Kamis, 28 Januari 2010

Kawan Ketua ke Daerah Basis

Setelah Peristiwa G-30-S
Kawan Ketua ke Daerah Basis

Aidit menggelar rapat partai di tiga kota dalam sehari. Ada yang bilang itu konsolidasi, ada juga yang menyebutnya penyelamatan diri belaka.

Langit masih gelap saat pesawat Dakota T-443 menyentuh landasan Pangkalan Angkatan Udara Adisutjipto, Yogyakarta. Pesawat penting, dengan orang penting di dalamnya. Maka, di pagi buta itu, 2 Oktober 1965, sejumlah perwira AU bergegas ke terminal. Ada Gubernur Akademi Angkatan Udara Komodor Udara Dono Indarto, juga lima perwira AU berpangkat mayor.

”Apakah tujuan kedatangan Yang Mulia ke Yogyakarta?” tanya Komodor Udara Dono Indarto saat menyambut sang tamu di ruang VIP pangkalan.

Sosok yang dipanggil Yang Mulia itu, pria berumur 42 tahun, menjawab singkat. ”Situasi di Yogyakarta panas. Saya diperintahkan oleh Bung Karno untuk mempersiapkan, karena kemungkinan Bung Karno akan ke Yogyakarta,” katanya. Ia adalah Dipa Nusantara Aidit, Menteri Koordinator/Wakil Ketua MPRS dan juga Ketua Comite Central (CC) PKI. Ia ditemani dua sekretarisnya, Walujo dan Kusno.

Lawatan orang nomor satu PKI ini ke Yogyakarta dan Jawa Tengah pada saat seperti itu tentu saja mengundang beragam tafsir. ”Kawan ketua mendatangi daerah basis,” kata Ngadiyanto, anggota DPRD Jawa Tengah dari PKI, soal lawatan itu. Dua daerah itu memang basis partai berlambang palu arit ini. Menurut bekas Ketua Lembaga Sejarah CC PKI Sumaun Utomo, selain untuk konsolidasi, kedatangan ini buat menyelamatkan diri. ”Karena tidak banyak yang bisa dilakukan pada saat itu,” kata pria yang kini 85 tahun itu kepada Tempo.

Saat itu, terkesan Angkatan Udara menangkap kedatangan Aidit ini sebagai tugas negara, bukan partai. Angkatan Udara pun menawarkan untuk mengantarkannya ke Kepala Daerah Yogyakarta Sri Paku Alam. Tapi Aidit memilih pergi ke rumah Ketua Comite Daerah Besar (CDB) PKI Yogyakarta, Sutrisno. Salah satu perwira di pangkalan, Mayor Sunaryo, mengantarnya dengan mobil Morris; satu mobil pengawal ikut di belakangnya. Sebelumnya, sejumlah perwira mengusulkan Aidit diantar mobil dinas Angkatan Udara. Rencana ini batal karena Dono Indarto menolaknya.

Dalam perjalanan ke rumah Sutrisno, dua kali rombongan Aidit kesasar. Awalnya ke rumah Ketua Partai Nahdlatul Ulama, lalu ke rumah Ketua Partai Nasionalis Indonesia. Tak jelas benar apakah ini sengaja atau memang karena ketidaktahuan. Dalam buku Menyingkap Kabut Halim 1965 memang diungkapkan: tak seorang pun dari para pengantar itu tahu rumah Sutrisno. Tapi kedatangan orang pusat yang tak dijemput pejabat daerah memang menjadi tanda tanya sendiri di benak orang-orang Angkatan Udara.

Menurut Victor Miroslav Fic, penulis buku Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi tentang Konspirasi, di kota ini Aidit bertemu dengan pimpinan PKI Yogyakarta. Sempat dibahas kemungkinan membentuk kelompok bersenjata untuk mendukung Dewan Revolusi Untung, meski itu tak jadi dilaksanakan karena dianggap tidak mungkin. Pertemuan beberapa jam itu akhirnya memutuskan bahwa PKI setempat akan melancarkan aksi-aksi massa untuk membela Bung Karno. Pertemuan hanya berlangsung beberapa jam. Setelah itu, Aidit bertolak ke Semarang.

Wakil Ketua I CC PKI M.H. Lukman dan pemimpin PKI Jawa Tengah dikabarkan mengadakan pertemuan darurat di Semarang. Menurut Victor Miroslav Fic, pertemuan ini penting karena menghasilkan sikap politik PKI yang menyatakan Gerakan 30 September adalah masalah internal Angkatan Darat dan partai tak ada sangkut-pautnya dengan gerakan itu. Tugas utama partai kini melakukan konsolidasi kekuatan untuk menangkal serangan dari lawan-lawan politik partai dan Presiden.

Seusai pertemuan, petang itu juga Aidit dilaporkan meluncur ke Boyolali. Seorang eks anggota Gerakan Siswa Nasional Indonesia Boyolali, Jungkung, mengaku pernah melihat Aidit di jalan raya Boyolali, justru akhir Oktober 1965. Pria 61 tahun ini awalnya dihampiri dua orang yang mengendarai VW Kodok, yang belakangan diketahui adalah Aidit dan Wakil Gubernur Jawa Tengah Suyatno Atmo. ”Si Mbah (panggilan untuk Aidit) menanyakan jalan menuju kantor Bupati Boyolali,” kata Jungkung. Bupati Boyolali saat itu, Suwali, memang kader partai.

Pada hari yang sama, Aidit melaju ke Solo. Ia bertemu dan menggelar rapat dengan petinggi partai, termasuk Wali Kota Solo yang juga kader, Utomo Ramelan. Dalam rapat ini, Aidit dikabarkan gagal mendapatkan dukungan kolega partainya untuk menerima hasil keputusan pertemuan Semarang.

Bertolak belakang dengan hasil Semarang, pertemuan Solo justru mendukung operasi Gerakan 30 September beserta tujuan-tujuannya. Partai juga harus melancarkan perjuangan bersenjata untuk mendukung gerakan yang dipimpin Letnan Kolonel Untung, merebut kekuasaan pemerintah setempat dan membela partai. Menurut Victor Miroslav Fic, perbedaan keputusan Semarang dan Solo inilah yang menyebabkan pendukung partai terbelah: golongan radikal dan moderat. Yang juga belum jelas dari rangkaian peristiwa ini adalah bagaimana Aidit bisa melakukan rapat di Yogyakarta, Semarang, dan Solo dalam waktu sehari.

Dalam keadaan genting ini, Politbiro PKI bertemu di Blitar, Jawa Timur, 5 Oktober 1965. Soal pertemuan ini memang simpang-siur. Bekas anggota CC PKI, Rewang, mengaku tak tahu soal pertemuan itu. ”Oktober 1965, saya masih di Jakarta,” kata Rewang kepada Tempo. Bekas Ketua Lembaga Sejarah CC PKI Sumaun Utomo tegas menyangkal adanya pertemuan itu. ”Saat itu semua pengurus elite PKI masih di Jakarta dan sibuk menyelamatkan diri. Secara teknis, tidak mungkin anggota Politbiro berkumpul di Blitar,” kata pria 85 tahun itu.

Menurut Victor Miroslav Fic, memang tak semua elite partai hadir. Selain Aidit, cuma ada M.H. Lukman, Wakil Ketua I CC PKI yang juga Wakil Ketua DPR Gotong-royong. Pertemuan itu untuk menyusun pernyataan Politbiro PKI soal Gerakan 30 September dan juga surat Aidit yang akan disampaikan kepada Presiden Soekarno.

Dalam surat tertanggal 6 Oktober yang diyakini ditulis di Blitar, Aidit menyampaikan versinya soal peristiwa 30 September. Malam itu, ia mengaku dijemput tentara berpakaian Pengawal Presiden Cakrabirawa untuk rapat darurat kabinet. Tapi mobil yang membawanya justru mengarah ke daerah Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, bukan Istana Negara. Dari para penahannya, ia mendapat informasi soal rencana menangkap orang yang disebut terlibat Dewan Jenderal. Informasi tambahan lainnya, Presiden dikabarkan memberi restu gerakan ini.

Keesokan harinya, masih menurut surat itu, Aidit diminta berangkat ke Yogyakarta dengan pesawat yang disediakan Wakil Perdana Menteri Omar Dhani, untuk mengatur kemungkinan evakuasi Presiden ke Yogyakarta. Kota ini dianggap tepat untuk markas pemerintahan sementara. Dalam surat tersebut, Aidit juga menyampaikan permintaan maaf karena tak bisa datang dalam rapat kabinet di Bogor karena pesawat AURI yang akan mengantarnya rusak.

Surat itu diakhiri dengan enam usul untuk menyelesaikan krisis politik akibat penculikan dan pembunuhan para jenderal Angkatan Darat tersebut. PKI tetap beranggapan Gerakan 30 September itu adalah soal internal di tubuh Angkatan Darat. Aidit mengaku tak tahu sebelumnya soal gerakan tersebut ”sehingga tidak dapat menyalurkan potensi revolusi ke arah yang wajar”. Kepada Presiden, Aidit menyampaikan usul agar peristiwa itu diselesaikan Presiden secara politik.

Aidit menyerahkan surat itu kepada Lukman dan menginstruksikan agar dia kembali ke Jakarta. Di Ibu Kota, Lukman diminta menghubungi Njoto dan menyampaikan surat tersebut untuk diserahkan kepada Presiden secara pribadi. Bila kabinet bersidang pada 6 Oktober di Bogor, Njoto diminta hanya membacakan salah satu poin yang berisi usul penyelesaian peristiwa Gerakan 30 September secara politik. Njoto memang bisa bertemu dengan Presiden. Di depan sidang kabinet, Presiden memberi Njoto kesempatan untuk menyampaikan pandangan PKI.

Ada cerita sendiri soal gagalnya Aidit datang dalam rapat kabinet di Istana Bogor. Mulanya, datang radiogram kepada komandan Skuadron Pendidikan B Mayor Udara Sugiantoro, 5 Oktober 1965. Isinya, ada permintaan agar dikirim sebuah pesawat Mentor ke Pangkalan Angkatan Udara Panasan, Solo, dan pilotnya menghadap ke komandan pangkalan.

Mayor Udara Sugiantoro melaporkan radiogram itu ke Gubernur Akademi Angkatan Udara Komodor Udara Dono Indarto. Tak lama kemudian, Sugiantoro bersama Kapten Udara Suwandi Sudjono melesat dengan dua pesawat Mentor ke Panasan, Solo. Sesampai di pangkalan, ia menghadap ke komandan pangkalan, Kolonel Udara Sunyoto. Ia pun diberi instruksi mengantar seorang pejabat, yang tak ia sebutkan namanya, ke Pangkalan Angkatan Udara Semplak, Bogor.

Atas desakan Mayor Sugiantoro yang ingin tahu siapa pejabat ”misterius” itu, Kolonel Sunyoto pun buka kartu. Orangnya tak lain adalah Aidit. Tahu perkembangan Gerakan 30 September di Jakarta melalui radio, ia tegas menolak instruksi itu.

”Ini perintah,” bentak Kolonel Sunyoto waktu itu.

”Saya hanya tunduk pada perintah atasan saya langsung di Akademi Angkatan Udara,” kata Mayor Sugiantoro.

Suasana tegang karena keduanya sama-sama teguh pendirian. Pesawat Mentor itu pun kembali lagi ke Yogyakarta, dan tak ada penerbangan ke Bogor.

Di tengah gencarnya usaha perburuan terhadap tokoh dan simpatisan PKI yang dilakukan pasukan Soeharto, Aidit masih sempat mengeluarkan instruksi. Menurut Victor Miroslav Fic, salah satu instruksinya adalah yang dibuat pada 10 November. Dalam surat yang terdiri atas 11 item itu, Aidit menyampaikan ”wasiat” setelah melihat perkembangan keadaan. Merujuk pada buku wartawan TVRI Hendro Subroto, Dewan Revolusi PKI: Menguak Kegagalannya Mengkomuniskan Indonesia, mungkin surat itu ditulis dari tempat persembunyian Aidit di daerah Kerten atau Sambeng, sama-sama di Solo.

Dalam ”wasiat terakhirnya” itu, Aidit mengakui kerusakan fatal pada partai akibat Gerakan 30 September, meski semua sudah diperhitungkannya. Surat itu juga mengisyaratkan kemungkinan Aidit mencari perlindungan ke RRC. Jika itu terjadi, petinggi PKI diminta menjamin kelangsungan partai, mempertahankan daerah basis di Jawa, menghindari perlawanan frontal, serta teror dan sabotase hendaknya dijalankan sistematis untuk perang urat saraf. Surat itu juga mengisyaratkan optimisme bahwa Sosro—yang diyakini sebagai nama samaran untuk Soekarno—belum meninggalkan PKI.

Dalam sidang terakhir Kabinet Dwikora, 6 Oktober, Soekarno bisa meyakinkan kabinet untuk menerima usul Aidit. Tapi perkembangan yang terjadi kemudian berujung pada kekalahan PKI. Selang 12 hari setelah ”surat wasiat” itu, Aidit ditangkap anak buah Komandan Brigade Infanteri 4 Kodam Diponegoro Kolonel Yasir Hadibroto. Itulah akhir karier dan hidupnya.

Perjalanan Terakhir Aidit

1. Jakarta
# Aidit bertolak dari Jakarta pukul 01.30 WIB pada 2 Oktober 1965.
# Naik Pesawat Dakota T-443 dari Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma menuju Pangkalan Angkatan Udara Adisutjipto.

2. Yogyakarta
# Tiba di bandara pada 2 Oktober 1965 dini hari.
# Aidit pergi ke rumah Ketua CDB PKI Yogyakarta Sutrisno.
# Bertemu dengan petinggi partai dan memutuskan bahwa PKI setempat akan melancarkan aksi-aksi massa untuk membela Presiden Soekarno.

3. Semarang
# Aidit bergabung dengan pemimpin PKI Jawa Tengah yang mengadakan pertemuan darurat, 2 Oktober 1965.
# Rapat menghasilkan sikap politik yang menyatakan Gerakan 30 September adalah masalah internal Angkatan Darat dan PKI tak ada sangkut-pautnya dengan gerakan itu.
# Tugas utama partai kini melakukan konsolidasi.

4. Boyolali
# Aidit dilaporkan datang ke kota ini pada 2 Oktober 1965, tapi agendanya tak jelas benar.
# Ada yang mengaku melihat Aidit di Boyolali justru akhir Oktober. Waktu itu, Aidit hendak bertemu dengan kader partai yang jadi Bupati Boyolali, Suwali.

5. Solo
# Aidit menggelar rapat dengan petinggi partai, termasuk Wali Kota Solo Utomo Ramelan, 2 Oktober 1965.
# Rapat justru mendukung operasi Gerakan 30 September dan partai harus melancarkan perjuangan bersenjata untuk mendukung gerakan Letnan Kolonel Untung merebut kekuasaan pemerintah setempat dan membela partai.

6. Blitar
# Pada 5 Oktober 1965, Politbiro PKI menggelar rapat.
# Pertemuan itu untuk menyusun pernyataan Politbiro PKI soal Gerakan 30 September dan juga surat Aidit kepada Presiden Soekarno.
# Bekas anggota CC PKI, Rewang, tak tahu pertemuan itu.
# Bekas Ketua Lembaga Sejarah CC PKI Semaun Utomo menyangkal adanya pertemuan itu.

7. Solo
# Pada 10 November, di suatu tempat di Solo, Aidit menulis instruksi ke semua CBD partai.
# Pada 22 November 1965, Aidit ditangkap.


Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/cetak/2007/10/01/LU/mbm.20071001.LU125174.id.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar