk putera2 suku Minangkabau, karena PKI sekarang sudah tersebar diseluruh Indonesia dan disemua suku. Tetapi, sebelum Hatta sampai kesitu, perlu saja peringatkan bahwa dalam tahun 1948 ia hanja berhadapan dengan 10.000 Komunis jang hanja tersebar setjara sangat tidak merata dipulau Djawa dan Sumatera, karena PKI ketika itu dilarang berdiri didaerah pendudukan Belanda. Tetapi sekarang, Hatta harus berhadapan dengan lebih satu djuta Komunis jang tersebar disemua pulau dan disemua suku. Saja perlu menjatakan ini, hanja untuk menerangkan betapa besar akibatnja kalau Hatta bermain "tangan besi" lagi. Dan .... besipun bisa patah !

Saja jakin, bahwa tiap2 orang jang mempunjai peran tanggungdjawab tidak ingin terulang kembali tragedi nasional seperti Peristiwa Madiun itu. Dari fihak Partai Komunis Indonesia, seperti sudah berulang-ulang kami njatakan, dan sudah mendjadi peladjaran didalam Sekolah2 Kursus2 Partai kami, kami ingin dan kami jakin bisa mentjapai tudjuan2 politik kami setjara parlementer. Kami akan menghindari tiap2 perang-saudara selama kepada kami didjamin hak2 politik untuk memperdjuangkan tjita2 kami. Tetapi, kalau kepada kami disodorkan bajonet dan didesingkan peluru seperti dalam peristiwa Madiun, djuga seperti selama peristiwa itu, kami tidak akan memberikan dada kami untuk ditembus bajonet dan ditembus peluru kaum kontra-revolusioner.

Kami kaum Komunis tidak ingin menggangu siapa2 selama kami tidak diganggu. Kami ingin bersahabat dengan semua orang, semua golongan dan semua partai jang mau bersahabat dan bekerdiasama dengan kami untuk haridepan jang lebih baik bagi tanahair dan Rakjat Indonesia. Walaupun dihadapan kantor pusat Masjumi di Kramat Raja 45, Djakarta, terpantjang dengan djelas papan "Front Anti-Komunis", djadi anti kami, anti saja dan anti kawan2 saja, tetapi kami kaum Komunis tidak akan ikut gila untuk djuga memantjangkan papan "Front Anti-Masjumi"', apalagi "Front Anti-lslam". Kami tidak akan membiarkan diri kami terprovokasi oleh pemimpin Masjumi ini. Saja pribadi tidak mau diprovokasi oleh kenalan lama saja, Sdr. Mohamad Isa Anshari, pemimpin akbar "Front Anti-Komunis". Ber-angsur2 Rakjat Indonesia berdasarkan pengalamannja sendiri mendjadi makin jakin bahwa bukanlah kaum Komunis jang anti-agama, tetapi sebaliknja, sedjumlah pemimpin partai2 agamalah jang anti-Komunis dan menghasut anggota2nja supaja anti-Komunis.

Rakjat Indonesa sudah mengetahui bahwa dalam soal pemerintahan kami menginginkan terbentuknja pemerintah persatuan nasional dimana didalamnja duduk 4-Besar, djadi termasuk PKI dan Masjumi, ber-sama2 dengan partai2 lain. Ini akan kami perdjuangkan terus walaupun sampai ini hari saja kira Masjumi belum mau, karena masih mengikuti apa jang dikatakan oleh pemimpin Masjumi Sdr. Moh. Natsir dalam muktamar Masjumi di Bandung bulan Desember 1956. Dalam muktamar tsb. Sdr. Moh. Natsir mengatakan antara lain bahwa pimpinan partai Masjumi "meletakkan strateginja menghadapi pembentukan kabinet kepada dua pokok pikiran jaitu (a) Memulihkan kerdjasama antara partai2 Islam (b) Menggabungkan tenaga2 non-Komunis dalam kabinet, Parlemen dan masjarakat serta mengisolir PKI atau para crypto-Koi-ntinis dari kabinet". (Halaman 22 "Laporan Beleid Politik Pimpinan Partai Masjumi"). Tjobalah renungkan, bukan persatuan nasional jang mereka adjarkan dan amalkan, tetapi perpetjahan nasional. Mengisolasi PKI adalah identik dengan mengisolasi berdjuta-djuta Rakjat Indonesia. Bagaimana persatuan nasional akan bisa tertjapai dengan sikap jang a-priori sematjam ini. Sikap sematjam ini hanja mempertegas keadaan politik dinegeri kita, dan jang untung bukan bangsa Indonesia, tetapi kaum imperialis asing, jang memang menginginkan peruntjingan keadaan dan perpetjahan didalam tubuh bangsa kita.

Djadi, kapankah semua pemuka bangsa kita akan beladjar dari pengalaman Peristiwa Madiun jang tragis itu, supaja tidak lagi mengulangi kesalahan tindakan dan kebidjaksanaan agar persatuan bangsa kita terpelihara baik, supaja kita tidak gegabah dalam mengambil tindakan2, apalagi tindakan2 jang bisa berakibat luas ? Saja berusaha dan terus akan berusaha untuk menarik peladjaran sebanjak-banjaknja dari pengalaman sedjarah itu.

Kabinet Ali-ldham Ber-puluh2 Kali Lebih Bidjaksana Daripada Kabinet Hatta
Dibanding dengan kebidjaksanaan pemerintah Hatta dalam menghadapi kedjadian di Madiun dalam bulan September 1948, kabinet Ali-ldham sekarang ber-puluh2 kali lebih bidjaksana. Padahal kalau melihat kedjadiannja, pengangkatan seorang Wakil Walikota mendjadi Residen sementara karena dipaksa oleh keadaan, belumlah apa2 kalau dibanding dengan pengoperan pimpinan pemerintah daerah Sumatera Tengah oleh orang2 "Dewan Banteng", jang terang-terangan direntjanakan terlebih dulu dalam reunie ex-divisi Banteng bulan

November 1956, dan jang terang2an sudah pernah menolak dan menghina perutusan pemerintah pusat jang datang untuk berunding. Apalagi kalau dibanding dengan perbuatan komplotan kolonel Simbolon pada tanggal 22 Desember 1956, jang terang2an menjatakan tidak lagi mengakui pemerintah jang sah sekarang. Apalagi, kalau kita ingat bahwa maksud jang sesungguhnja dari semua tindakan itu jalah untuk memisahkan Sumatera dan Kalimantan dari Pemerintah Pusat, mendirikan negara Sumatera dan Kalimantan serta mengadakan hubungan luarnegeri sendiri. Apalagi kalau diingat bahwa ada maksud2 untuk menjerahkan pulau We di Utara Sumatera kepada negara besar tertentu untuk didjadikan pangkalan-perang. Apalagi kalau diigat bahwa semua rentjana itu sesuai sepenuhnja dengan apa jang direntjanakan oleh Pentagon dan State Department Amerika Serikat, oleh "djendral2" DI-Tll dan aparat2 serta kakitangan2 Amerika lainnja jang ada di Indonesia. Djika diingat semuanja ini, maka pengangkatan Wakil Walikota Supardi mendjadi Residen sementara Madiun adalah hanja "kinderspel" (permainan kanak2).

Tetapi penamaan apa jang diberikan oleh Hatta kepada kedjadian2 di Madiun bulan September 1948 dan penamaan apa pula jang, diberikan orang kepada perbuatan-perbuatan kaum pemberontak di Sumatera pada bulan Desember 1956 ? Peristiwa Madiun dinamakan "merobohkan Republik Indonesia", dinamakan "kudeta", tetapi pemberontakan di Sumatera jang sepenuhnja dan setjara terang2an disokong oleh kaum imperialis asing, terutama kaum imperialis Amerika dan Belanda, mereka namakan "tindakan konstruktif" demi "kepentingan daerah"... Saja bertanja : Konstruktif untuk siapa ? Untuk kepentingan daerah mana ? Memang konstruktif sekali tindakan kaum pemberontak di Sumatera, konstruktif dalam rangka membangun pangkalan-pangkalan perang SEATO ! Memang untuk kepentingan daerah, kepentingan perluasan daerah SEATO ! Djadi, samasekali tidak konstruktif untuk Rakjat Indonesia dan samasekali bukan untuk kepentingan daerah Indonesia !

Demikianlah, apa sebabnja saja katakan bahwa mengemukakan Peristiwa Madiun dalam keadaan sekarang untuk memukul PKI adalah seperti menepuk air didulang. Bukannja PKI jang ketjipratan, tetapi djustru si-penepuk air jang sial itu. Mengemukakan soal Peristiwa Madiun dalam menghadapi Peristiwa Sumatera sekarang berarti memberi alasan jang kuat untuk mengkonfrontasikan kebidjaksanaan jang memang bidjaksana dari kabinet Ali-ldham sekarang dengan kebidjaksanaan jang tidak bidjaksana dari Kabinet Hatta dalam tahun 1948. Djika sudah dikonfrontasikan, maka akan merasa berdosalah orang2 jang ber-teriak2 ingin melihat naiknja Hatta kembali, ketjuali kalau orang2 itu memang ingin melihat Hatta sekali lagi mempermainkan njawa umat Indonesia sebagai mempermainkan njawa anak ajam.

Kebidjaksanaan kabinet Ali-ldham dalam menghadapi Peristiwa Sumatera sekarang tidak disebabkan terutama karena Ali Sastroamidjojo seorang Indonesia dari suku Djawa jang toleran, tidak, tetapi karena pimpinan kabinet sekarang terdiri dari orang2 jang mempunjai perasaan tanggungdjawab jang besar. Sukurlah, bahwa ketika terdjadi Peristiwa Sumatera Hatta tidak memegang fungsi dalam pimpinan negara, walaupun saja tidak ragu adanja sangkutpaut Hatta dengan kedjadian2 itu. Kalau Hatta memegang fungsi penting, apalagi kalau Hatta memegang tampuk pemerintahan, entah berapa banjak lagi korban jang dibikinnja.

Dalam usaha menjelesaikan Peristiwa Sumatera ada orang2 jang ingin supaja soal kolonel Simbolon "diselesaikan setjara adat", supaja soal "Dewan Banteng" diselesaikan "setjara musjawarat", setjara "potong kerbau" dan dengan "menggunakan pepatah dan petitih". Pendeknja, adat, kerbau serta pepatah dan petitih mau dimobilisasi untuk menjelesaikan soal kolonel Simbolon dan soal "Dewan Banteng". Sampai2 orang2, jang tidak beradat djuga berbitjara tentang "penjelesaian setjara adat".

Tetapi, orang-orang ini pada bungkam semua ketika Amir Sjarifuddin dengan tanpa proses ditembus oleh peluru atas perintah Hatta. Ketika Amir Sjarifuddin masih ditahan dipendjara Djokja sebelum dibawa ke Solo dan digiring kedesa Ngalian untuk ditembak, tidak ada seorang Batak atau siapapun jang tampil kedepan, dan mengatakan: "Mari soal Amir Sjarifuddin kita selesaikan setjara adat tanah Batak", atau "Mari soal Amir Sjarifuddin kita selesaikan setjara Kristen".

Saja hanja ingin bertanja: Apakah Amir Sjarifuddin jang bermarga Harahap itu kurang Bataknja daripada kolonel Simbolon sehingga adat Batak mendjadi tidak berlaku bagi dirinja? Saja kira Amir Sjarifuddin tidak kalah Bataknja daripada orang Batak jang mana djuapun, malahan ia tidak kalah Keristennja daripada kebanjakan orang Keristen. Amir Sjarifuddin meninggal sesudah ia menjanjikan lagu Internasionale, lagu Partainja, lagu kesajangannja, dan ia meninggal dengan Kitab Indjil ditangannja. Amir Sjarifuddin adalah putera Batak jang baik, jang patriotik, dan karena itu djuga ia adalah seorang putera Indonesia jang baik. Djadi tidak sepantasnja adat tanah Batak tidak berlaku baginja.

Bagaimana pula halnja ribuan orang Djawa jang didrel tanpa proses atas perintah Hatta itu ? Apakah suku Djawa jang menderita dari abad keabad tidak mengenal musjawarat dan tidak mengenal pepatah dan petitih sehingga ketika dilantjarkan kampanje pembunuhan terhadap orang2 Djawa selama Peristiwa Madiun tidak ada orang Djawa jang beradat dan tidak ada tjerdik-pandai Djawa jang tampil kedepan untuk menjelesaikan persoalan ketika itu setjara rembugan (musjawarat), setjara adat, .dan dengan berbitjara menggunakan banjak paribasan (peribahasa), dengan potong sapi, potong kerbau, dan dengan mbeleh wedus (potong kambing) ? Ataukah karena pulau Djawa sudah kepadatan penduduk maka pembunuhan atas orang2 Djawa oleh tangan besi burdjuis Minang Mohammad Hatta boleh dibiarkan ? PKI tampil kedepan untuk kepentingan, "de zwijgende Javanen" ("Orang2 Djawa Jang Berdiam Diri") ini, baik mereka Komunis ataupun bukan-Komunis. Ja, djika soal ini dibawa kepengadilan, PKI djuga akan berbitjara atasnama pradjurit2, bintara2 dan perwira2 dari suku Djawa jang mati karena melakukan tugas "membasmi Komunis" jang diperintahkan oleh Hatta. Pradjurit2, bintara2 dan perwira2 jang mati dalam pertempuran melawan Komunis ketika itu adalah tidak bersalah, sama tidak bersalahnja dengan Komunis2 jang mereka tembak. Mereka semuanja adalah korban permainan politik 'perang-saudara Hatta. Tidak hanja kami, sebagai pewaris2 dari pahlawan2 Komunis dalam Peristiwa Madiun, tetapi djuga keluarga para pradjurit, bintara dan perwira TNI jang disuruh "membasmi Komunis" berhak untuk mendakwa Hatta sebagai pembunuh sanak-saudara mereka, djika soal ini dibawa kepengadilan.

Mari sekarang kita lihat bagairnana sikap pemerintah Hatta terhadap perwira jang belum tentu bersalah dalam Peristiwa Madiun, dan bagaimana sikap pemerintah Ali-ldham sekarang terhadap opsir2 jang sudah terang bersalah dalarn pemberontakan2 di Sumatera. Pemerintah Hatta dengan tanpa memeriksa lebih dulu kesalahan mereka terus sadja memetjat perwira2, antara lain jang masih hidup sekarang bekas Djenderal Major Ir. Sakirman, bekas Letnan Kolonel Martono, bekas Major Pramudji, dan banjak lagi. Padahal perwira2 ini belum pernah dipanggil untuk menghadap, apalagi diperiksa; djadi samasekali tidak ada dasar untuk memetjat mereka. Para perwira jang belum tentu bersalah tidak hanja dipetjat, tetapi banjak djuga jang disiksa diluar perikemanusiaan dan dibunuh tanpa dibuktikan kesalahannja terlebih dahulu.

Sekedar untuk mengetahui bagaimana penibunuhan2 kedjam oleh alat-alat resmi ketika itu, bersama ini, saja lampirkan 3 buah turunan laporan resmi dan pengakuan resmi tentang pembunuhan terhadap diri Sidik Aslan dkk. dan terhadap letnan kolonel Dachlan dan major Mustoffa. Untuk menghemat waktu tidak saja batjakan lampiran-Iampiran ini. Lampiran2 ini, saja sampaikan lepas dari penilaian siapa dan bagaimana major Sabarudin, pembuat pengakuan2 tsb. Jang sudah terang major Sabarudin bukan simpatisan PKI, apalagi anggota PKI. Kekedjaman pemerintah Hatta selama Peristiwa Madiun adalah ber-puluh2 kali lebih kedjam daripada pemerintah kolonial Belanda ketika menghadapi pemberontakan Rakjat tahun 1926. Pemerintah kolonial Belanda masih memakai alasan2 hukum untuk membunuh, memendjarakan dan mengasingkan kaum pemberontak, tetapi Hatta sepenuhnja mempraktekkan hukum rimba. Semuanja ini mengingatkan saja kembali pada tulisan Hatta jang berkepala "14 Djuli", dimuat dalam harian "Pemandangan" pada 14 Djuli 1941 dimana antara lain ia menulis tentang Petain, seorang Perantjis boneka Hitler, sebagai "seorang serdadu jang berhati lurus dan djudjur". Hanja serigala mengagumi serigala, hanja fasis mengagumi fasis !

Bandingkanlah sikap pemerintah Hatta terhadap kedjadian di Madiun dengan sikap pemerintah sekarang terhadap kolonel Siinbolon jang sudah terang bersalah karena merebut kekuasaan disebagian wilajah Republik Indonesia, jang sudah terang melanggar disiplin militer atau jang oleh Presiden Sukarno/Panglima Tertinggi dalam amanatnja tanggal 25 Desember 1956 dirumuskan telah berbuat jang "menggontjangkan sendi2 ketentaraan dan kenegaraan kita, dan jang membahajakan keutuhan tentara dan negara kita pula". Kolonel Simbolon hanja diberhentikan sementara sebagai Panglima Tentara dan Teritorium I. Sedangkan terhadap pemimpin2 pemberontakan militer di Sumatera Tengah sampai sekarang belum diambil tindakan apa2.

Tentu ada orang2 jang mengatakan: ja, karena Panglima Tertinggi, Pemerintah dan Gabungan Kepala Staf Angkatan Perang sekarang tidak mempunjai kewibawaan, maka mereka tidak menghukum perwira2 tersebut seperti Hatta dulu menghukum perwira2 jang disangka tersangkut dalam Peristiwa Madiun.

Istilah "wibawa" pada waktu belakangan ini banjak dipergunakan orang dengan masing2 mempunjai interpretasinja sendiri2. Kalau dengan istilah "wibawa" jang dimaksudkan jalah kemampuan pemerintah untuk bertindak, maka terang bahwa pemerintah sekarang sanggup bertindak, sanggup memerintah, artinja mempunjai kewibawaan. Apakah bukan tanda wibawa dari pemerintah sekarang dengan dapatnja digulingkan keradjaan sehari komplotan kolonel Simbolon dalam waktu jang sangat singkat ?

Tanggal 22 Desember 1956 pemerintah memutuskan dan mengumumkan pemberhentian sementara kolonel Simbolon sebagai Panglima TT I dan menjerahkan tanggungdjawab TT I kepada letnan-kolonel Djamin Gintings atau letnan-kolonel A. Wahab Macmour. Dalam waktu hanja empat hari, jaitu pada tanggal 27 Desember 1956 komplotan kolonel Simbolon sudah dapat diturunkan dari keradjaan seharinja. Ini artinja bahwa seruan pemerintah dipatuhi, ini artinja pemerintah mempunjai kewibawaan.

Tentu ada orang2 jang berkata lagi: ja, tetapi itu mengenai Sumatera Utara. Mengenai Sumatera Tengah pemerintah tidak mempunjai kewibawaan. Mengenai ini saja djawab sbb. : Tiap2 orang jang tahu imbangan kekuatan didalam negeri tidak sukar memahamkan, bahwa kalau pemerintah pusat sekarang mau bertindak, apalagi kalau mau bertindak serampangan seperti Hatta, maka dengan pengerahan serentak seluruh kekuatan Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara, dengan dibantu oleh massa Rakjat, maka keradjaan "Dewan Banteng" djuga hanja akan merupakan keradjaan sehari.

Soalnja bukanlah hanja menundjukkan kemampuan menggunakan kekuatan seperti jang pernah dilakukan oleh Hatta, tetapi djuga kebidjaksanaan. Pada pokoknja kami setudju bahwa pemerintah sekarang mengkombinasi kekuatan riilnja dengan kebidjaksanaan. Sikap ini merupakan dasar jang kuat bagi pemerintah, djika pada satu waktu pemerintah harus bertindak keras, karena djalan perundingan sudah tidak mempan lagi.

Walaupun kami kaum Komunis pernah diperlakukan setjara kedjam oleh pemerintah Hatta selama Peristiwa Madiun, tetapi kami tidak menjetudjui djika pemerintah sekarang mentjontoh perbuatan Hatta jang gegabah dan tidak bertanggungdjawab itu. Kita semua mengetahui bahwa politik "tangan besi" Hatta sepenuhnja menguntungkan kepentingan kaum imperialis asing. Ja, walaupuin banjak perwira penganut tjita-tjita PKI jang dibasmi setjara djasmaniah dalam Peristiwa Madiun, tetapi kami tidak menuntut supaja kolonel Simbolon, letnankolonel Abmad Husein dll. dibasmi setjara djasmaniah. Apalagi kami tahu bahwa banjak opsir2 jang tersangkut dalam pemberontakan2 di Sumatera adalah karena hasutan-hasutan sebuah partai ketjil jang keok dalam pemilihan umun, jl. Kami tidak menghendaki penumpahan darah jang disebabkan oleh kehampaan kebidjaksanaan. Djadi apakah jang kami inginkan ?

Kami hanja ingin, supaja disiplin militer berdjalan sebagaimana mestinja, supaja hierarchie ketentaraan ditaati dengan patuh, supaja Angkatan Perang tetap setia kepada tjita2 Revolusi Agustus 1945, karena hanja dengan demikian kita dapat membangun Angkatan Perang jang mampu membantu menjelesaikan semua tuntutan Revolusi Agustus 1945. Hanja dengan penegakan tatatertib hukum dalam ketentaraan jang berdjiwa Revolusi Agustus 1945 Angkatan Perang kita akan setia kepada sumbernja, jaitu Revolusi dan Rakjat. Sebagaimana sudah saja katakan diatas, ada sementara orang berteriak supaja diadakan penjelesaian "setjara adat", "dengan potong kerbau" dan "dengan menggunakan pepatah dan petitih". Tetapi, djika kita tidak waspada, apakah jang tersembunji dibelakang kata2 ini semuanja? Tidak lain jalah untuk mentjairkan disiplin dalam Angkatan Perang kita, untuk mengatjau-balaukan hierarchie dan tatatertib hukum didalam ketentaraan kita. Saja tidak berkeberatan djika djuga ditempuh djalan setjara adat, kerbau2 dipotongi dan segala matjam pepatah dan petitih nenekmojang digali dan dipakai, karena semuanja ini memang warisan dan milik kita sendiri. Tetapi djangan lupa, bahwa semuanja ini hanialah faktor tambahan. Jang primer bagi orang2 militer jalah tatatertib hukum didalam ketentaraan. Kalau tidak demikian lebih baik perwira2 jang bersangkutan menanggalkan epoletnja dan kembali kekampung untuk duduk dalam lembaga2 adat dikampung. Disanalah barangkali mereka akan menemukan ketenteraman djiwanja.

Sesudah mengkonfrontasikan Peristiwa Madiun 1948 dengan Peristiwa Sumatera 1956, maka sampailah saja pada kesimpulan, bahwa peinerintah Ali-ldham sekarang berpuluh-puluh kali lebih bidjaksana daripada pemerintah Hatta ketika menghadapi kedjadian2 di Madiun dalam bulan September 1948. Ini dilihat dari sudut kebidjaksanaan. Dilihat dari sudut kewibawaan pemerintah Ali-Idham mempunjai kewibawaan, dibuktikan oleh ketaatan alat2nja pada umumnja. Jang tidak mentaati pemerintah sekarang hanja minoritet iang sangat ketjil jang sudah diratjuni oleh sebuah partai ketjil dan oknum2 liar jang tidak melihat haridepannja dalam demokrasi, tetapi dalam sesuatu kekuasaan militeris-fasis. Adalah djanggal dan tidak bertanggungdjawab djika pemerintah Ali-Idham menjerah kepada ambisi partai ketjil dan oknum2 liar ini.

Selandjutnja dapat pula ditarik kesimpulan, bahwa adalah perbuatan jang tidak bertanggungdjawab untuk memberi kans sekali lagi kepada Mohamad Hatta, bapak perang-saudara, seorang jang karena haus kekuasaan dan pendek akal telah menewaskan be-ribu2 Rakjat dan pemuda baik orang2 sipil maupun orang2 militer kita jang baik2.

Dwitunggal Tidak Pernah Ada
Sementara orang tentu akan bertanja: Tetapi bagaimana dengan "dwitunggal"? Per-tama2 perlu saja njatakan bahwa dwitunggal tidak pernah ada, bahwa dwitunggal hanja ada dalam dunia impian orang2 jang tidak mengerti seluk-beluk sedjarah perdjuangan kemerdekaan dan sedjarah pentjetusan Revolusi Agustus 1945.

Kalau orang mau tenang dan mau meng-ingat2 kembali pada pertentangan pendapat jang sengit antara Sukarno dengan "Partai Indonesia" (Partindo) disatu fihak dan Hatta-Sjahrir dengan apa jang dinamakan "Pendidikan Nasional Indonesia" difihak lain, maka orang akan sependapat bahwa dwitunggal jang sungguh2 memang tidak pernah ada. Untuk pertama kali, pada kesempatan ini ingin saja njatakan, bahwa saja sudah lama merasa ikut berdosa karena sudah ambil bagian aktif dalam gerakan memaksa Hatta menandatangani Proklamasi 17 Agustus 1945. Hatta sudah sedjak semula setjara ngotot menentang pentjetusan Revolusi Agustus. la menggantungkan kemerdekaan Indonesia sepenuhnja pada rachmat Saikoo Sikikan (Panglima Tertinggi Tentara Djepang di Indonesia) jang tidak kundjung tiba itu.

Saja merasa lebih2 ikut berdosa lagi ketika membatja pidato Hatta waktu menerima gelar Dr. HC dari Universitas "Gadjah Mada" dimana dengan tegas dikatakannja bahwa revolusi harus dibendung. Kalau saja tidak salah Universitas "Gadjah Mada" sudah tiga kali memberikan gelar kehormatan, pertama kepada Presiden Sukarno, kedua kepada Hatta dan ketiga kepada Ki Hadjar Dewantara. Pemberian jang pertama dan ketiga, menurut pendapat saja, adalah tepat, karena Universitas "Gadjah Mada" jang dilahirkan oleh revolusi memberikan gelar kehormatan kepada orang2 revolusioner, pengabdi2 revolusi. Tetapi pemberian jang kedua, jaitu pada Hatta, maaf, adalah satu kekeliruan jang mungkln tidak disengadja. Betapa tidak keliru, sebuah universitas jang dilahirkan oleh revolusi memberikan gelar kehormatan kepada seorang jang ingin membendung revolusi, kepada seorang kontra-revolusioner.

Dwitunggal jang terdiri dari seorang revolusioner dan jang seorang lagi kontra-revolusioner samasekali bukan dwitunggal. Oleh karena itulah saja katakan, dwitunggal tidak pernah ada, ketjuali didalam dongengan dan impian. Dongengan tentang dwitunggal inilah jang antara lain telah membikin revolusi kita mendjadi matjet, karena dwitunggal jang di-bikin2 itu, jang heterogeen itu, telah membikin kita terdjepit diantara dua kutub, kutub revolusi dan kutub kontra-revolusi. Selama lebih sebelas tahun Rakjat Indonesia sudah ditipu dengan apa jang dinamakan dwitunggal.

Revolusi kita berdjalan terus, semua kekuatan revolusioner harus dipersatukan dan dimobilisasi untuk mengalahkan kekuatan2 kontra-revolusioner.

Demikianlah, penilaian saja mengenai kebidjaksanaan pemerintah sekarang, sesudah saja mengkonfrontasikan kebidjaksanaan pemerintah sekarang dengan kebidjaksanaan pemerintah Hatta ditahun 1948. Saja dipaksa untuk memberikan penilaian setjara ini, karena ada salahseorang anggota Parlemen kita jang dalam pemandangan umumnja membawa-bawa Peristiwa Madiun.

Sumber:
http://dev.progind.net/modules/smartsection/item.php?itemid=39

Wajah Aidit di Seluloid

Wajah Aidit di Seluloid
October 12, 2007...3:00 pm
Film Pengkhianatan G-30-S/PKI, untuk beberapa lama, menjadi sumber visualisasi tentang sosok Aidit.

BERONDONGAN peluru Cakrabirawa merangsek ke tubuh Letnan Jenderal Achmad Yani pada malam Jumat Pahing, 30 September 1965. Saat tubuhnya terempas membentur pintu, putranya menyaksikan dari bawah meja setrika dengan wajah pasi. Jenazah Yani yang masih hangat lantas digeret keluar oleh para pelaku, memborehkan jejak darah yang berlimpah-ruah di permukaan ubin.

Malam Jumat Pahing. Sebutan itu keluar dari mulut Dipa Nusantara Aidit, Ketua Partai Komunis Indonesia, saat ia menyebutkan hari-H dari sebuah operasi rahasia. ”Kita tak boleh terlambat,” ujarnya kesal saat ada anggota Politbiro lain menyangsikan eksistensi Dewan Jenderal dan rencana mereka untuk melakukan kup terhadap Presiden Soekarno.

Peristiwa malam Jumat Pahing yang kelak dikenal sebagai Gerakan 30 September itu direka ulang lewat film kolosal Pengkhianatan G-30-S/PKI (1982). Itulah pertama kalinya masyarakat bisa menyaksikan rekaan wajah Aidit dengan jelas melalui interpretasi Syu’bah Asa. Bagaimana gayanya berbicara, bagaimana ekspresinya saat berpikir, termasuk caranya mengepulkan asap rokok. Ada saat Aidit hanya disorot dengan close-up pada gerak bibirnya, terutama ketika menunjukkan strategi yang tengah dirancang. Aidit hasil tafsiran sutradara Arifin C. Noer adalah Aidit yang penuh muslihat.

Adalah Syu’bah Asa, budayawan yang kala itu wartawan majalah Tempo, yang didapuk Arifin sebagai sang gembong PKI. ”Tadinya saya ingin memberikan perwatakan yang lebih utuh,” ungkap mantan Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta ini, ”tapi Arifin bilang tak perlu karena dia hanya butuh beberapa ekspresi saja.”

Maka, seperti tersaji di film berdurasi 271 menit itu, pada saat Aidit muncul di layar, yang tersodor adalah fragmen-fragmen seperti mata yang mendelok-delok marah atau gaya merokok yang menderu-deru gelisah. ”Saya tidak merasa sukses memainkan peran itu,” kata Syu’bah.

Tapi ia tak kecewa karena sejak awal tahu bahwa sosok Aidit dibutuhkan hanya sebagai pengimbang, bukan tokoh utama yang menjadi alasan film itu dibuat. Belum lagi menyangkut akses untuk mempelajari karakter Aidit yang sangat terbatas. Bahan riset minim, dan akses ke keluarga almarhum saat itu tak ada. ”Waktu itu tidak mungkin menghubungi keluarga Aidit. Ada jurang besar yang tak terjembatani. Tidak seperti sekarang,” ujar Syu’bah. Maka, selain dengan penafsirannya sendiri atas skenario yang ditulis Arifin, Syu’bah mendalami tokoh yang akan diperankannya melalui diskusi intens dengan Amarzan Ismail Hamid, penyair yang mengenal Aidit secara pribadi. Sepanjang malam mereka berdiskusi di Wisma Tempo Sirnagalih, Megamendung, Jawa Barat.

Apa saja informasi penting yang ia dapatkan? ”Amarzan bilang dia sudah bertemu pemimpin komunis dunia seperti Mao Tse Tung dan Ho Chi Minh. Semua karismatis di mata dia. Tapi Aidit tidak,” ungkap Syu’bah. ”Dari informasi itulah saya tafsirkan ke dalam gerak wajah.” Namun, ketika besoknya syuting dilakukan, Syu’bah sempat ketiduran. ”Kecapekan,” tuturnya. Ketika film itu selesai, Syu’bah kembali mengunjungi Amarzan, menanyakan pendapatnya tentang peran yang ia mainkan. ”Buruk,” ujar sang penyair seperti diulangi Syu’bah.

Amarzan, 66 tahun, yang dihubungi wartawan Tempo Arti Ekawati, menyatakan memang itu bukan peran yang gampang. ”Sulit untuk menggambarkan sosok seorang Aidit,” katanya. ”Apalagi itu film propaganda. Semua yang ada di dalamnya dibuat berdasarkan keinginan sang pemesan.” Di awal proses preproduksi, sebetulnya Amarzan sempat terlibat atas ajakan Arifin dan Danarto, yang menjadi direktur artistik film. ”Saya memberikan masukan tentang setting suasana rapat-rapat PKI dan suasana pada waktu itu,” tuturnya. Belakangan ia mengundurkan diri setelah sarannya tidak banyak didengar.

Danarto pun tak bertahan lama dalam pembuatan film yang digarap selama dua tahun dengan melibatkan lebih dari 10 ribu pemain figuran itu. ”Setelah berbulan-bulan melakukan riset, saya akhirnya juga mengundurkan diri sebagai art director karena soal honor,” Danarto menandaskan.

Bujet film ini sendiri tercatat Rp 800 juta, yang menjadikannya sebagai film termahal di awal 1980-an.

l l l

EMBIE C. Noer, yang bertindak sebagai direktur musik film itu, ingat kata-kata Arifin saat mendeskripsikan film yang akan mereka buat dengan sangat singkat, ”Ini film horor, Mbi.”

Bagi Embie, frasa sependek itu cukup menjadi dasar baginya untuk mengembangkan tafsir bebunyian. ”Saya bukan cuma adiknya atau krunya, melainkan juga anaknya sekaligus muridnya sejak dia masih muda,” tutur Embie. ”Karena itu, yang sama-sama kami pahami adalah Aidit sebagai sebuah diskusi politik ketimbang sebagai rekonstruksi fakta yang debatable.”

Contoh kecil yang menunjukkan itu, antara lain, adegan Aidit merokok yang dianggap menyimpang dari kebiasaan Aidit sebenarnya yang tidak merokok—seperti diyakini sang adik, Murad Aidit. ”Adegan itu justru menegaskan Mas Arifin sedang tidak merekonstruksi fakta, melainkan menyodorkan sebuah diskusi politik,” kata Embie. Ia prihatin melihat pelbagai diskusi yang muncul saat itu tentang pencitraan Aidit, dan film itu secara umumnya, yang hanya ditakar dari sisi estetika, bukan secara substantif. ”Banyak yang gagal membaca film ini,” keluh Embie. Dalam wawancaranya dengan majalah ini 23 tahun silam, Arifin mengatakan bahwa niatnya membuat film ini adalah sebagai ”film pendidikan dan renungan tanpa menawarkan kebencian” (Tempo edisi 6/14, 7 April 1984).

Berkaitan dengan tugasnya untuk memberi tafsir musikal pada film itu, Embie berkeyakinan bahwa ranah politik Indonesia, sampai detik ini, adalah konsep budaya Barat dengan para pionir seperti Ronggowarsito untuk sastra dan metafisika serta Raden Saleh untuk estetika. ”Maka saya meramu suling bambu, tape double-cassette, keyboard, dengan semangat budaya pseudo-modern,” ujarnya.

Perdebatan yang sempat muncul mengenai sosok Aidit dalam film itu, seingat Jajang C. Noer, tak sampai menggelisahkan suaminya. ”Dia sangat excited ketika melihat hasil akhirnya,” tutur Jajang.

Bagi Jajang, proses persiapan bahan untuk sosok Aidit adalah saat yang sibuk sekaligus mencemaskan. Mereka sibuk membuat kompilasi dari pelbagai bahan tertulis. Itulah yang diolah Arifin menjadi sebuah skenario. Yang membuat cemas, tim Arifin hanya memiliki satu foto Aidit, ketika sang figur berada di sebuah acara di Istora. Rumitnya lagi, foto itu pun tak begitu jelas. Persoalan menjadi sedikit lebih mudah setelah mereka berhasil mendapatkan sebuah pasfoto Aidit yang lebih jelas. ”Ternyata bentuk fisik Aidit tak sebesar yang kami bayangkan semula,” ujar Jajang. ”Dari pasfoto itulah Mas Arifin punya kesan bahwa Aidit terlihat mirip Syu’bah. Bukan pada kepersisan wajah, tapi pada wibawa.” Jajang mencontohkan, pencarian pada ”kemiripan wibawa” ketimbang kemiripan wajah juga menjadi pertimbangan utama saat mencari pemeran Bung Karno, yang akhirnya jatuh pada Umar Kayam.

Sudah selesaikah persoalan? Ternyata belum. Jajang mengungkapkan, mereka masih kesulitan mendapatkan ciri atau gestur khusus Aidit, meski sudah mencari informasi ke Subandrio dan Syam Kamaruzzaman. ”Satu-satunya tambahan informasi yang muncul adalah bahwa Aidit itu dandy. Bukan dalam pengertian genit, tapi pada gaya busana. Dan di situlah repotnya,” Jajang terkekeh sejenak. ”Syu’bah nggak bisa dibilang dandy.”

Ihwal Aidit yang merokok itu, Jajang punya jawaban lain. Saat itu Arifin merasa merokok sebagai representasi dari The Thinker. ”Secara visual terlihat lebih bagus penggambaran seseorang yang berpikir keras itu lewat rokoknya,” ulas Jajang. ”Itu sebabnya ada adegan di mana layar hanya dipenuhi asap rokok sebagai metafor sumpeknya suasana politik Indonesia.”

Dengan segala pro-kontra yang muncul akibat film Pengkhianatan G-30-S/PKI, satu hal yang tak bisa disangkal adalah generasi yang lahir pada 1970-an dan sesudahnya mendapatkan satu-satunya gambaran tentang sosok Aidit secara jelas hanya dari film itu. Setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 1998, buku tentang Aidit kemudian bermunculan, termasuk yang ditulis oleh mereka yang mengenalnya lebih dekat.

Sumber : Laporan Utama Edisi. Majalah Tempo Edisi 32/XXXVI/01 – 7 Oktober 2007

Blog Dr: http://siapakah.wordpress.com/2007/10/12/wajah-aidit-di-seluloid/

Kamis, 28 Januari 2010

Kawan Ketua ke Daerah Basis

Setelah Peristiwa G-30-S
Kawan Ketua ke Daerah Basis

Aidit menggelar rapat partai di tiga kota dalam sehari. Ada yang bilang itu konsolidasi, ada juga yang menyebutnya penyelamatan diri belaka.

Langit masih gelap saat pesawat Dakota T-443 menyentuh landasan Pangkalan Angkatan Udara Adisutjipto, Yogyakarta. Pesawat penting, dengan orang penting di dalamnya. Maka, di pagi buta itu, 2 Oktober 1965, sejumlah perwira AU bergegas ke terminal. Ada Gubernur Akademi Angkatan Udara Komodor Udara Dono Indarto, juga lima perwira AU berpangkat mayor.

”Apakah tujuan kedatangan Yang Mulia ke Yogyakarta?” tanya Komodor Udara Dono Indarto saat menyambut sang tamu di ruang VIP pangkalan.

Sosok yang dipanggil Yang Mulia itu, pria berumur 42 tahun, menjawab singkat. ”Situasi di Yogyakarta panas. Saya diperintahkan oleh Bung Karno untuk mempersiapkan, karena kemungkinan Bung Karno akan ke Yogyakarta,” katanya. Ia adalah Dipa Nusantara Aidit, Menteri Koordinator/Wakil Ketua MPRS dan juga Ketua Comite Central (CC) PKI. Ia ditemani dua sekretarisnya, Walujo dan Kusno.

Lawatan orang nomor satu PKI ini ke Yogyakarta dan Jawa Tengah pada saat seperti itu tentu saja mengundang beragam tafsir. ”Kawan ketua mendatangi daerah basis,” kata Ngadiyanto, anggota DPRD Jawa Tengah dari PKI, soal lawatan itu. Dua daerah itu memang basis partai berlambang palu arit ini. Menurut bekas Ketua Lembaga Sejarah CC PKI Sumaun Utomo, selain untuk konsolidasi, kedatangan ini buat menyelamatkan diri. ”Karena tidak banyak yang bisa dilakukan pada saat itu,” kata pria yang kini 85 tahun itu kepada Tempo.

Saat itu, terkesan Angkatan Udara menangkap kedatangan Aidit ini sebagai tugas negara, bukan partai. Angkatan Udara pun menawarkan untuk mengantarkannya ke Kepala Daerah Yogyakarta Sri Paku Alam. Tapi Aidit memilih pergi ke rumah Ketua Comite Daerah Besar (CDB) PKI Yogyakarta, Sutrisno. Salah satu perwira di pangkalan, Mayor Sunaryo, mengantarnya dengan mobil Morris; satu mobil pengawal ikut di belakangnya. Sebelumnya, sejumlah perwira mengusulkan Aidit diantar mobil dinas Angkatan Udara. Rencana ini batal karena Dono Indarto menolaknya.

Dalam perjalanan ke rumah Sutrisno, dua kali rombongan Aidit kesasar. Awalnya ke rumah Ketua Partai Nahdlatul Ulama, lalu ke rumah Ketua Partai Nasionalis Indonesia. Tak jelas benar apakah ini sengaja atau memang karena ketidaktahuan. Dalam buku Menyingkap Kabut Halim 1965 memang diungkapkan: tak seorang pun dari para pengantar itu tahu rumah Sutrisno. Tapi kedatangan orang pusat yang tak dijemput pejabat daerah memang menjadi tanda tanya sendiri di benak orang-orang Angkatan Udara.

Menurut Victor Miroslav Fic, penulis buku Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi tentang Konspirasi, di kota ini Aidit bertemu dengan pimpinan PKI Yogyakarta. Sempat dibahas kemungkinan membentuk kelompok bersenjata untuk mendukung Dewan Revolusi Untung, meski itu tak jadi dilaksanakan karena dianggap tidak mungkin. Pertemuan beberapa jam itu akhirnya memutuskan bahwa PKI setempat akan melancarkan aksi-aksi massa untuk membela Bung Karno. Pertemuan hanya berlangsung beberapa jam. Setelah itu, Aidit bertolak ke Semarang.

Wakil Ketua I CC PKI M.H. Lukman dan pemimpin PKI Jawa Tengah dikabarkan mengadakan pertemuan darurat di Semarang. Menurut Victor Miroslav Fic, pertemuan ini penting karena menghasilkan sikap politik PKI yang menyatakan Gerakan 30 September adalah masalah internal Angkatan Darat dan partai tak ada sangkut-pautnya dengan gerakan itu. Tugas utama partai kini melakukan konsolidasi kekuatan untuk menangkal serangan dari lawan-lawan politik partai dan Presiden.

Seusai pertemuan, petang itu juga Aidit dilaporkan meluncur ke Boyolali. Seorang eks anggota Gerakan Siswa Nasional Indonesia Boyolali, Jungkung, mengaku pernah melihat Aidit di jalan raya Boyolali, justru akhir Oktober 1965. Pria 61 tahun ini awalnya dihampiri dua orang yang mengendarai VW Kodok, yang belakangan diketahui adalah Aidit dan Wakil Gubernur Jawa Tengah Suyatno Atmo. ”Si Mbah (panggilan untuk Aidit) menanyakan jalan menuju kantor Bupati Boyolali,” kata Jungkung. Bupati Boyolali saat itu, Suwali, memang kader partai.

Pada hari yang sama, Aidit melaju ke Solo. Ia bertemu dan menggelar rapat dengan petinggi partai, termasuk Wali Kota Solo yang juga kader, Utomo Ramelan. Dalam rapat ini, Aidit dikabarkan gagal mendapatkan dukungan kolega partainya untuk menerima hasil keputusan pertemuan Semarang.

Bertolak belakang dengan hasil Semarang, pertemuan Solo justru mendukung operasi Gerakan 30 September beserta tujuan-tujuannya. Partai juga harus melancarkan perjuangan bersenjata untuk mendukung gerakan yang dipimpin Letnan Kolonel Untung, merebut kekuasaan pemerintah setempat dan membela partai. Menurut Victor Miroslav Fic, perbedaan keputusan Semarang dan Solo inilah yang menyebabkan pendukung partai terbelah: golongan radikal dan moderat. Yang juga belum jelas dari rangkaian peristiwa ini adalah bagaimana Aidit bisa melakukan rapat di Yogyakarta, Semarang, dan Solo dalam waktu sehari.

Dalam keadaan genting ini, Politbiro PKI bertemu di Blitar, Jawa Timur, 5 Oktober 1965. Soal pertemuan ini memang simpang-siur. Bekas anggota CC PKI, Rewang, mengaku tak tahu soal pertemuan itu. ”Oktober 1965, saya masih di Jakarta,” kata Rewang kepada Tempo. Bekas Ketua Lembaga Sejarah CC PKI Sumaun Utomo tegas menyangkal adanya pertemuan itu. ”Saat itu semua pengurus elite PKI masih di Jakarta dan sibuk menyelamatkan diri. Secara teknis, tidak mungkin anggota Politbiro berkumpul di Blitar,” kata pria 85 tahun itu.

Menurut Victor Miroslav Fic, memang tak semua elite partai hadir. Selain Aidit, cuma ada M.H. Lukman, Wakil Ketua I CC PKI yang juga Wakil Ketua DPR Gotong-royong. Pertemuan itu untuk menyusun pernyataan Politbiro PKI soal Gerakan 30 September dan juga surat Aidit yang akan disampaikan kepada Presiden Soekarno.

Dalam surat tertanggal 6 Oktober yang diyakini ditulis di Blitar, Aidit menyampaikan versinya soal peristiwa 30 September. Malam itu, ia mengaku dijemput tentara berpakaian Pengawal Presiden Cakrabirawa untuk rapat darurat kabinet. Tapi mobil yang membawanya justru mengarah ke daerah Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, bukan Istana Negara. Dari para penahannya, ia mendapat informasi soal rencana menangkap orang yang disebut terlibat Dewan Jenderal. Informasi tambahan lainnya, Presiden dikabarkan memberi restu gerakan ini.

Keesokan harinya, masih menurut surat itu, Aidit diminta berangkat ke Yogyakarta dengan pesawat yang disediakan Wakil Perdana Menteri Omar Dhani, untuk mengatur kemungkinan evakuasi Presiden ke Yogyakarta. Kota ini dianggap tepat untuk markas pemerintahan sementara. Dalam surat tersebut, Aidit juga menyampaikan permintaan maaf karena tak bisa datang dalam rapat kabinet di Bogor karena pesawat AURI yang akan mengantarnya rusak.

Surat itu diakhiri dengan enam usul untuk menyelesaikan krisis politik akibat penculikan dan pembunuhan para jenderal Angkatan Darat tersebut. PKI tetap beranggapan Gerakan 30 September itu adalah soal internal di tubuh Angkatan Darat. Aidit mengaku tak tahu sebelumnya soal gerakan tersebut ”sehingga tidak dapat menyalurkan potensi revolusi ke arah yang wajar”. Kepada Presiden, Aidit menyampaikan usul agar peristiwa itu diselesaikan Presiden secara politik.

Aidit menyerahkan surat itu kepada Lukman dan menginstruksikan agar dia kembali ke Jakarta. Di Ibu Kota, Lukman diminta menghubungi Njoto dan menyampaikan surat tersebut untuk diserahkan kepada Presiden secara pribadi. Bila kabinet bersidang pada 6 Oktober di Bogor, Njoto diminta hanya membacakan salah satu poin yang berisi usul penyelesaian peristiwa Gerakan 30 September secara politik. Njoto memang bisa bertemu dengan Presiden. Di depan sidang kabinet, Presiden memberi Njoto kesempatan untuk menyampaikan pandangan PKI.

Ada cerita sendiri soal gagalnya Aidit datang dalam rapat kabinet di Istana Bogor. Mulanya, datang radiogram kepada komandan Skuadron Pendidikan B Mayor Udara Sugiantoro, 5 Oktober 1965. Isinya, ada permintaan agar dikirim sebuah pesawat Mentor ke Pangkalan Angkatan Udara Panasan, Solo, dan pilotnya menghadap ke komandan pangkalan.

Mayor Udara Sugiantoro melaporkan radiogram itu ke Gubernur Akademi Angkatan Udara Komodor Udara Dono Indarto. Tak lama kemudian, Sugiantoro bersama Kapten Udara Suwandi Sudjono melesat dengan dua pesawat Mentor ke Panasan, Solo. Sesampai di pangkalan, ia menghadap ke komandan pangkalan, Kolonel Udara Sunyoto. Ia pun diberi instruksi mengantar seorang pejabat, yang tak ia sebutkan namanya, ke Pangkalan Angkatan Udara Semplak, Bogor.

Atas desakan Mayor Sugiantoro yang ingin tahu siapa pejabat ”misterius” itu, Kolonel Sunyoto pun buka kartu. Orangnya tak lain adalah Aidit. Tahu perkembangan Gerakan 30 September di Jakarta melalui radio, ia tegas menolak instruksi itu.

”Ini perintah,” bentak Kolonel Sunyoto waktu itu.

”Saya hanya tunduk pada perintah atasan saya langsung di Akademi Angkatan Udara,” kata Mayor Sugiantoro.

Suasana tegang karena keduanya sama-sama teguh pendirian. Pesawat Mentor itu pun kembali lagi ke Yogyakarta, dan tak ada penerbangan ke Bogor.

Di tengah gencarnya usaha perburuan terhadap tokoh dan simpatisan PKI yang dilakukan pasukan Soeharto, Aidit masih sempat mengeluarkan instruksi. Menurut Victor Miroslav Fic, salah satu instruksinya adalah yang dibuat pada 10 November. Dalam surat yang terdiri atas 11 item itu, Aidit menyampaikan ”wasiat” setelah melihat perkembangan keadaan. Merujuk pada buku wartawan TVRI Hendro Subroto, Dewan Revolusi PKI: Menguak Kegagalannya Mengkomuniskan Indonesia, mungkin surat itu ditulis dari tempat persembunyian Aidit di daerah Kerten atau Sambeng, sama-sama di Solo.

Dalam ”wasiat terakhirnya” itu, Aidit mengakui kerusakan fatal pada partai akibat Gerakan 30 September, meski semua sudah diperhitungkannya. Surat itu juga mengisyaratkan kemungkinan Aidit mencari perlindungan ke RRC. Jika itu terjadi, petinggi PKI diminta menjamin kelangsungan partai, mempertahankan daerah basis di Jawa, menghindari perlawanan frontal, serta teror dan sabotase hendaknya dijalankan sistematis untuk perang urat saraf. Surat itu juga mengisyaratkan optimisme bahwa Sosro—yang diyakini sebagai nama samaran untuk Soekarno—belum meninggalkan PKI.

Dalam sidang terakhir Kabinet Dwikora, 6 Oktober, Soekarno bisa meyakinkan kabinet untuk menerima usul Aidit. Tapi perkembangan yang terjadi kemudian berujung pada kekalahan PKI. Selang 12 hari setelah ”surat wasiat” itu, Aidit ditangkap anak buah Komandan Brigade Infanteri 4 Kodam Diponegoro Kolonel Yasir Hadibroto. Itulah akhir karier dan hidupnya.

Perjalanan Terakhir Aidit

1. Jakarta
# Aidit bertolak dari Jakarta pukul 01.30 WIB pada 2 Oktober 1965.
# Naik Pesawat Dakota T-443 dari Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma menuju Pangkalan Angkatan Udara Adisutjipto.

2. Yogyakarta
# Tiba di bandara pada 2 Oktober 1965 dini hari.
# Aidit pergi ke rumah Ketua CDB PKI Yogyakarta Sutrisno.
# Bertemu dengan petinggi partai dan memutuskan bahwa PKI setempat akan melancarkan aksi-aksi massa untuk membela Presiden Soekarno.

3. Semarang
# Aidit bergabung dengan pemimpin PKI Jawa Tengah yang mengadakan pertemuan darurat, 2 Oktober 1965.
# Rapat menghasilkan sikap politik yang menyatakan Gerakan 30 September adalah masalah internal Angkatan Darat dan PKI tak ada sangkut-pautnya dengan gerakan itu.
# Tugas utama partai kini melakukan konsolidasi.

4. Boyolali
# Aidit dilaporkan datang ke kota ini pada 2 Oktober 1965, tapi agendanya tak jelas benar.
# Ada yang mengaku melihat Aidit di Boyolali justru akhir Oktober. Waktu itu, Aidit hendak bertemu dengan kader partai yang jadi Bupati Boyolali, Suwali.

5. Solo
# Aidit menggelar rapat dengan petinggi partai, termasuk Wali Kota Solo Utomo Ramelan, 2 Oktober 1965.
# Rapat justru mendukung operasi Gerakan 30 September dan partai harus melancarkan perjuangan bersenjata untuk mendukung gerakan Letnan Kolonel Untung merebut kekuasaan pemerintah setempat dan membela partai.

6. Blitar
# Pada 5 Oktober 1965, Politbiro PKI menggelar rapat.
# Pertemuan itu untuk menyusun pernyataan Politbiro PKI soal Gerakan 30 September dan juga surat Aidit kepada Presiden Soekarno.
# Bekas anggota CC PKI, Rewang, tak tahu pertemuan itu.
# Bekas Ketua Lembaga Sejarah CC PKI Semaun Utomo menyangkal adanya pertemuan itu.

7. Solo
# Pada 10 November, di suatu tempat di Solo, Aidit menulis instruksi ke semua CBD partai.
# Pada 22 November 1965, Aidit ditangkap.


Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/cetak/2007/10/01/LU/mbm.20071001.LU125174.id.html

G30 S dan Peran Aidit

G30 S dan Peran Aidit

Tempo, 1-7 Oktober 2007


SETIAP kali 30 September melintas, orang sulit melupakan Partai Komunis Indonesia. Bahkan PKI banyak melakukan kesalahan hingga akhirnya tumbang dalam prahara Gerakan 30 September, banyak orang mahfum. Menjelang 1965, ketua umumnya, Dipa Nusantara Aidit, menghadapi dilema yang tak mudah dipecahkan.

Menjadi pimpinan partai sejak Januari 1951, tiga tahun setelah pemberontakan Madiun, Aidit berhasil mengkonsolidasi partai yang sedang jatuh itu dengan kecepatan yang mengundang decak kagum. PKI menduduki posisi keempat dalam Pemilu 1955 dengan 6,1 juta pemilih atau meraih 16,4 persen suara. Dalam pemilu daerah yang dilangsungkan dua tahun kemudian, jumlah suara PKI meningkat hampir 40 persen. Di beberapa daerah mereka bahkan mendapat suara mayoritas. Setelah partai komunis di Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina, PKI menjadi partai komunis terbesar di dunia. Anggota partai itu diklaim 3,5 juta orang, berlipat ratusan kali dari semula hanya 4.000 orang.

Tapi mereka tak kunjung bisa mewujudkan revolusi--tahap penting untuk mencapai masyarakat tanpa kelas seperti dicita-citakan Marx dan Lenin. Mengharapkan "revolusi" melalui pemilu seperti menggantang asap, karena Bung Karno dengan Demokrasi Terpimpinnya tak membuka pintu. Selain itu, pemilu bagi sebagian petinggi PKI dianggap bukan ide yang cemerlang, mengingat--kecuali di Cile--partai komunis tak pernah menang. Ide Nasakom yang dijalankan Soekarno untuk menyatukan golongan nasionalis, agama, dan komunis, telah menyandera PKI.

Tapi yang paling mencemaskan D.N. Aidit adalah bahwa PKI tak punya tentara. Padahal kekuasaan, seperti kata Mao Tse Tung, lahir dari ujung bedil. Membentuk sayap militer tak mudah: selain makan waktu, ini sulit dilakukan mengingat tentara pasti menghalangi. Ide Aidit membentuk angkatan kelima dengan mempersenjatai buruh dan tani tak terwujud karena resistensi militer. PKI berkejaran dengan waktu: Bung Karno uzur dan sakit, sementara selalu saja terdengar kabar bahwa militer, yang memiliki senjata, bakal mengambil alih kekuasaan.

Maka dilakukanlah taktik yang tak konvensional itu: infiltrasi ke tubuh ABRI. Aidit percaya, revolusi bisa dimulai dengan kudeta yang didukung sedikitnya 30 persen tentara. Untuk mencapai tujuannya, Aidit menggunakan organ partai bernama Biro Chusus pimpinan Syam Kamaruzzaman.

Di sini muncul blunder lain. Aidit mengambil keputusan-keputusan sepihak bersama Syam tanpa berkonsultasi dengan petinggi partai lainnya. Sudisman menyindir Biro Chusus sebagai PKI ilegal. Sejumlah studi meyakini Aidit sendiri akhirnya ditinggalkan Syam. Selanjutnya, kita tahu: PKI porak poranda dan ratusan ribu rakyat mati akibat perang saudara.

Adakah yang bisa dipetik dari peristiwa sejarah itu? Harus diakui, PKI adalah partai besar. Partai ini berdiri dan dibangun di atas sebuah cita-cita. Harapan itu kemudian diturunkan dalam bentuk "program umum" dan "program khusus", serta dijalankan melalui pelbagai kegiatan yang dikontrol dan diukur. PKI punya teori perjuangan.

Frasa "memperjuangkan kepentingan rakyat," di tangan PKI, tak berhenti sebagai janji kampanye. Program tanah untuk rakyat, misalnya, diperjuangkan untuk memberikan porsi yang lebih besar kepada petani penggarap atas hasil panen--sesuatu yang sebelumnya hanya menguntungkan pemilik tanah.

Sejarah Bolshevik mengajarkan kepada PKI ihwal perlunya model organisasi yang ketat. Ada Central Comite dan Politbiro yang menentukan kebijakan organisasi. Calon anggota diperiksa dan diawasi dalam jangka waktu tertentu hingga akhirnya diterima sebagai kader. Demokrasi pada taraf tertentu diterapkan untuk menghindari fraksinasi. Pendidikan politik dijalankan bahkan hingga ke desa-desa. Buku Mao Tse Tung diterjemahkan ke bahasa daerah agar bisa dipelajari secara luas.

Kantor PKI, seperti disebut dalam sejumlah studi, adalah markas yang hidup dan bergerak. Organisasi tak hanya mengurus program partai tapi juga tetek-bengek seperti anggota yang meninggal atau melahirkan. PKI tak hanya menjadi organisasi politik tapi juga menjadi komunitas. Ketika kantor pusat PKI dibangun di Jalan Kramat Raya, Jakarta, sebagian besar dananya diperoleh dari sumbangan anggota yang pengelolaannya dilaporkan secara transparan. Koran Harian Rakjat digenjot oplahnya hingga mencapai 60 ribu eksemplar--jumlah yang fantastis untuk zaman itu.

Intinya, PKI memperjuangkan kepentingan kadernya, dan para anggota bekerja untuk partai karena kesamaan cita-cita. Empat puluh dua tahun setelah 1965 dan sembilan tahun setelah "revolusi" 1998, sebuah partai yang hidup mengurus anggotanya sepanjang tahun itulah yang tak kita temukan pada kebanyakan partai zaman sekarang.


Dua Wajah Dipa Nusantara

Tempo, 1-7 Oktober 2007

EMPAT puluh dua tahun berlalu dan kini kita mengenang lelaki itu dengan kebencian dan rasa kagum. Dipa Nusantara Aidit memimpin Partai Komunis Indonesia pada usia belia, 31 tahun. Ia hanya perlu setahun untuk melambungkan PKI ke dalam kategori empat partai besar di Indonesia. PKI mengklaim memiliki 3,5 juta pendukung dan menjadi partai komunis terbesar di dunia setelah Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina. Aidit memimpikan revolusi, ia berkhayal tentang Indonesia tanpa kelas. Tapi ia terempas dalam prahara 1965. Setelah itu, ia jadi mitos. Seperti juga peristiwa G-30-S, kisah tentangnya dipenuhi mitos dan pelbagai takhayul. Siapa Aidit ini seben


BERTAHUN-TAHUN orang mengenalnya sebagai "si jahat." Lelaki gugup berwajah dingin dengan bibir yang selalu berlumur asap rokok. Bertahun-tahun terdengar kalimat-kalimat ini meluncur dari mulutnya: "Djawa adalah kunci ..."; "Djam D kita adalah pukul empat pagi ..."; "Kita tak boleh terlambat ...!"

Dipa Nusantara Aidit pada 1980-an adalah Syu'bah Asa. Seniman dan wartawan ini memerankan Ketua Umum Comite Central Partai Komunis Indonesia itu dalam film Pengkhianatan G-30-S/PKI. Setiap 30 September film itu diputar di TVRI. Lalu di depan layar kaca kita ngeri membayangkan sosoknya: lelaki penuh muslihat, dengan bibir bergetar memerintahkan pembunuhan itu.

Di tempat lain, terutama setelah Orde Baru runtuh dan orang lebih bebas berbicara, PKI didiskusikan kembali. Juga Aidit. Pikiran-pikirannya dipelajari seperti juga doktrin-doktrin Marxisme-Leninisme. Dalam sebuah diskusi di Yogyakarta, seorang penulis muda pernah di luar kepala mengutip doktrin 151--ajaran dasar bagi kaum kiri dalam berkesenian. Diam-diam komunisme dipelajari kembali dan Aidit menjadi mitos lain: sang idola.

Dia memulai "hidup" sejak belia. Putra Belitung yang lahir dengan nama Achmad Aidit itu menapaki karier politik di asrama mahasiswa Menteng 31--sarang aktivis pemuda "radikal" kala itu. Bersama Wikana dan Sukarni, ia terlibat peristiwa Rengasdengklok--penculikan Soekarno oleh pemuda setelah pemimpin revolusi itu dianggap lamban memproklamasikan kemerdekaan. Ia terlibat pemberontakan PKI di Madiun, 1948. Usianya baru 25 tahun. Setelah itu, ia raib tak tentu rimba. Sebagian orang mengatakan ia kabur ke Vietnam Utara, sedangkan yang lain mengatakan ia bolak-balik Jakarta-Medan. Dua tahun kemudian, dia "muncul" kembali.

Aidit hanya butuh waktu setahun untuk membesarkan kembali PKI. Ia mengambil alih partai itu dari komunis tua--Alimin dan Tan Ling Djie--pada 1954, dalam Pemilu 1955 partai itu sudah masuk empat pengumpul suara terbesar di Indonesia. PKI mengklaim beranggota 3,5 juta orang. Inilah partai komunis terbesar di dunia setelah Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina.

Dalam kongres partai setahun sebelum pemilu, Aidit berpidato tentang "jalan baru yang harus ditempuh untuk memenangkan revolusi." Dipa Nusantara bercita-cita menjadikan Indonesia negara komunis. Ketika partai-partai lain tertatih-tatih dalam regenerasi kader, PKI memunculkan anak-anak belia di tampuk pimpinan partai: D.N. Aidit, 31 tahun, M.H. Lukman (34), Sudisman (34), dan Njoto (27).

Tapi semuanya berakhir pada Oktober 1965, ketika Gerakan 30 September gagal dan pemimpin PKI harus mengakhiri hidup di ujung bedil. Aidit sendiri tutup buku dengan cara tragis: tentara menangkapnya di Boyolali, Jawa Tengah, dan ia tewas dalam siraman satu magazin peluru senapan Kalashnikov serdadu.

●●●

LAHIR dari keluarga terpandang di Belitung, Sumatera Selatan, 30 Juli 1923, D.N. Aidit adalah anak sulung dari enam bersaudara-dua di antaranya adik tiri.

Ayahnya, Abdullah Aidit, adalah mantri kehutanan, jabatan yang cukup terpandang di Belitung ketika itu. Ibunya, Mailan, lahir dari keluarga ningrat. Ayah Mailan seorang tuan tanah. Orang-orang Belitung menyebut luas tanah keluarga ini dengan ujung jari: sejauh jari menunjuk itulah tanah mereka. Adapun Abdullah Aidit adalah anak Haji Ismail, pengusaha ikan yang cukup berhasil.

Tak banyak fakta yang menguraikan kehidupannya pada periode Belitung ini kecuali keterangan dari Murad Aidit, anak bungsu Abdullah-Mailan. Meski disebut-sebut bahwa Achmad adalah kakak yang melindungi adik-adiknya, ada pula cerita yang menyebutkan ia sebetulnya tak peduli benar dengan keluarga. Kepada Murad, suatu ketika saat mereka sudah di Jakarta, Aidit pernah mengatakan satu-satunya hal yang mengaitkan mereka berdua adalah mereka berasal dari ibu dan bapak yang sama. Tidak lebih. Dengan kata lain, Achmad tak peduli benar soal "akar."

Di Belitung, ia bergaul dengan banyak orang. Ia menjadi bagian dari anak pribumi, tapi juga bergaul dengan pemuda Tionghoa. Simpatinya kepada kaum buruh dimulai dari persahabatannya dengan seorang pekerja Gemeenschapelijke Mijnbouw Billiton, tambang timah di kampung halamannya.

Tapi seorang bekas wartawan Harian Rakjat, koran yang berafiliasi dengan PKI, menangkap kesan lain tentang Aidit. Katanya, Dipa Nusantara bukan orang yang mudah didekati. Ia tegang, ia tak ramah. "Saya tak pernah merasa nyaman bila bersamanya," kata bekas wartawan itu. Dalam hal ini, potret Arifin C. Noer, sutradara Pengkhianatan G-30-S/PKI, tentang Aidit mungkin tak kelewat salah: Aidit adalah pegiat partai yang dingin--mungkin cenderung kering.

Tak seperti Njoto, ia tak flamboyan. Ia tak main musik. Kisah cintanya jarang terdengar, kecuali dengan Soetanti, dokter yang belakangan menjadi istrinya. Pernah terdengar kabar ia menyukai seorang gadis yang juga dicintai sastrawan kiri, Utuy Tatang Sontani. Tapi tak ada perselisihan yang berarti. Ketika gadis itu menikah dengan lelaki lain, keduanya cuma tersenyum simpul.

Aidit memang menulis puisi, tapi sajak-sajaknya miskin imajinasi. Puisi-puisinya pernah ditolak dimuat di Hsrian Rakjat, koran yang sebetulnya berada di bawah kendalinya. Untuk itu ia murka, ia membanting telepon. Ada dugaan ia menulis sajak karena Mao Tse-Tung menulis sajak. Dikabarkan pernah pula berenang di sepotong sungai di Jakarta karena tahu Ketua Mao pernah menyeberangi Sungai Yang-Tse di Cina.

Tapi, apa pun, ia memimpin partai yang berhasil--setidaknya sampai G-30-S membuatnya porak-poranda. Kini peristiwa itu dikenal dengan pelbagai tafsir dengan Aidit sebagai tokoh yang selalu disebut.

Buku putih pemerintah Orde Baru menyebutkan PKI adalah dalang prahara itu. Tujuannya jelas: menjadikan Indonesia sebagai negara komunis. Hasil studi sejumlah Indonesianis asal Cornell University, Amerika Serikat, menyimpulkan kejadian itu adalah buah konflik internal Angkatan Darat. Studi ini disokong penelitian lain yang dilakukan Coen Holtzappel.

Ada pula yang yakin Amerika Serikat dan CIA yang menjadi dalang. Bekerja sama dengan klik tertentu dalam Angkatan Darat, AS memprovokasi PKI untuk menjatuhkan Soekarno. Penelitian Geoffrey Robinson termasuk yang mempercayai skenario ini.

Yang lain percaya ada skenario Inggris dan CIA yang bertemu untuk menjatuhkan Soekarno yang prokomunis. Ada pula yang berpendapat G-30-S adalah skenario Soekarno untuk melenyapkan oposisi tertentu dalam Angkatan Darat.

●●●

D.N. AIDIT sebetulnya punya sejumlah modal untuk melancarkan revolusi--sesuatu yang dipercaya kaum komunis bisa menjadikan masyarakat lebih baik: masyarakat tanpa kelas. Ia dekat dengan Soekarno, ia punya massa. Tapi PKI punya kelemahan: mereka tak punya tentara. Pengalaman partai komunis di banyak negara menunjukkan kekuatan bersenjata di bawah kendali partai adalah esensial karena, seperti kata Mao, kekuasaan lahir dari laras bedil. PKI pernah mengusulkan dibentuknya angkatan kelima--dengan mempersenjatai buruh dan tani--tapi gagasan itu segera ditentang tentara.

Mengatasi keadaan, Aidit datang dengan teorinya sendiri. Sebuah revolusi bisa dimulai dengan kudeta asalkan kup itu disokong 30 persen tentara. Kabarnya, gagasan ini sempat dipersoalkan aktivis partai komunis negara lain karena ide itu tak ada dalam ajaran Marxisme.

Di sinilah muncul spekulasi bahwa Aidit "berjalan sendiri." Inidikasi yang paling sering disebut adalah ketika ia mendirikan Biro Chusus bersama Sjam Kamaruzzaman--tokoh misterius yang bahkan tak banyak dikenal oleh petinggi PKI sendiri. Pendirian Biro Chusus menjadi bahan gunjingan karena dilakukan tanpa konsultasi dengan anggota Comite Central yang lain. Sudisman menyebut ada dua faksi dalam partainya: PKI legal dan PKI ilegal. Yang terakhir ini adalah sindiran Sudisman terhadap Biro Chusus.

Itulah sebabnya, di hadapan seorang wartawan Harian Rakjat, 6 Oktober 1965, Njoto pernah bertanya kepada Lukman tentang apa yang terjadi dengan G-30-S. Lukman menggeleng.

Njoto, dalam wawancaranya dengan Asahi Shimbun, 2 Desember 1965--dua pekan sebelum ia dinyatakan "hilang"--menyerang keyakinan Aidit tentang kudeta yang bisa bermutasi menjadi revolusi itu. "Revolusi siapa melawan siapa? Apakah dengan demikian premis Untung (Letnan Kolonel Untung, pemimpin aksi G-30-S--Red.) mengenai adanya Dewan Jenderal itu membenarkan coup d'etat?" tanya Njoto.

Aiditkah dalang tunggal prahara G-30-S? Dalam diskusi internal redaksi Tempo, Ibarruri Putri Alam, anak sulung D.N. Aidit, menyangkalnya. Iba, kini bermukim di Paris, Prancis, meyakini bapaknya pun tak tahu-menahu soal pembunuhan para jenderal. Dari sejumlah studi yang dibacanya, ditemukan bahwa saat dibawa ke Halim, Jakarta Timur, oleh aktivis PKI tak lama setelah pembunuhan terjadi, Aidit bertanya-tanya, "Saya mau dibawa ke mana?"

Di sinilah spekulasi lain: Aidit ditelikung Sjam Kamaruzzaman. Skenario ini bukan tak punya argumentasi. Sebuah studi misalnya mengutip keterangan Mayor Angkatan Udara Soejono yang berbincang dengan Aidit 30 September malam. Kepada Soejono, Aidit membenarkan kabar bahwa informasi-informasi penting yang ditujukan kepadanya harus melalui Sjam.

Persoalannya, menurut Soejono, rapat-rapat Politbiro menjelang G-30-S hanya memerintahkan penangkapan para jenderal--untuk diserahkan kepada Bung Karno--bukan pembunuhan. Ketidaksetujuan terhadap analisis militer Sjam juga telah disampaikan seorang komandan batalion gerakan yang kemudian ditahan di Rumah Tahanan Militer Salemba.

Begitukah? Tak pernah ada jawaban tunggal atas prahara yang menewaskan ratusan ribu orang tersebut. Tidak buku putih Orde Baru, tidak juga keyakinan Ibarruri. Sejarah adalah sebuah proses menafsirkan.

Apa yang disajikan dalam Liputan Khusus Tempo kali ini adalah upaya mengetengahkan versi-versi itu. Juga ikhtiar membongkar mitos tentang D.N. Aidit. Bahwa ia bukan sepenuhnya "si brengsek," sebagaimana ia bukan sepenuhnya tokoh yang patut jadi panutan.●


Masa Kecil di Belitung

Anak Belantu Jadi Komunis

Tempo, 1-7 Oktober 2007

Datang dari keluarga terhormat, bibit komunisme tumbuh dalam diri Aidit ketika menyaksikan nasib buruh kecil di perusahaan tambang timah di Belitung.
ACHMAD Aidit lahir pada 30 Juli 1923 di Jalan Belantu 3, Pangkallalang, Belitung. Ayahnya Abdullah Aidit dan ibunya Mailan. Abdullah adalah mantri kehutanan, jabatan yang cukup bergengsi di Belitung ketika itu. Mailan lahir dari keluarga ningrat Bangka Belitung.

Ayah Mailan bernama Ki Agus Haji Abdul Rachman. Titel ki pada nama itu mencirikan ia ningrat. Dia juga tuan tanah. Orang-orang Belitung menyebut luas tanah keluarga ini dengan ujung jari. Maksudnya, sejauh jari menunjuk, itulah tanah mereka. Adapun Abdullah Aidit, anak Haji Ismail, seorang pengusaha ikan yang makmur. Mereka memiliki puluhan sero, semacam tempat penangkapan ikan di laut, dan pemasok ikan terbesar ke sejumlah pasar.

Yah, Achmad yang belakangan berganti nama Dipa Nusantara (D.N.) Aidit memang datang dari keluarga terhormat.

Karena datang dari kaum terpandang itulah keluarga ini gampang bergaul dengan polisi di tangsi, orang-orang Tionghoa di pasar, dan none-none Belanda di Gemeenschapelijke Mijnbouw Billiton, sebuah perusahaan tambang timah milik Belanda.

Berdiri pada 1825, perusahaan itu hanya dua kilometer dari rumah Aidit. Dinasionalisasi pada era Soekarno, firma ini berubah menjadi PT Pertambangan Timah Balitung, lalu ditutup pada April 1991 setelah stok timah di kawasan itu merosot.

Selain mudah bergaul dengan tuan-tuan Belanda, anak-anak Abdullah juga gampang masuk Hollandsch Inlandsche School (HIS), sekolah menengah pemerintah Belanda ketika itu. Kini bangunan sekolah itu masih tegap berdiri dan berganti wujud menjadi Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Tanjung Pandan.

Abdullah punya delapan anak. Semua lelaki. Dari perkawinan dengan Mailan, lahir Achmad, Basri, Ibrahim (meninggal dunia ketika dilahirkan) dan Murad. Abdullah kemudian menikah lagi dengan Marisah dan melahirkan Sobron dan Asahan. Keenam anaknya itu menyandang nama belakang Aidit--nama keluarga, "Namun bukan marga," kata Ibarruri Aidit, putri sulung D.N. Aidit. Dua anak lainnya, Rosiah dan Mohammad Thaib, adalah anak bawaan Marisah dengan suami sebelumnya.

Walau dididik di sekolah Belanda, anak-anak Abdullah tumbuh dalam keluarga yang rajin beribadah. Abdullah adalah tokoh pendidikan Islam di Belitung. Dia pendiri Nurul Islam, organisasi pendidikan Islam dekat kawasan pecinan di kota itu. Hingga kini sekolah itu masih tegak berdiri.

Sepulang sekolah, Aidit dan adik-adiknya belajar mengaji. Guru mereka Abdurracham, adik ipar Abdullah. Setelah mengaji, Achmad dan adik-adiknya meluncur ke sungai mengambil air. Sebagai kakak tertua, Achmad biasanya membawa jeriken paling besar.

Orang-orang di Jalan Belantu mengenal Achmad Aidit sebagai tukang azan. Seperti di sebagian besar wilayah Indonesia saat itu, Belitung juga belum punya pengeras suara guna mengumandangkan azan. "Karena suara Bang Achmad keras, dia kerap diminta mengumandangkan azan," kata Murad Aidit.

Dari delapan anak Abdullah, Achmad adalah yang paling mudah bergaul. Rupa-rupa geng remaja di Belitung ia dekati. Setidaknya, ada empat geng di sana: geng kampung, anak benteng, geng Tionghoa, dan geng Sekak.

Geng kampung adalah kumpulan anak pribumi. Achmad dan adik-adiknya masuk kelompok ini. Anak polisi yang datang dari Jawa masuk kelompok anak benteng atau kerap juga disebut anak tangsi--menyebut asrama tempat tinggal polisi.

Kelompok ketiga adalah geng Tionghoa. Orang tua mereka berdagang di pasar dan pelabuhan Belitung. Karena tinggal di pasar, geng itu punya nama lain yakni geng pasar. Kawasan ini cuma 500 meter dari rumah Aidit. Achmad kerap nongkrong bersama anak-anak geng pasar ini. Saat ini kawasan pecinan itu masih berdiri tegak bahkan berbiak. Sejumlah toko dan papan jalan ditulis dengan aksara Cina. Kelompok anak muda yang terakhir adalah geng Sekak. Mereka datang dari keluarga yang kerap berpindah tempat tinggal, semacam kaum gypsy di Eropa.

Antar geng kerap terjadi baku pukul. Situasi yang serba keras itu membuat Aidit membesarkan otot. Dia rajin berlatih tinju dan olahraga angkat besi. Mungkin karena sering angkat besi, tubuh Aidit lebih gempal daripada adik-adiknya.

Aidit menjadi pelindung saudara-saudaranya dari perseruan antar geng. Tapi dia tidak main hajar. Suatu hari Murad baku pukul dengan seorang anak geng tangsi. Si bungsu ini mengadu ke kakak sulungnya itu.

Diam-diam Aidit melacak lawan sang adik. Pulang ke rumah Aidit bilang kepada Murad, "Kau lawan saja sendiri." Dari pelacakan itu, rupanya Aidit tahu bahwa musuh itu masih sebanding dengan adiknya. Aidit rupanya cuma membantu kalau lawannya lebih besar.

Walau pertikaian cukup sengit, Achmad mudah bergaul dengan pelbagai geng. Dia, misalnya, kerap pulang malam karena menonton wayang bersama anak-anak benteng di tangsi. Dia juga kerap nongkrong di pasar bersama anak-anak Tionghoa. Kedekatan dengan geng ini lantaran mereka satu sekolah di HIS.

Aidit juga rajin menelusuri sungai bersama anak-anak Sekak. Mereka kerap berlomba berenang di sungai dekat Gunung Tajam, sekitar 20 kilometer dari Belitung. Suatu hari perlombaan dimulai dengan salto dari sebuah batu besar. Anak-anak gunung melakukannya dengan sempurna. Tapi Achmad menang, "Karena dia bisa melakukan kontra-salto," kata Murad.

Aidit juga kerap melindungi adik-adiknya dari sikap keras sang ayah. Suatu petang Basri pernah bertindak ceroboh. Dia melepas 15 ekor itik dari kandang milik keluarga itu. Abdullah yang mendengar kisruh ini murka besar. Melihat adiknya dalam bahaya, Achmad mengaku dialah penyebab kaburnya itik-itik itu. Tak rela Basri dimarahi, Achmad sejak petang hingga magrib ke sana-kemari mencari kawanan unggas itu.

Pergaulan Achmad memang lebih laju daripada remaja seusianya. Selain gemar berkumpul dengan pelbagai kelompok remaja itu, dia juga bergaul dengan buruh di Gemeenschapelijke Mijnbouw Billiton.

Letak perusahaan itu sekitar dua kilometer dari rumah Aidit. Boleh jadi semangat anti-Belanda dan perjuangan anti kelas di kemudian hari bermula dari tambang itu. Saban hari Aidit melihat buruh berlumur lumpur, bermandi keringat, dan hidup susah. Sedangkan meneer Belanda dan tuan-tuan dari Inggris hura-hura.

Perusahaan ini menyediakan societet, gedung khusus tempat petinggi perusahaan dan none-none Belanda menonton film terbaru sembari menenggak minuman keras. Buruh tambang itu cuma bisa menelan ludah dan sesekali mengintip bioskop.

Tertarik mendalami hidup para buruh, Achmad mendekati mereka. Tapi tak mudah karena para buruh cenderung tertutup. Sampai suatu hari Achmad melihat seorang buruh sedang menanam pisang di pekarangan rumah. Achmad menawarkan bantuan. Tertegun sebentar, si buruh itu mengangguk. Aidit lalu mencangkul.

Sejak saat itu Aidit bersahabat dengan buruh itu. Kian hari hubungan mereka kian dekat. Kadang mereka ngobrol sembari menyeruput kopi dan mengudap singkong rebus. Dari ngobrol-ngobrol santai itulah Aidit kemudian tahu kesulitan para buruh, juga soal pesta-pora petinggi tambang.

Pergaulan dengan kaum buruh itu, menurut Murad, yang menentukan jalan pikiran dan sikap politik Achmad setelah di Jakarta. Hingga akhir ia memimpin partai komunis dan tenggelam dalam peristiwa yang dikenal dengan Gerakan 30 September.●



Rumah Tua Mantri Idit

Tempo, 1-7 Oktober 2007


RUMAH panggung itu tua dan setia. Di sana-sini, kayunya lapuk dan berjamur. Sebagian atap berbahan sirap telah koyak dan diganti seng. Hanya kerangka utama yang menggunakan kayu ulin yang masih kukuh. Selebihnya ringkih dimakan zaman. Itulah rumah Abdullah Aidit, ayah Dipa Nusantara Aidit--Ketua Umum Partai Komunis Indonesia.

Dibangun pada 1921 oleh Haji Ismail, kakek D.N. Aidit dari garis bapak, rumah itu terletak di Jalan Dahlan 12 (dulu Jalan Belantu 3) Dusun Air Berutak, Desa Pangkalalang, Belitung Barat.

Seperti rumah-rumah lain di Belitung, rumah ini punya dua bangunan utama: rumah depan dan rumah belakang. Kini yang tersisa hanya rumah belakang berukuran 8 x 7 meter. Bagian depan dibongkar tak lama setelah Abdullah Aidit meninggal pada 23 November 1965.

Di sana sekarang tinggal Gakdung, 48 tahun, seorang buruh lepas Pelabuhan Tanjung Pandan asal Bugis. Gakdung tinggal seorang diri. "Semula dia sewa. Tapi, karena hidupnya pun susah, biarlah ia cuma-cuma menempatinya," kata Murad Aidit, adik D.N. Aidit.

Ditempati oleh nelayan miskin, rumah itu lusuh tak terawat. Yang tersisa hanya sebuah bilik, ruang tamu, dan dapur. Di dinding kayu menuju dapur terdapat kalender Partai Bulan Bintang bergambar Yusril Ihza Mahendra, bekas ketua umum partai itu.

Rumah Abdullah sempat menjadi asrama pelajar asal Kelapa Kampit, Belitung Timur, sebuah kawasan sekitar 54 kilometer dari Tanjung Pandan. Sekretaris Pemerintah Kabupaten Bangka Barat, Abdul Hadi Adjin, pernah tinggal di sana.

Antara rumah dan Jalan Dahlan yang memanjang di depannya, terdapat kebun dengan beberapa pokok pohon pisang dan pohon jengkol. Sebagian kebun ini adalah bekas rumah depan. Sebagian lagi yang lebih dekat jalan adalah bekas halaman yang kini dipakai untuk lapangan badminton. Di sanalah dulu Achmad Aidit--nama kecil Dipa Nusantara--berlatih tinju, angkat besi, dan senam. Hingga D.N. Aidit hijrah ke Jakarta, halaman rumah ini masih menjadi lapangan olahraga pemuda kampung Pangkalalang.

Sekitar 20 meter dari rumah tua itu terdapat rumah tua lainnya yang lebih terawat dan kukuh. Inilah rumah peninggalan Siti Azahra, istri Abdurrachman, qari di kampung itu. Kepada Abdurrachmanlah dulu Achmad belajar mengaji Quran. Kini rumah ini dimiliki Efendi, kerabat Siti Azahra.

Anak-anak Abdullah Aidit juga belajar mengaji kepada Liman, saudara sepupu Azahra. Rumah Liman tak jauh dari kediaman Siti. Di rumah Liman, Achmad bersama teman seumurannya juga berlatih kesenian hadrah.

Seratus meter dari rumah Abdullah dulu berdiri surau panggung. Di sinilah Achmad kecil kerap didapuk mendendangkan azan saat magrib dan isya. Sekarang surau itu sudah rata tanah dan digantikan Kantor Bank Pembangunan Daerah Sumatera Selatan Cabang Belitung.

Rosihan, 54 tahun, cucu Siti Azahra, mengungkapkan bahwa sebagian orang yang lahir sebelum tahun 1970 mengenal rumah ini milik Mantri Aidit. Ini sebutan untuk Abdullah yang pernah menjadi pegawai Boswezen, dinas kehutanan zaman Belanda. Abdullah meninggal pada 1968 dalam keadaan yang mengenaskan. Jasadnya baru ditemukan Marisah, istri kedua Abdullah, tiga hari setelah ia wafat. Pada hari kematian itu, Marisah tengah pergi ke rumah kerabatnya dan baru pulang tiga hari kemudian. Sepeninggal Abdullah, Marisah menempati rumah itu hingga akhirnya Sang Khalik memanggilnya pada 1974.

Adakah orang-orang di kampung Air Berutak menghubungkan rumah tua itu dengan Aidit, tokoh penting Partai Komunis Indonesia? Tidak. "Buat kami, semua biasa-biasa saja," kata Taufan, 52 tahun, cucu Siti Azahra. Semua memang sudah lewat. Yang tersisa hanya gubuk ringkih beratap sirap--rumah panggung yang tua dan setia.●


Merantau Ke Jakarta
Sejak Awal Membaca Risiko

Tempo, 1-7 Oktober 2007


Aidit muda tertarik pada politik setibanya di Jakarta. Mendirikan Antara dan berganti nama.


"AKU mau ke Batavia," kata Achmad Aidit kepada ayahnya, Abdullah. Waktu itu awal 1936. Achmad berusia 13 tahun, baru lulus Hollandsch Inlandsche School, setingkat sekolah dasar masa itu. Di Belitung, tempat tinggal keluarga Aidit, sekolah "paling tinggi" memang hanya itu. Untuk masuk sekolah menengah--dikenal dengan nama Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)--pemuda-pemuda pulau itu harus merantau ke Medan atau Jakarta.

Meninggalkan Belitung bukan pilihan yang lazim pada masa itu. Pemuda yang merantau sampai tanah Jawa bisa dihitung dengan jari. Tapi Aidit bisa meyakinkan ayahnya. "Abang saya paling jarang meminta sesuatu kepada Bapak," kata Murad Aidit, adik kandung Achmad, kepada Tempo, dua pekan lalu. Kalau sudah sampai meminta sesuatu, kata Murad, itu artinya tekad Aidit sudah benar-benar bulat.

Adik Aidit yang lain, Sobron, dalam bukunya Aidit: Abang, Sahabat, dan Guru di Masa Pergolakan, menjelaskan bahwa untuk diizinkan merantau, seorang remaja harus memenuhi empat syarat: bisa memasak sendiri, bisa mencuci pakaian sendiri, sudah disunat, dan sudah khatam mengaji. Keempat syarat itu sudah dipenuhi Aidit.

Setibanya di Batavia, Achmad Aidit ditampung di rumah kawan ayahnya, Marto, seorang mantri polisi, di kawasan Cempaka Putih. Sayangnya, pendaftaran MULO sudah ditutup ketika Aidit tiba di Jakarta. Dia harus puas bersekolah di Middestand Handel School (MHS), sebuah sekolah dagang di Jalan Sabang, Jakarta Pusat.

Bakat kepemimpinan Aidit dan idealismenya yang berkobar-kobar langsung menonjol di antara kawan sebayanya. Di sekolahnya yang baru, Aidit mengorganisasi kawannya melakukan bolos massal untuk mengantar jenazah pejuang kemerdekaan Muhammad Husni Thamrin, yang ketika itu akan dimakamkan. Karena terlalu aktif di luar sekolah, Aidit tidak pernah menyelesaikan pendidikan formalnya di MHS.

Tiga tahun di Cempaka Putih, Aidit pindah ke sebuah rumah di Tanah Tinggi 48, kawasan Senen, Jakarta Pusat. Ketika indekos di sini, Murad datang menyusul dari Belitung, juga untuk bersekolah di Jakarta.

Menyekolahkan dua anak jauh dari rumah tentu tak mudah untuk keuangan Abdullah Aidit. Gajinya sebagai mantri kehutanan hanya sekitar 60 gulden sebulan. Dari jumlah itu, 15-25 gulden dikirimnya ke Batavia. Tentu saja jumlah itu juga pas-pasan untuk dua bersaudara Aidit.

Apalagi ketika masa pendudukan Jepang tiba, pada 1942. Hubungan komunikasi antara Jakarta dan kota sekitarnya terputus total. Saat itu, dari rumah tumpangannya di Tanah tinggi, Aidit menyaksikan ribuan orang berduyun-duyun menjarah gudang-gudang perkapalan di Pelabuhan Tanjung Priok. Dari pagi sampai sore, aneka jenis barang diangkut massa ke Pasar Senen, mulai dari ban mobil, mesin ketik, sampai gulungan kain bahan baju.

Kiriman uang dari Belitung macet. Untuk bertahan hidup, Achmad dan Murad mau tak mau harus mulai bekerja. Aidit lalu membuat biro pemasaran iklan dan langganan surat kabar bernama Antara. Lama-kelamaan, selain biro iklan, Antara juga berjualan buku dan majalah. Tatkala abangnya sibuk melayani pelanggan, Murad biasanya berjualan pin dan lencana bergambar wajah pahlawan seperti Kartini, Dr. Soetomo, dan Diponegoro, di dekatnya.

Berdagang memang bukan pekerjaan baru untuk Aidit. Ketika masih tinggal di Belitung, setiap kali ada pertandingan sepak bola di Kampung Parit, Aidit selalu berjualan kerupuk dan nanas. "Untuk ditabung," Sobron berkisah dalam bukunya.

Tak puas dengan perkembangan usahanya, Aidit kemudian mengajak seorang kawan yang tinggal satu indekos dengannya, Mochtar, untuk berkongsi. Mochtar ini seorang penjahit yang punya toko lumayan besar di Pasar Baru. Karena lokasi usahanya strategis, toko Mochtar segera menjadi tempat mangkal para aktivis masa itu, seperti Adam Malik dan Chaerul Saleh. Otomatis, jaringan relasi Aidit meluas.

Ketika Mochtar menikah dan menyewa rumah sendiri di kawasan Kramat Pulo, Aidit dan Murad ikut pindah ke sana. Kondisi ini menguntungkan Aidit, karena Mochtar sering membiarkan kakak-beradik itu tidak membayar sewa. "Pakai saja untuk keperluan lain," katanya seperti ditirukan Murad. Tapi, kalau Mochtar sedang butuh duit, setoran uang sewa Murad akan dimasukkan ke kantong. Biasanya, kalau begitu, Aidit akan menggerutu. "Kamu sih, terlalu menyodorkan uangnya, makanya dia terima," katanya memarahi Murad.

Namun situasi ekonomi yang terus memburuk membuat Aidit akhirnya angkat tangan. Murad diminta tinggal di sebuah asrama korban perang, sebelum dikirim pulang ke Belitung.

●●●

SITUASI politik Ibu Kota yang gegap-gempita sudah menarik minat Aidit sejak awal. Dia pertama-tama bergabung dengan Persatuan Timur Muda atau Pertimu. Perkumpulan ini dimotori Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), di bawah pimpinan Amir Syariffudin dan Dr. Ahmad Kapau Gani. Dalam organisasi inilah persinggungan Aidit dengan politik makin menjadi-jadi. Hanya dalam waktu singkat, Aidit diangkat menjadi Ketua Umum Pertimu.

Di balik karier politiknya yang mulai menjulang, Aidit seperti mencoba mengibaskan bayang-bayang keluarga dan masa lalunya di Belitung. Ketika Murad berkali-kali meminta bantuan finansial, misalnya, Aidit selalu menolak. Suatu kali Aidit bahkan berujar bahwa persamaan di antara mereka hanyalah faktor kebetulan, karena dilahirkan dari ibu dan bapak yang sama. "Selebihnya, tak ada hubungan apa pun di antara kita," katanya.

Sekitar masa-masa itulah Achmad Aidit memutuskan berganti nama. Dia memilih nama Dipa Nusantara--biasa disingkat D.N. Menurut adik-adiknya, pergantian nama itu lebih dipicu perhitungan politik Aidit. "Dia mulai membaca risiko," kata Murad. Sejak namanya berubah itu memang tak banyak orang yang tahu asal-usul Aidit. Dia sering disebut-sebut berdarah Minangkabau, dan D.N. di depan namanya adalah singkatan "Djafar Nawawi."

Proses perubahan nama itu juga tak mudah. Abdullah, ayah Aidit, tak bisa dengan segera menerima gagasan anaknya. Di depan anak-anaknya, Abdullah mengaku tidak bisa menerima rencana pergantian nama itu karena nama Achmad Aidit sudah kadung tercetak di slip gajinya sebagai putra sulung keluarga itu. Akan muncul banyak persoalan jika nama itu mendadak lenyap dari daftar keluarga.

Abdullah dan Aidit bersurat-suratan beberapa kali, sebelum akhirnya Abdullah menyerah. Ayah dan anak itu sepakat, nama D.N. Aidit baru akan dipakai jika sudah ada pengesahan dari notaris dan kantor Burgelijske Stand--atau catatan sipil.●



Kisah Cinta
Meminang Lewat Sepucuk Surat

Tempo, 1-7 Oktober 2007


Gaya orasi dan wawasan Aidit memikat hati seorang calon dokter. Sangat antipoligami.

SUATU siang di awal 1946. Kantor majalah dua bulanan Bintang Merah di Jalan Purnosari, Solo, yang biasanya lengang lengau, kedatangan tamu tak diundang. Dua gadis berdiri di depan pintu. Mereka kemudian dijamu dua redaktur, Hasan Raid dan Dipa Nusantara Aidit.

Dua gadis itu mengaku mahasiswi tingkat tiga Perguruan Tinggi Kedokteran di Klaten, Yogyakarta. Yang agak gemuk dan berpipi bulat memperkenalkan diri sebagai Soetanti. "Seingat saya, mereka datang untuk silaturahmi saja," kata Hasan, kini 85 tahun, kepada Tempo dua pekan lalu.

Soetanti--yang disapa "Bolletje" (sebuah kata Belanda yang berarti bundar) oleh teman-temannya--datang lagi beberapa hari kemudian, dengan kawan lain yang lebih banyak. Kali ini atas nama Sarekat Mahasiswa Indonesia. Mereka mengundang Aidit sebagai Ketua Departemen Agitasi dan Propaganda Partai Komunis Indonesia Solo untuk memberikan "kuliah" soal politik dan keorganisasian.

Karena urusan organisasi itulah Soetanti kerap bolak-balik Klaten-Solo. Kunjungan berikutnya tak lagi ke kantor Bintang Merah, tapi ke kantor PKI di Jalan Boemi 29. Dari pertemuan-pertemuan itulah, kata Hasan, hubungan Aidit-Soetanti kian akrab. Padahal keduanya punya watak bertolak belakang.

Sebagai seorang ningrat Mangkunegaran (kakeknya seorang Bupati Tuban), Tanti punya banyak teman dari pelbagai golongan. Predikat mahasiswi kedokteran membuatnya kian dihormati dalam organisasi dan dalam kehidupan sehari-hari. Itu disokong sifat dasarnya yang periang, gampang akrab, dan suka bicara ceplas-ceplos.

Beda dengan Aidit. Anak seorang mantri kehutanan dari Belitung itu seproang pemuda serius, tak pandai berkelakar, dan suka musik klasik. Yang dipikirkannya hanyalah bagaimana memajukan partai. Mengobrol dengannya, seperti dikenang Hasan, tak akan lepas dari soal-soal politik, revolusi, dan patriotisme.

Tapi justru inilah yang membuat Soetanti kesengsem. Dalam ceramahnya, Aidit fasih mengutip filsafat Marxisme, mengurai revolusi Prancis dan Rusia, juga soal-soal politik mutakhir. Setiap kali Aidit berpidato, so bolle senantiasa menyimak di bangku paling depan.

Meski akrab, Aidit-Tanti tak pernah terlihat berduaan. Hasan Raid, yang kemudian diangkat anak oleh Siti Aminah--ibu Tanti--karena sama-sama dari Minang, tak pernah melihat Aidit ngapel ke asrama atau ke rumah Tanti laiknya orang pacaran. Pertemuan keduanya pun selalu dalam acara organisasi. "Kalau menginap di kantor PKI, Tanti datang beramai-ramai," katanya.


Suatu ketika, seusai pidato, Aidit menghampiri Tanti, lalu menyerahkan sepucuk surat yang ditujukan kepada Bapak Moedigdo, ayah Tanti, seorang kepala polisi Semarang yang aktif di Partai Sosialis Indonesia. Surat itu ternyata surat lamaran. Aidit menyampaikan niat meminang Soetanti. Moedigdo langsung setuju.

Maka, awal 1948, Aidit, 25 tahun, dan Soetanti, 24 tahun, menikah secara Islam tanpa pesta, di rumah KH Raden Dasuki, sesepuh PKI Solo, yang bertindak sebagai penghulu. Moedigdo, Aminah, dan empat adik Soetanti datang. Hanya Murad dan Sobron--dua adik Aidit--yang mewakili keluarga Belitung.

Setelah menikah, aktivitas Aidit di partai dan pergerakan tak surut. Ia bahkan sering meninggalkan Soetanti, yang buka praktek dokter, untuk turne ke kampung-kampung memperkenalkan dan menggalakkan program-program PKI. Ketika pada September 1948 "Peristiwa Madiun" meletus, Aidit ditangkap, lalu "buron" ke Jakarta. Tanti kian sedih karena ayahnya, yang mendukung Amir Syarifuddin, tewas ditembak.

Di Kajarta pun, Aidit jarang ada di rumah. Soetanti hanya ditemani adik-adik Aidit ketika melahirkan Ibarruri Putri Alam, putri sulung mereka, pada 23 November 1949. Suami-istri ini jarang terlihat jalan bareng, kecuali dalam acara-acara resmi partai atau kenegaraan.

Aidit lalu menjadi Ketua Politbiro--eksekutif dalam partai--PKI pada 1951. Ia kian sibuk dengan bepergian ke luar negeri, mengunjungi dan menghadiri rapat-rapat internasional komunis di Vietnam, Tiongkok, dan Rusia. "Tak ada mesra-mesraan seperti pasangan muda lain." Itu kesaksian Fransisca Fanggidaej, wartawan Harian Rakjat dan Radio Gelora Pemuda Indonesia yang kemudian menjadi anggota parlemen PKI pada 1957-1959.

Fransisca, kini 82 tahun dan tinggal di Utrecht, Belanda, adalah satu-satunya perempuan yang akrab dengan Aidit. Selain di kantor partai, keduanya sering bertemu di parlemen.

Ciri paling menonjol dari keluarga Aidit, kata Fransisca, selain sederhana, juga egaliter. Sementara anak-anak memanggil dengan sebutan borjuis "Papa," Tanti memanggil suaminya cukup dengan "Dit." "Padahal semua orang menyapa Aidit dengan panggilan hormat 'Bung'," katanya. Ketika Fransisca menanyakan ihwal panggilan itu, Tanti menjawab, "Suka-suka saya, dong. Wong dia suami saya. Kalau tidak mau, dia pasti menyampaikan keberatan."



Selama perkawanan itu, tak sekali pun Aidit curhat soal pribadi kepadanya. Apalagi tentang hasrat kepada perempuan lain. Padahal Aidit dikagumi banyak perempuan di partai dan di gedung DPR. "Selain ganteng, berwawasan luas, ia pandai menyenangkan dan menghargai orang," kata Fransisca.

Hanya sekali, pada 1950-an, Aidit dengan guyon menyatakan kagum pada kecantikan seorang perempuan anggota konstituante, Ismiyati, gadis itu, kata Fransisca, menjadi kembang parlemen dan disukai banyak laki-laki. Mendengar guyonan Aidit itu, Utuy Tatang Sontani--sastrawan kiri kondang di zaman itu--menyatakan kekaguman yang sama. Bisik-bisik, keduanya bersaing menggapai hati Ismiyati.

Tapi agaknya "persaingan" itu tak serius. Ketika Ismiyati menikah dengan pemuda lain, Utuy dan Aidit cuma ketawa-ketawa. "Keduanya sebatas mengagumi kecantikan. Tapi tidak tahu kalau Utuy, karena dia suka mengejar perempuan," kata Fransisca, tergelak.

Selain cerita ini, tak pernah terdengar Aidit berhubungan dengan perempuan lain, baik sebelum maupun setelah bertemu dengan Soetanti. Apalagi Aidit orang yang sangat antipoligami. Ia pernah memarahi Njoto, Wakil Ketua II Comite Central PKI, yang akan menikah lagi dengan seorang penerjemah asal Rusia.

Semasa kepemimpinan Aidit, sikap antipoligami dan antiperselingkuhan ini hampir menjadi "garis partai." Oey Hay Djoen, bekas anggota parlemen dan Dewan Pakar Ekonomi PKI, bercerita, pada masa jayanya banyak anggota PKI yang diskors karena ketahuan memacari istri orang.●


Karir Di PKI
Berakhir Seperti Muso

Tempo, 1-7 Oktober 2007


Muso mengubah paham revolusioner Dipa Nusantara Aidit menjadi aksi. Keduanya telah mencoba, keduanya gagal.

KEDATANGAN Muso dari Rusia membangkitkan gairah revolusi Dipa Nusantara Aidit. Ia begitu terkesan pada gagasan Muso, "Jalan Baru bagi Republik." Menurut arsitek pemberontakan PKI di Jawa dan Sumatera pada 1926 itu, yang kemudian dilibat Belanda, seluruh kekuatan sosialis komunis harus disatukan. Untuk merebut kekuasaan, PKI tak boleh bergerak sendiri.

Pada pertengahan 1948 itu, Aidit muda ditugasi mengkoordinasi seksi perburuhan partai. Padahal umurnya baru 25 tahun, banyak yang lebih senior dan berpengalaman. Posisi strategis ini merupakan kepercayaan besar bagi lelaki tamatan sekolah dasar itu.

Muso mencela Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus. Menurut dia, revolusi itu justru merupakan kegagalan besar kaum revolusioner. Kepemimpinan nasional jatuh ke tangan individu yang ditudingnya borjuis: Soekarno-Hatta. Bukan ke genggaman kaum proletar, buruh dan tani. Sikap ini diyakini Aidit. Baginya, kehadiran Muso menjanjikan aksi, bukan sekedar angan revolusi.

Hanya sebulan setelah Aidit menerima jabatan koordinator seksi perburuhan partai, tepatnya pada dini hari 18 September 1948, tiga letusan pistol menyalak di kesunyian Kota Madiun, Jawa Timur. Massa yang menyebut dirinya kaum revolusioner bergerak. Puluhan ribu buruh dan tani merangsek mengambil alih kekuasaan pemerintah di daerah-daerah.

Muso mencoba mendirikan apa yang disebut "Soviet Republik Indonesia." Madiun, Magelang, Cepu, Blora, dan sejumlah kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur dikuasai PKI. Bendera merah bergambar palu arit ditancapkan di banyak tempat. Soekarno meminta rakyat memilih: dirinya atau Muso, yang dicapnya sebagai pengkhianat Republik. Muso balik menuduh Soekarno-Hatta sebagai kolabolator imperialis.

Ini fase penting sekaligus genting bagi karier politik Aidit. Aksi massa revolusioner di lapangan berujung getir. Mayoritas pimpinan partai tertangkap, lalu dihukum tembak. Menurut Suripno, seorang pentolan partai yang berakhir di ujung bedil, gerakan gagal karena sepi dukungan rakyat. Layu dalam dua pekan.

Pengalaman itu terasa semakin pahit bagi Aidit. Mentor yang digugu, Muso, tewas ditembak tentara. Sempat tertangkap di Yogyakarta, Aidit cukup beruntung lepas karena tak dikenali. Belakangan, setelah jadi Ketua Comite Central PKI, Aidit menyebut peristiwa itu sekedar "permainan anak-anak" (kinderspel). Ia menuduh Mohammad Hatta, perdana menteri saat itu, sebagai pihak yang memprovokasi. Amerika Serikat dicurigai di belakang pemerintah untuk melawan "bahaya merah."


Dari Yogyakarta, Aidit "hijrah" ke Jakarta, dan dikabarkan kabur ke Beijing, Cina. Namun, menurut buku karangan Murad Aidit, sang abang bersembunyi di daerah pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Ia memakai nama samaran Ganda.

Bergerak dalam senyap, bersama beberapa yang tersisa, Aidit mencoba membangun kembali partai yang terserak. Aidit masih setia pada ide Muso. Lewat penerbitan Bintang Merah, ia menyebarkan lagi paham revolusioner dan anti-imperialis. Ia kerap mencantumkan nama "Alamputra" di bawah tulisannya.

Tiga tahun berlalu, karier politik Aidit makin moncer. Ia "mengkudeta" kelompok PKI tua, Alimin dkk, yang dinilai melakukan banyak kesalahan. Tan Ling Djie, anggota senior politbiro, didepak karena perbedaan pandangan politik. Didukung sejumlah aktivis muda dalam Kongres V PKI, 1951, ia berhasil mencapai posisi Ketua Comite Central PKI.

Aidit terus di puncak kekuasaan itu hingga tak lama setelah Gerakan 30 September 1965. Seperti Muso, Aidit berakhir diterjang peluru.●



Tiga Sekawan
The Three Musketeers

Tempo, 1-7 Oktober 2007

Aidit, Lukman, dan Njoto bahu-membahu membesarkan partai. Karena perempuan, Njoto tersisih.


REVOLUSI memakan anak sendiri. Sebelas pemimpin teras PKI tewas. Muso, Amir Sjarifuddin, dan Maruto Darusman ditembak mati di Desa Ngalihan, Solo.

Partai limbung, tercerai-berai. Tiba-tiba muncul tiga anak muda, Aidit, Njoto, dan Lukman, bagaikan The Three Musketeers. Mereka muncul menjadi tulang punggung partai. Ketiganya menghidupkan partai--dan bisa membuat lebih besar. Mereka kemudian dikenal sebagai trisula PKI: Sekretaris Jenderal, Wakil Sekjen I, dan Wakil Sekjen II.

Kisah persahabatan--dan konflik--tiga sahabat itu menarik dikenang.

Dipa Nusantara Aidit pertama kali bertemu dengan Mohamad Hakim Lukman pada 1943 di Menteng 31, Jakarta. Bekas Hotel Schomper itu terkenal sebagai sarang para pemuda aktivis kemerdekaan. Mereka bergabung dengan Gerakan Indonesia Merdeka. Aidit tiga tahun lebih muda daripada Lukman, yang ketika itu baru 23 tahun. Aidit kemudian menjadi Ketua Dewan Politik Gerakan Indonesia Merdeka, dan Lukman anggota.

Sejak itu, Aidit dan Lukman menjadi akrab dan seolah ditakdirkan melakoni sejarah hidup yang sama. Keduanya pada 1944 terpilih masuk Barisan Pelopor Indonesia--kumpulan 100 pejuang paling setia kepada Bung Karno. Keduanya pernah dijebloskan ke penjara Jastinegara oleh Polisi Militer Jepang karena ikut menggerakkan demonstrasi di Lapangan Ikada pada 19 September 1945. Keduanya juga pernah ditangkap dan ditawan di Pulau Onrust, Jakarta Utara, selama tujuh bulan.

Keduanya bersama memilih jalan komunis dan berguru ke tokoh-tokoh komunis senior. Saat menjadi penghuni Menteng, mereka misalnya menjalin kontak dengan Widarta, penanggung jawab organisasi bawah tanah PKI Jakarta. Widarta adalah kawan akrab Wikana, pemimpin PKI Jawa Barat yang terkenal cerdas. Aidit dan Lukman terkesan pada Wikana.

Sampai-sampai, setelah bebas dari Onrust, mereka mencari Wikana di Yogyakarta. Di Yogya saat itu, pemimpin PKI Sardjono, eks Digulis, baru saja memindahkan kantor pusat PKI di Jalan Boemi 29, Solo, ke Jalan Bintaran, Yogyakarta. Aidit dan Lukman kemudian tinggal di Yogya. Mereka menghidupkan majalah dwibulanan Bintang Merah. Di sinilah keduanya lalu bertemu Njoto. Njoto saat itu 19 tahun. Pemuda berkacamata tebal itu adalah wakil PKI Banyuwangi dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Sejak itulah terjalin persahabatan antara Aidit, Njoto, dan Lukman. Saat KNIP bersidang di Malang pada Maret 1947, Aidit terpilih menjadi Ketua Fraksi PKI, Njoto memimpin Badan Pekerja KNIP. Aidit, Njoto, dan Lukman kemudian masuk Komisi Penterjemah PKI di awal 1948, yang tugasnya menerjemahkan Manifes Partai Komunis karya Karl Marx dan Friedrich Engels.

Pada Agustus 1948, tiga serangkai ini sama-sama menjadi anggota Comite Central PKI. Aidit mengurus agraria, Lukman di sekretariat agitasi dan propaganda, sedangkan Njoto menjalin relasi dengan badan-badan perwakilan.

Hingga pecahlah geger Madiun ....

Aidit sempat tertangkap, tapi dibebaskan karena tak ada yang mengenalnya. Ibarruri Putri Alam, putri sulung Aidit, melukiskan, ayahnya bisa lolos ke Jakarta dengan menyamar menjadi pedagang Cina. "Rambutnya digundul habis, Papa ikut iring-iringan konvoi barang." Njoto dan Lukman, kemudian menyusul Aidit ke Jakarta.

Di Jakarta, trio Aidit-Lukman-Njoto ditempa. "Mereka menggodok orientasi partai," kata Sumaun Utomo, kini 85 tahun, bekas Ketua Lembaga Sejarah CC PKI, mengenang. Terbunuhnya banyak kader dalam Peristiwa Madiun membuat mereka harus mandiri. "Mereka jadi independen karena tak punya lagi tempat bertanya," kata Murad Aidit dalam bukunya, Aidit Sang Legenda.


Mereka diam-diam memperluas jaringan PKI di Jakarta dengan membentuk Onder Seksi Comite di tingkat kecamatan. Adapun organisasi dijalankan lewat sistem komisariat di Comite Central. Situasinya sulit karena setiap kabinet alergi komunisme.

Sampai-sampai itu membuat trio Aidit-Lukman-Njoto harus bersembunyi dengan menyamar. Aidit dan Lukman bahkan pernah disiarkan pergi ke Cina pada 1949. Padahal itu hanya bualan belaka untuk mengecoh pengejaran. Ada yang bilang sesungguhnya mereka ke Medan. Ada yang bilang ke Jakarta. "Mereka sering menginap di rumah seorang kawan di Kemayoran," tulis sejarawan Prancis, Jacques Leclerc, dalam Aidit dan Partai Pada Tahun 1950.

Dalam situasi serba repot itu, Aidit dan Lukman justru nekat menerbitkan kembali Bintang Merah pada 15 Agustus 1950. Dua pekan sekali mereka meluncurkan stensilan Suara Rakjat, embrio Harian Rakjat yang menjadi koran terbesar dengan oplah 55 ribu per hari. Njoto bergabung di redaksi pada Januari 1951.

Dua tahun kemudian, tiga sahabat kelompok Bintang Merah ini memimpin partai. Aidit menjadi sekretaris jenderal, Lukman wakil sekjen I, dan Njoto wakil sekjen II (jabatan ini diganti menjadi ketua dan wakil ketua pada 1959).

Sebagai ketua, Aidit memelototi politik secara umum. Lukman, yang jago main sepak bola, memimpin Front Persatuan. Urusan agitasi dan propaganda kini diemban Njoto. Tak cuma berorganisasi, untuk meluaskan jaringan, mereka mendirikan sekolah, dari tingkat dasar sampai universitas.

Usaha itu berbuah. Pada Pemilihan Umum 1955, PKI menclok di urutan keempat. Hasil itu membuat Aidit optimis partainya bisa meraih posisi nomor satu sebelum 1975. "Asalkan keadaan berjalan normal," kata Murad mengutip ucapan kakaknya.

Kenyataannya, cita-cita itu terempas. Tragedi 1965 menguak cerita bahwa tiga sekawan itu, meski di luar tampak guyub, ternyata tidak melulu solid.

Aidit dan Njoto, misalnya, amat berbeda pendapat soal teori revolusi. Aidit percaya kup yang didukung sedikitnya 30 persen tentara bisa bermutasi menjadi revolusi. Aidit saat itu, menurut Manai Sophian (almarhum)--dalam sebuah tulisannya--terinspirasi oleh kudeta di Aljazair pada Juni 1965. Saat itu Kolonel Houri Boumedienne mengambil alih kekuasaan dari tangan Presiden Ben Bella.

Sebaliknya, Njoto justru mempertanyakan kesahihan teori itu. Bahkan, dalam wawancaranya dengan koresponden Asahi Shimbun di Jakarta pada 2 Desember 1965--dua pekan sebelum ia dinyatakan "hilang"--ia tak yakin Gerakan 30 September dapat dikategorikan sebagai kudeta yang bisa menjadi revolusi. "Revolusi siapa melawan siapa?" kata Njoto. Ia bahkan menyangsikan premis Letnan Kolonel Untung soal Dewan Jenderal bisa membenarkan kup.

Soetarni, bekas istri Njoto--kini 79 tahun--ingat, sesungguhnya menjelang petaka 1965 suaminya yang pandai main musik dan dandy sudah disingkirkan Aidit. Masalahnya adalah kedekatan Njoto dengan Soekarno. Njoto kerap menulis naskah pidato si Bung. Soekarno pernah menyebut Njoto sebagai Marhaen sejati. Aidit malah melihat Njoto "dipakai" Soekarno. "Di mata Soekarno, Njoto pertama-tama adalah nasionalis, itu baru komunis," kata Aidit saat itu.

Tapi, menurut Sumaun, Njoto tersingkir karena punya pacar orang Rusia. Namanya Rita. Gara-gara itulah seluruh posisi dipreteli oleh Aidit. Tidak etis, menurut Aidit, seorang pentolan partai yang sudah berkeluarga memiliki pacar.

Saat ditanya Tempo bagaimanakah sesungguhnya hubungan Njoto dan Rita, Soetarni tak menyembunyikan hal itu. Ia mengaku semula tidak menaruh curiga pada Rita. Mereka bahkan kerap bertukar suvenir. Rita mengiriminya kosmetik, Soetarni membalasnya dengan batik. Hingga datanglah sepucuk surat dari Rusia. Isinya: perempuan 20-an tahun itu jatuh cinta dan ingin menikahi suaminya.

Soetarni jelas marah. Tapi anak ningrat Solo itu cuma bisa menumpahkannya kepada salah satu pamannya. "Njoto tahu kalau saya marah. Ia kemudian minta maaf," kata Soetarni.

Njoto akhirnya disidang CC. Ia dipecat dari Biro Agitasi dan dari kursi Pimpinan Redaksi Harian Rakjat. "Hal itu dilakukan karena bila dibiarkan akan merusak partai di mata orang lain," kata Sumaun.

"Three Musketeers" retak. Lalu terjadilah tragedi 1964 ....●



Gerakan 30 September
Dari Menteng ke Pusaran Kekuasaan

Tempo, 1-7 Oktober 2007


Sejumlah kesaksian menyebut D.N. Aidit mengetahui rencana Gerakan 30 September. Seberapa jauh dia terlibat?


PERISTIWA 42 tahun lalu itu tetap saja masih menjadi tanda tanya keluarga besar Aidit: apa sebenarnya peran Aidit dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 itu? Peran Aidit dalam "kup" 30 September 1965 memang masih misteri. Sejumlah sejarawan, juga sejumlah kalangan militer, yakin PKI dalang penculikan dan pembunuhan tujuh jendral Angkatan Darat. Karena PKI terlibat, maka Aidit pun, sebagai Ketua Committee Central, dituding sebagai otaknya.

Murad Aidit, adik kandung Aidit, berkisah. Pada "malam berdarah" itu tak ada tanda-tanda atau kesibukan khusus di rumah Aidit. "Malah saya dipesan mematikan lampu," kata Murad. Menjelang "peristiwa Gerakan 30 September" itu, Murad memang menginap di rumah Aidit di Pegangsaan Barat, Jakarta Pusat. Rumah Aidit sepi, "Sampai sekarang saya lebih bisa menerima tragedi itu karena ada pengkhianat dalam tubuh PKI," katanya. Dia tidak yakin abangnya yang memerintahkan pembunuhan para jendral.

Aidit mengawali "karier politiknya" dari Asrama Menteng 31, asrama yang dikenal sebagai "sarang pemuda garis keras" pada awal kemerdekaan. Di tempat ini berdiam, antara lain, Anak Marhaen Hanafi (pernah menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk Kuba), Adam Malik, Sayuti Melik (pengetik naskah Proklamasi). Para penghuni Menteng 31 sempat menculik Soekarno dan memaksa si Bung memproklamasikan kemerdekaan Indonesia--sesuatu yang kemudian ditolak Bung Karno. Di kelompok Menteng 31, Aidit sangat dekat dengan Wikana, seorang pemuda sosialis.

Aidit disebut-sebut juga berperan dalam pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. Pasca pemberontakan yang gagal itu, ia sempat dijebloskan ke penjara Wirogunan, Yogya. Ketika terjadi agresi Belanda, ia kabur dari penjara dan tinggal di Vietnam Utara. Tentang kepergiannya ke Vietnam ada pendapat lain. Ada yang menyebut bahwa sebenarnya ia hanya mondar-mandir Jakarta-Medan.

Yang pasti, pada pertengahan 1950, Aidit, yang saat itu berusia 27 tahun "muncul" lagi. Bersama M.H. Lukman, 30 tahun, Sudisman, 30 tahun, dan Njoto, 23 tahun, ia memindahkan kantor PKI dari Yogyakarta ke Jakarta. Bisa dibilang, dalam kurun waktu inilah karier politik Aidit sesungguhnya dimulai.

Momentum konsolidasi partai terjadi ketika meletus kerusuhan petani di Tanjung Morawa, Sumatera Utara, 6 Juni 1953. Kerusuhan yang digerakkan kader PKI itu menjatuhkan kabinet Wilopo. Kesuksesan ini memompa semangat baru ke tubuh partai tersebut.
Bersama "kelompok muda" partai, Aidit menyingkirkan tokoh-tokoh lama partai. Pada Kongres PKI 1954, pengurus PKI beralih ke generasi muda. Tokoh partai semacam Tan Ling Djie dan Alimin disingkirkan. Pada kongres itu, Aidit dikukuhkan menjadi Sekretaris Jenderal PKI. Aidit lantas meluncurkan dokumen perjuangan partai berjudul "Jalan Baru Yang Harus Ditempuh Untuk Memenangkan Revolusi."

Aidit juga membangun aliansi kekuatan dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) untuk memperkuat PKI. PNI dipilih karena, selain sama-sama anti-Barat, juga ada figur Soekarno yang bisa dipakai mengatasi tekanan lawan-lawan politik mereka. Puncak kerjasama terjadi pada masa Sidik Djojosukarto memimpin PNI. Saat itu disepakati bahwa PNI tidak akan mengganggu PKI dalam rangka membangun partai.

Menurut Ganis Harsono, seorang diplomat senior Indonesia dalam otobiografinya, Cakrawala Politik Era Soekarno, strategi ini berhasil "menyandera" Bung Karno. Ada kesan bahwa Bung Karno berdiri di depan PKI, sekaligus memberi citra PKI pendukung revolusi Bung Karno dan Pancasila.

Kerja keras Aidit membuahkan hasil. Pada Pemilu 1955, PKI masuk "empat besar" setelah PNI, Masyumi, dan Nahdlatul Ulama. Di masa ini PKI menjadi partai komunis terbesar di negara non-komunis dan partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah Rusia dan Cina.

PKI terus maju. Pada tahun itu juga partai ini menerbitkan dokumen perjuangan "Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan." Bentuk pertama, perjuangan gerilya di desa-desa oleh kaum buruh dan petani. Kedua, perjuangan revolusioner oleh kaum buruh di kota-kota, terutama kaum buruh di bidang transportasi. Ketiga, pembinaan intensif di kalangan kekuatan bersenjata, yakni TNI.

Pada 1964, PKI membentuk Biro Khusus yang langsung dibawahi Aidit sebagai Ketua Committee Central PKI. Tugas biro ini mematangkan situasi untuk merebut kekuasaan dan infiltrasi ke tubuh TNI. Biro Chusus Central (demikian namanya) dipimpin Sjam Kamaruzzaman. Tak sampai setahun, Biro Chusus berhasil menyelusup ke dalam TNI, khususnya Angkatan Darat.

Pada Juli 1965, seiring dengan merebaknya kabar kesehatan Bung Karno memburuk, suhu politik Tanah Air makin panas pula. Sebuah berita dari dokter RRC yang merawat Presiden datang: Bung Karno akan lumpuh atau meninggal dunia. Di Jakarta bertiup rumor menyengat, muncul Dewan Jenderal yang hendak menggulingkan Bung Karno.

Dalam Buku Putih G-30-S/PKI yang diterbitkan Sekretariat Negara pada 1994, disebutkan bahwa Aidit kemudian menyatakan, gerakan merebut kekuasaan harus dimulai jika tak ingin didahului Dewan Jenderal. Gerakan itu dipimpinnya sendiri. Ada pun Sjam ditunjuk sebagai pimpinan pelaksana gerakan.

Saat diadili Mahkamah militer, Sjam mengaku dipanggil Aidit pada 12 Agustus 1965. Dalam pertemuan itu, ia diberi tahu bahwa Presiden sakit dan adanya kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan bila Bung Karno mangkat. Menurut Sjam, Aidit memerintahkan dia meninjau "kekuatan kita."

Sejak 6 September 1965, Sjam lantas menggelar rapat-rapat di rumahnya dan di rumah Kolonel A. Latief (Komandan Brigade Infanteri I Kodam Jaya). Di rapat ini hadir Letnan Kolonel Untung (Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Resimen Cakrabirawa) dan Mayor Udara Sudjono (Komandan Pasukan Pengawal Pangkalan Halim Perdanakusumah). Rapat terakhir, 29 September 1965, menyepakati gerakan dimulai 30 September 1965 dengan Untung sebagai pemimpinnya.

Dalam wawancara dengan majalah D&R, 5 April 1999, A. Latief menyatakan, Gerakan 30 September dirancang untuk menggagalkan upaya kup Dewan Jenderal. "Kami dengar ada pasukan di luar Jakarta yang didatangkan dalam rangka defile Hari Angkatan Bersenjata dengan senjata lengkap. Ini apa? Mau defile saja, kok, membawa peralatan berat," kata Latief. Karena merasa bakal terjadi sesuatu, para perwira tersebut, yang mengaku terlibat karena loyal pada Soekarno, memilih menjemput "anggota" Dewan Jenderal untuk dihadapkan ke Soekarno.

Menurut Latief gerakan itu diselewengkan oleh Sjam. "Rencananya akan dihadapkan hidup-hidup untuk men-clear-kan masalah, apakah memang benar ada Dewan Jenderal," katanya. Tapi, malam hari, saat pasukan Cakrabirawa pimpinan Letnan Dul Arief, anak buah Untung, akan berangkat menuju rumah para jenderal, tiba-tiba, ujar Latief, Sjam datang. "Bagaimana kalau para jenderal ini membangkang, menolak diajak menghadap Presiden," kata Dul Arief. Sjam menjawab, para jenderal ditangkap. Hidup atau mati.

Keesokan harinya, Dul Arief melaporkan kepada Latief dan Jenderal Soepardjo bahwa semua telah selesai. "Mula-mula mereka saya salami semua, tapi kemudian Dul Arief bilang semua jenderal mati. Saya betul-betul kaget, tidak begitu rencananya," kata Latief yang mengaku tidak kenal dengan Aidit.

Aidit sendiri belum pernah memberi pernyataan tentang hal ini. Ia ditangkap di Desa Sambeng, dekat Solo, Jawa Tengah, pada 22 November 1965 malam, dan esok paginya ditembak mati. Sebelum ditangkap pasukan pimpinan Kolonel Yasir Hadibroto, Aidit dikabarkan sempat membuat pengakuan sebanyak 50 lembar. Pengakuan itu jatuh ke Risuke Hayashi, koresponden koran berbahasa Inggris yang terbit di Tokyo, Asahi Evening News.

Menurut Asahi, Aidit mengaku sebagai penanggung jawab tertinggi peristiwa "30 September." Rencana pemberontakan itu sudah mendapat sokongan pejabat PKI lainnya serta pengurus organisasi rakyat di bawah PKI. Alasan pemberontakan, mereka tak puas dengan sistem yang ada. Rencana kup semula disepakati 1 Mei 1965, tetapi Lukman, Njoto, Sakirman dan Nyono--semuanya anggota Committee Central--menentang. Alasannya, persiapan belum selesai. Akhirnya, setelah berdiskusi dengan Letkol Untung dan sejumlah pengurus lain pada Juni 1965, disepakati mulai Juli 1965 pasukan Pemuda Rakyat dan Gerwani dikumpulkan di Pangkalan Halim Perdanakusumah.

Pertengahan Agustus, sekembalinya dari perjalanan ke Aljazair dan Peking, Aidit kembali melakukan pertemuan rahasia dengan Lukman, Njoto, Brigjen Soepardjo, dan Letkol Untung. PKI mendapat info bahwa tentara, atas perintah Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal Achmad Yani, akan memeriksa PKI karena dicurigai mempunyai senjata secara tidak sah. "Kami terpaksa mempercepat pelaksanaan coup d'etat," kata Aidit. Akhirnya, dipilih tanggal 30 September.

Dalam buku Bayang-Bayang PKI yang disusun tim Institut Studi Arus Informasi (1999), diduga Aidit tahu adanya peristiwa G-30-S karena ia membentuk dua organisasi: PKI legal dan PKI ilegal. Biro Chusus adalah badan PKI tidak resmi. Sjam bertugas mendekati tentara dan melaporkan hasilnya, khusus hanya kepada Aidit. Hanya, ternyata, tak semua "hasil" itu dilaporkan Sjam.

Tentang besarnya peran Aidit dalam peristiwa 30 September ditampik Soebandrio. Menurut bekas Wakil Perdana Menteri era Soekarno ini, G-30-S didalangi tentara dan PKI terseret lewat tangan Sjam. Alasan Soebandrio, sejak isu sakitnya Bung Karno merebak, Aidit termasuk yang tahu kabar tentang kesehatan Bung Karno itu bohong. Waktu itu, kata Soebandrio, Aidit membawa seorang dokter Cina yang tinggal di Kebayoran Baru. Soebandrio dan Leimena, yang juga dokter, ikut memeriksa Soekarno. Kesimpulan mereka sama: Bung Karno cuma masuk angin.

Soebandrio dalam memoarnya, Kesaksianku Tentang G-30-S, menyesalkan pengadilan yang tidak mengecek ulang kesaksian Sjam. Menurut Soebandrio, ada lima orang yang bisa ditanya: Bung Karno, Aidit, dokter Cina yang ia lupa namanya tersebut, Leimena, dan dirinya sendiri. Menurut Soebandrio, pada Agustus 1965 kelompok "bayangan Soeharto" (Ali Moertopo cs) sudah ingin secepatnya memukul PKI. Caranya, mereka melontarkan provokasi-provokasi untuk mendorong PKI mendahului memukul Angkatan Darat.

Njoto membantah pernyataan Aidit. Menurut Njoto, "Hubungan PKI dengan Gerakan 30 September dan pembunuhan Jenderal Angkatan Darat tidak ada. Saya tidak tahu apa pun, sampai-sampai sesudah terjadinya," katanya dalam wawancara dengan Asahi Evening News. Keterangan Njoto sama dengan komentar Oei Hai Djoen, mantan anggota Comite Central. "Kami semua tidak tahu apa yang terjadi," kata dia.

Presiden Soekarno sendiri menyatakan Gestok (Gerakan Satu Oktober)--demikian istilah Bung Karno--terjadi karena keblingernya pimpinan PKI, lihainya kekuatan Barat atau kekuatan Nekolim (Neo-Kolonialisme dan Imperialisme), serta adanya "oknum yang tidak benar."

Misteri memang masih melingkupi peristiwa ini. "Menurut kami, PKI memang terlibat, tapi terlibat seperti apa?" kata Murad. Setelah puluhan tahun tragedi itu berlalu, pertanyaan itu belum menemukan jawabannya. Setidaknya bagi Murad dan anggota keluarga Aidit yang lain.●



Dan Soeharto pun Tersenyum

Tempo, 1-7 Oktober 2007


ADA di mana kamu saat pemberontakan PKI Madiun," tanya Mayor Jenderal Soeharto, Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat.

"Saya waktu itu baru saja dihijrahkan dari Jawa Barat," jawab Kolonel Yasir Hadibroto, Komandan Brigade IV Infanteri. "Kompi saya lalu mendapat tugas menghadapi tiga batalyon komunis di daerah Wonosobo, Pak."

"Nah, yang memberontak sekarang ini adalah anak-anak PKI Madiun dulu. Sekarang bereskan itu semua! D.N. Aidit ada di Jawa Tengah. Bawa pasukanmu ke sana," ujar Soeharto memberi perintah.

Percakapan di Markas Komando Strategis Angkatan Darat, Jakarta, itu dituturkan ulang oleh Yasir dalam Kompas edisi 5 Oktober 1980. Saat itu dia bersama pasukannya baru saja tiba di Tanjung Priok. Brigif IV sebenarnya tengah melakukan operasi di Kisaran, Sumatera Utara. Karena mendengar peristiwa G-30-S, mereka kembali.

Di hari pertemuan itu, 2 Oktober 1965, tentara telah mulai mengejar orang-orang Partai Komunis Indonesia yang dituduh terlibat G-30-S. Tapi Dipa Nusantara Aidit, Ketua Central Committee PKI, menghilang.

Yasir pun memboyong pasukannya ke Solo. Di sana dia bertemu Sri Harto, orang kepercayaan pimpinan PKI sedang meringkuk di salah satu rumah tahanan. Orang itu dia lepaskan. Hanya dalam beberapa hari Sri Harto melapor: Aidit berada di Kleco dan akan segera pindah ke sebuah rumah di Desa Smbeng, belakang Stasiun Balapan, pada 22 November.

Rencana pun disusun. Dan benar, sekitar pukul sebelas siang, Aidit muncul di rumah itu, menumpang vespa Sri Harto. Sekitar pukul sembilan malam, Letnan Ning Prayitno memimpin pasukan Brigif IV menggerebek rumah milik bekas pegawai PJKA itu. Yasir mengawasinya dari jauh.

Alwi Shahab, wartawan gaek yang kala itu sedang meliput di Solo, menulis di harianRepublika, waktu digerebek Aidit bersembunyi di dalam lemari. Prayitno sendiri yang menemukannya.

"Mau apa kamu?" Aidit membentak anak buah Yasir itu saat ke luar dari lemari. Prayitno keder pada mulanya, tapi segera menguasai keadaan. Setengah membujuk dia membawa Aidit ke markas mereka di Loji Gandrung.

Malam itu juga Yasir menginterogasi Aidit. Kabarnya, sang Ketua membuat pengakuan tertulis setebal 50 halaman. Isinya, antara lain, hanya dia yang bertanggung jawab atas peristiwa G-30-S. Sayang, menurut Yasir, Pangdam Diponegoro kemudian membakar dokumen itu. Entah bagaimana, koresponden Asahi Evening News di Jakarta, Risuke Hayasi, berhasil mendapatkan bocoran pengakuan Aidit untuk korannya.

Menjelang dini hari Yasir kebingungan, selanjutnya harus bagaimana. Aidit berkali-kali minta bertemu dengan Presiden Soekarno. Yasir tak mau. "Jika diserahkan kepada Bung Karno, pasti akan memutarbalikkan fakta sehingga persoalannya akan menjadi lain," kata Yasir seperti dikutip Abdul Gafur dalam bukunya, Siti Hartinah Soeharto: Ibu Utama Indonesia.

Akhirnya, pada pagi buta keesokan harinya, Yasir membawa Aidit meninggalkan Solo menuju ke arah Barat. Mereka menggunakan tiga buah jip. Aidit yang diborgol berada di jip terakhir bersama Yasir. Saat terang tanah iring-iringan itu tiba di Boyolali.

Tanpa sepengetahuan dua jip pertama, Yasir membelok masuk ke Markas Batalyon 444. Tekadnya bulat. "Ada sumur?" tanyanya kepada Mayor Trisno, komandan batalyon. Trisno menunjuk sebuah sumur tua di belakang rumahnya.

Ke sana Yasir membawa tahanannya. Di tepi sumur, dia mempersilakan Aidit mengucapkan pesan terakhir, tapi Aidit malah berapi-api pidato. Ini membuat Yasir dan anak buah marah. Maka: dor! Dengan dada berlubang tubuh gempal Menteri Koordinasi sekaligus Wakil Ketua MPRS itu terjungkal masuk sumur.

●●●

24 November 1965, pukul 3 sore. Yasir bertemu Soeharto di Gedung Agung, Yogyakarta. Setelah melaporkan pekerjaannya, termasuk keputusannya membunuh Aidit, sang kolonel memberanikan diri bertanya: "Apakah yang Bapak maksudkan dengan bereskan itu seperti sekarang ini, Pak?" Soeharto tersenyum.●



Kuburan
Rahasia Sumur Mati

Tempo, 1-7 Oktober 2007


Aidit konon dikuburkan di Boyolali, Jawa Tengah. Anaknya pernah berziarah ke sana.

HAMPARAN tanah berkerikil itu ditumbuhi labu siam dan ubi jalar. Pohon mangga dan jambu biji menaunginya di kanan-kiri. Hanya itu. Tak ada satu pun penanda yang menunjukkan bekas sumur di pekarangan belakang gedung tua itu. Dulu, bangunan ini adalah bagian dari kompleks markas Batalion 444 TNI Angkatan Darat di Boyolali--sebuah kota kabupaten sekitar 25 kilometer di sebelah barat Solo, Jawa Tengah.

Meski tak berbekas, banyak orang meyakini, di sepetak halaman itu pernah ada sebuah sumur tua tempat jenazah Dipa Nusantara Aidit, Ketua Umum Comite Central PKI, dikuburkan pada 23 November 1965. Salah satunya Mustasyar Nahdlatul Ulama Boyolali, Tamam Saemuri, 71 tahun.

Pada suatu malam di tahun berdarah 1965, dia bertemu Kolonel Yasir Hadibroto dalam sebuah rapat organisasi massa di pendapa kabupaten. Saat itu Tamam mudal adalah aktivis Gerakan Pemuda Anshor, organisasi yang banyak terlibat dalam "operasi pembersihan." Kepada Tempo dua pekan lalu, dia bercerita bahwa dalam pertemuan itu Yasir mengumumkan pasukannya telah menembak mati Aidit beberapa hari sebelumnya. "Eksekusinya subuh-subuh," Tamam menirukan Yasir. Seakan meneguhkan ucapan kepada lawan bicaranya, Yasir menunjukkan jam tangan yang dia kenakan. "Ini arloji Aidit," katanya. Sewaktu didesak menceritakan bagaimana pucuk pimpinan PKI itu tewas, Yasir berujar, "Dia diberondong senapan AK sampai habis 1 magasin."

Sejumlah sumber lain membenarkan cerita Tamam. Setelah puluhan tahun, cerita itu sampai juga ke telinga putra Aidit, Ilham. Empat tahun lalu dia memutuskan datang sendiri ke tempat yang diduga sebagai pusara ayahnya. "Sejak lulus kuliah sampai 1998, saya selalu mencari kuburan ayah dengan sembunyi-sembunyi," katanya tatkala dihubungi pekan lalu. Saat itu dia hanya berbekal sepotong informasi dari koran bahwa Aidit tewas ditembak di Boyolali. Berbilang kawan dekat ayahnya dia tanyai, tapi tak ada satu pun yang tahu nasib Aidit selepas meninggalkan Ibu Kota.

Menemukan makam Aidit bukan perkara mudah, bahkan bagi anaknya. Ada upaya sistematis untuk membuat peristirahatan terakhir Aidit dilupakan orang. Sumur tua itu, misalnya, sampai dua kali diuruk batu setelah November 1965. Kompleks gedung markas Batalion 444 juga dibongkar dan kini hanya menyisakan sebuah gedung tua. Gedung itu sekarang digunakan sebagai mes pegawai Komando Distrik Militer (Kodim) Boyolali.

Batalion 444 dikenal sebagai kesatuan tentara pro-komunis. Salah satu komandan kompinya adalah Letnan Kolonel Untung Syamsuri, yang kemudian memimpin operasi penculikan sejumlah jenderal pada malam 30 September. Tahun-tahun menjelang 1965, Boyolali juga dikenal sebagai basis PKI Jawa Tengah. Dalam Pemilu 1955 dan pemilihan kepala daerah dua tahun sesudahnya, PKI meraih kemenangan besar di sana.

Pencarian Ilham baru berbuah ketika sebuah lembaga swadaya masyarakat lokal di Boyolali menghubunginya dan menceritakan temuan mereka. "Mereka mengetahui lokasi ini dari sumber-sumber kredibel yang terlibat langsung dalam pembunuhan anggota PKI saat itu," kata Ilham.

Tempo mendatangi lokasi itu dua pekan lalu. Dan seorang penghuni di mes Kodim membenarkan pekarangan belakang gedung itu disebut-sebut sebagai lokasi kuburan Aidit.

Dia menambahkan, telah lama warga setempat berusaha menghindari bekas sumur tua itu. "Pernah ada orang yang mau membuat bak sampah tepat di atasnya, tapi cangkulnya membentur batu keras," katanya. Saat bergeser beberapa meter ke samping, justru muncul pecahan tulang tempurung tengkorak. Lubang itu buru-buru ditutup lagi. Si penghuni ini menolak disebut namanya karena khawatir keselamatannya terancam.

Tak sampai 100 meter dari sana, ada sebuah lokasi lain yang juga disebut-sebut berhubungan dengan Aidit. Di sanalah, konon, Wakil Ketua Majelis MPR Sementara itu ditembak mati. Pekarangan tersebut bagian dari satu rumah berarsitektur tua yang sekarang menjadi gedung Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah.

"Jadi setelah ditembak di sana, baru jenazahnya dimasukkan ke sumur di sebelahnya," kata Ilham kepada Tempo. Pada 1965, rumah itu digunakan sebagai Sekolah Pendidikan Guru. Lokasinya tak jauh dari Pasar Boyolali, yang berhadap-hadapan dengan markas polisi militer Kodim Boyolali dan gedung yang dulu digunakan sebagai Sekretariat PKI.

Mbah Jungkung, seorang pensiunan pegawai negeri setempat yang banyak mengetahui ihwal kejadian pada masa itu, membenarkan kisah Ilham. Bahkan, menurut dia, gedung sekolah itu dahulu dijadikan semacam kamp tahanan. Para anggota dan simpatisan PKI dikumpulkan di situ sebelum dieksekusi.

●●●

Ketika akhirnya berdiri di samping pusara ayahnya pada 2003 lalu, Ilham mengaku tak kuasa menahan getaran hatinya. "Naluri saya mengatakan memang di sinilah tempatnya," katanya dengan suara tercekat. Putra Aidit itu juga mengaku memendam keinginan untuk memindahkan jenazah ayahnya ke tempat yang layak. "Tapi mungkin belum bisa sekarang," katanya pelan. "Kami harus bersabar."●

Sumber: http://aspire.emenace.com/simpang_kiri/dna/peran-aidit.htm