Selasa, 26 Januari 2010

Sedjarah diriku (DARI BELITUNG SAMPAI BERKELANA TAK HINGGA)

DN Aidit: Sedjarah Diriku I
Sedjarah diriku (DARI BELITUNG SAMPAI BERKELANA TAK HINGGA), DISUSUN OLEH DIPA NUSANTARA AIDIT - kiriman Aida Ces. (ejaan tidak diubah - tetap sebagaimana dituliskan)
I
Saya akan berbagi kisah dengan saudara-saudara tentang pengalaman hidup saya di masa lalu, yang kini memang hanya tinggal sejarah yang bisa saya kenang di masa tua saya, saya tulis cerita dengan ejaan Orde Baru bukan edjaan Suwandi· dimana saya terbiasa menggunakannya, Cerita ini hanya sekedar kenang-kenangan dari seorang tua yang mungkin dapat memberi pelajaran bagi kaum muda agar lebih dapat melihat hidup bukan hanya sekedar di jalani tapi juga di maknai.

Saya dilahirkan di sebuah kota kecil di Pulau belitung bernama Pagar Alang, tahun 1924, ayah saya Abdullah Aidit adalah seorang mantri pengawas hutan, gajinya 60 gulden sebulan. Masyarakat Pulau Belitung mayoritas keturunan Melayu yang notabene memiliki kekentalan dalam menjalani ajaran agama Islam, begitu juga dengan keluarga kami, saya masih ingat bagaimana dulu saya diajari mengeja kata bahasa arab, mengaji, shalat, dan berbagai pembelajaran agama, dan alhamdulillah saat ini ajaran itu berguna sekali buat saya untuk mendekatkan diri pada Allah di masa tua. Seingat saya ayah saya termasuk orang terpandang di kota kami, walaupun hanya menjabat mantri hutan, karena keluwesan bergaul beliau dapat pula beliau mendirikan semacam organisasi Islam, semacam pusat pendidikan namanya Nurul Islam, bahkan pada tahun 1950-an ayah saya diangkat terpilih jadi anggota parlemen dari perwakilan golongan (bukan Masyumi yang selama ini tersebar beritanya).

Mengenang masa kecil saya adalah mengenang sebuah keindahan P. belitung, di pulau itu ada perusahaan Timah besar milik pemerintah Hindia Belanda, disanalah kadang-kadang naluri pembelajaran saya tentang perekonomian kapitalis dan sikap kritis terhadap system kapitalis muncul, kebetulan juga kami sekeluarga sangat membenci orang kaya dan ketidak adilan yang ditimbulkan oleh orang kaya.

Saya banyak berpikir mengapa dunia ini tidak adil, dimana ada orang bekerja keras tetapi tidak mendapat hasil yang memadai, tetapi ada orang yang hanya duduk-duduk namun bisa menikmati hasilnya, yah melalui , pemerasan atau penindasan manusia atas manusia lainnya eksplotation home par home-lah menurut istilah Bung Karno.Pada saat saya awal mempelajari ekonomi, yah seperti adik-adik waktu belajar pelajaran pertama ekonomi tentunya diajari tentang nilai lebih dan nilai manfaat, nah nilai-nilai ini ternyata digunakan untuk menindas manusia agar si pemilik modal dapat berleha-leha sementara yang lainnya hidup dalam kesengsaraan.

Sewaktu di Belitung tentunya konsep perjuangan saya belumlah jelas, saya hanya baru mempelajari dasar-dasarnya saja. Namun jiwa sosial saya tumbuh dengan pesat, saya rasakan itu, ada semacam keinginan saya untuk membantu rakyat kecil, saya merasa girang jiwa saya bila dekat dengan rakyat yang hidup dengan keringatnya sendiri yang menyimpan air matanya dengan senyum tulus, itulah rakyat yang sesungguhnya yang memiliki hati untuk bicara namun di sekap oleh kekuasaan, yang memiliki hak hidup layak namun di bohongi dan uangnya dicuri juga atas nama kekuasaan, dan kekuasaan itu berkedok dalam topeng kapitalisme dan menurut teori Sukarno kapitalisme adalah siklus terakhir dari kolonialisme.

Saya pelajari penderitaan mereka dengan berhari-hari ada di tengah mereka, saya hayati kesengsaraannya, ternyata kesimpulan saya waktu itu adalah bahwa mereka tidak memiliki kesempatan untuk maju, mereka dibutakan dengan gagasan-gagasan bohong oleh penguasa, mereka di hancurkan keberaniannya tahap demi tahap sehingga menjadi manusia yang tumpul, bukan manusia yang berani sementara keberanian hanya menjadi hak milik kaum penguasa dan antek-anteknya. Saya pahami betul penderitaan rakyat.

Saya masih inget tentang kejadian lucu di P. Belitung tiap bulan kelahiran Ratu Juliana ada semacem pertandingan sepak bola, nah untuk Bantu-bantu ayah saya dalam hal keuangan saya kerap berjualan kerupuk nah kerupuk Belitung ini namanya Kampelang yang artinya kalau bahasa Jakarta “Tabok” nah, ada seorang yang kalau tidak salah bernama Samsudin, ini sering mengolok-olok saya, dia ciptakan lagu “Amat Kampelang Jurok Amat babelang” masakan pantat saya di bilang berbelang, marahlah saya, pada saat si Sam ini lewat di depan rumah paman saya Busu (paman) Rahman, kebetulan saya sedang ada disitu, bernyanyilah ia, “Amat kampelang jurok amat babelang”, kontan saja saya sergap ia, saya loncat jendela dan saya piting kemudian saya gebuki sampai babak belur, kalau tidak ada busu Rahman memisahkan habislah ia. Sejak saat itu saya terkenal jagoan dan ditakuti oleh pemuda-pemuda Belitung, ha….ha.

Hal indah yang saya juga kenang adalah kegembiraan saya tiap saya khatam Al Qur’an pasti ada pesta kendurian, makan ayam kampung panggang dan kue-kue enak khas Belitung, saya mengenang masa indah saya dulu dengan penuh rasa syukur.

Anak Rantau di Djakarta
DN AIDIT

Tahun 1930-an akhir saya merantau ke Djakarta, beberapa hari saya tinggal di daerah yang tidak djelas, akhirnja saya bertemu dengan uda Ali dan tinggal bersamanya, Ali ini seorang penjahit ia senang menjahit baju satu di jadikan dua celana pendek, diajarilah aku cara menjahit baju model begituan, Ali dan aku tinggal di daerah sekitar Senen, saya tinggal lajaknja gembel, karena saya tinggal di bedeng-bedeng liar yang tidak ada besluit-nja (ijin), dimana sewaktu-waktu bisa dibongkar, tapi pemerintahan kota Batavia (sekarang Djakarta) tidak sekedjam seperti sekarang ini yang senang main gusur dan bakar perkampungan yang akan digusur, dulu pemerintahan Batavia nampaknya mendiamkan saja adanya bedeng-bedeng liar, Di Djakarta inilah saya sekolah di Sekolah Dagang Menengah..

Suatu senja kalau tidak salah di tahun 1943, saya bertemu dengan Pardjono dan A.M Hanafiah, kebetulan A.M Hanafiah -(kelak menteri penerangan pertama dan Duta besar di Kuba pada saat terdjadinja GESTOK)- adalah sekjen GERINDO, A.M Hanafiah menggantikan Wikana yang katanya terlalu kepala batu , Gerindo adalah sebuah gerakan politik yang dipimpin Bapak Adnan Kapau
Gani. A.M Hanafiah, Pardjono dan kawan-kawan seperdjuangannja bermarkas di sebuah rumah di Menteng, no.31, mereka ini merupakan bagian terdepan generasi intelektual muda di Djakarta kelompok mereka sering disebut kelompok menteng 31.

Anak didik Hatta

Setelah saya masuk ke asrama Menteng 31, saya aktif melakukan studi-studi politik, pada saat itu mentor-mentor politiek, adalah orang-orang pergerakan senior seperti: Sukarno, Hatta, Sjahrir,AK Gani dll, tapi yang paling aktif mendidik adalah Hatta, sedangkan Sjahrir lebih asyik bermain di gerakan bawah tanah bersama kelompoknya, kabarnya salah satu loyalis Sjahrir, Djohan Sjahruzah membuka tjabang pendidikan kadernja di jogjakarta, di sebuah daerah bernama Pathuk, kelak kelompok Pathuk ini juga banyak berperanan dalam gerakan kiri Indonesia. Hatta sangat rajin memberikan ilmunya kepada kami.

Ia adalah sardjana, seorang doctorandus economiee, lulusan Belanda, sedjak muda Hatta bersemangat memperdjuangkan kemerdekaan Indonesia, di Belanda ia mendjadi bendahara PI (Perhimpoenan Indonesia), pemikiran Hatta sangat dipengaruhi gaya pikir pemikir-pemikir sosialisme, tapi djelas terlihat Hatta sangat tidak menjukai Kominisme, walaupun bagi saya Hatta adalah pemikir Marxist Indonesia yang paling jago.

Pada suatu pagi yang indah di akhir tahun 1943, saya sedang duduk-duduk di bangku depan asrama, hanya saya seorang tiba-tiba datang Hatta, entah kenapa ia datang jam 6.00 pagi, saya karena shalat subuh selalu bangun lebih awal dibanding kawan-kawan yang senangnya begadang, Hatta menegur saya dan ia langsung duduk, saya ditanya dimana kawan yang lain, dan saya bilang belum pada bangun.

Disinilah hubungan saya dan Hatta mulai dekat. “asal kamu dari mana, Mat?”tanya Hatta, Hatta memanggil saya dengan sapaan Amat, sampai tahun 1960-an saat terakhir saya ketemu dia, dia tetap memanggil saya dengan nama Ahmad “Bangka Belitung, Pak”djawab saya, saya sedjak awal menjapa Hatta itu Pak, djuga pada Bung Karno malah di tahun 1960-an saya menjapa BK itu Paduka, tidak seperti Hanafiah atau Wikana yang menjapa Hatta atau Sukarno itu dengan sapaan Bung.

“Oooh…Bangka yah, timah itu”sahut Hatta, aku membalasnya “iya, Pak” tak lama kemudian keluarlah A.M Hanafiah, rupanya ia belum mandi dan agak kaget melihat Hatta sudah duduk di beranda asrama kami, ia langsung masuk lagi dan mandi, lalu bergegas keluar menemui kami berdua yang sedang asyik ngobrol, disitulah Hatta menguraikan pandangannya tentang ekonomi kalau tidak salah sampai jam makan siang, Hatta pamit pulang. Sedjak kedjadian itu saya sering menemui Hatta, bagi saya Hatta adalah guru utama saya, walaupun kelak kami berseberangan pandangan.

Di Asrama Menteng 31 inilah, saya berganti nama depan bukan Ahmad atau Amat lagi, tapi Dipa Nusantara artinya Banteng-nya Nusantara, alasannya sederhana sadja kawan-kawan meminta saya mengganti nama soalnya banyak sekali kawan yang bernama Ahmad daripada bingung mereka suruh saya ganti nama, setelah menulis surat kepada ayah untuk minta idjin saya mengganti nama, dan ayah mengidjinkan maka nama lengkap saya yang baru adalah Dipa Nusantara Aidit jang disingkat DN Aidit.

Hobby Membatja

Di Djakarta ini juga saya gandrung dengan pemikiran Sukarno, tiap-tiap pemikirannya saya baca di Koran-koran lokal. Namun pengaruh terbesar saya ada pada Musso dan Alimin tokoh tua PKI yang lari akibat pemberontakannya yang gagal tahun 1926.Saya banyak membaca tentang filsafat Eropa, perkenalan saya dengan filsafat Eropa adalah dari seseorang yang saya inget bernama Samingan, dia orang Solo yang lama tinggal di Semarang dan kemudian merantau ke Djakarta, ia tinggal di daerah Kramat Lontar, pekerdjaanja adalah berdagang buku bekas di Senen. Ia memberikan saya lima buku dalam bahasa Belanda dan Jerman kalau tiada salah buku keluaran antara tahun 1900-1915.

Ia memberikan saya buku sebagai hadiah, walaupun Samingan orang yang tidak suka membaca tapi ia sangat menyenangi orang yang gemar membaca dan ia melihat pada diriku. Disitulah saya banyak bergelut dengan positivisme Inggris, tradisi ilmiah Perancis, Historisitas Djerman dan Pragmatisme Amerika Serikat ala John Dewey, kupasan filsafat saya semakin saya asah.

Kemudian Samingan mendjadi penyuplai tetap buku-buku bagi saya, djika ada buku bagus, buku itu di simpan dulu olehnja agar saya batja, saya banjak berhutang budi pada Samingan, terakhir perdjumpaan kami di tahun 1961, saya kebetulan datang ke Solo karena ada keperluan Partai sekalian ke rumah keluarga isteri saya, Samingan tinggal di daerah Kepatihan, rupanya ia aktif mendjadi anggota Muhammadijah, waktu itu akibat provokasi Masjumi, hubungan antara PKI dan Muhammadijah agak renggang, apalagi memang sedjarahnya PKI dan Muhammadijah tidak pernah akur,tapi Samingan menyambutku dengan penuh bangganya, di kenalkannya saya dengan tokoh-tokoh Muhammadijah setempat, kawan-kawan Muhammadijah-nya tentu kaget melihat DN Aidit, ketua PKI, gembongnya-gembong PKI.

Tapi memang orang Solo itu terkenal tidak mau menunjukkan perasaan, mereka menyapaku dengan ramah. Kabarnya akibat Samingan membawaku ke kawan-kawannya, ia dicurigai PKI susupan, dan di tahun 1965 ia sempat ditjiduk tapi berkat lindungan tokoh Muhammadijah Samingan berhasil dibebaskan dari cengkeraman tentara kanan.

Pergulatan mendjelang Proklamasi
BUNG SYAHRIR: BUNG KARNO: BUNG HATTA.

Di Djakarta saya banyak bertemu dengan pemikir-pemikir muda dari beberapa kelompok seperti Soedjatmoko, Sjahruzah, Soedarpo, Adam Malik, Wikana, Suroto, Jusuf Kunto, Soebadio Sastrosatomo, Lukman,AM Hanafiah, Chaerul Saleh dan beberapa tokoh muda dari PETA. Kebetulan saya tinggal di Asrama menteng 31 dimana tempat mangkalnya kelompok-kelompok perlawanan kaum muda. Dari kelompok Sjahrir saya mendengar bahwa Jepang sudah mengalami kekalahan, Sjahrir mendengar beritanya dari radio gelap di gerakan bawah tanah. Kelompok radikal-sosialis pengikut Tan Malaka seperti Sukarni, Chaerul Saleh dan Adam Malik sangat antusias mendengar berita kekalahan Djepang, ada ide dari Chaerul untuk segera memerdekakan Indonesia sebelum Djepang datang, kemudian Sukarni yang kebetulan tinggalnya berdekatan denganku mengajak saya ke tempatnya si Chaerul, di tempat Chaerul ada sekitar 10 orang yang sedang berkumpul diantaranya saya lihat ada Adam Malik dan Buntaran, Chaerul yang Tan Malakais ini berapi-api ingin cepat-cepat melakukakan sebuah revolusi.

Saya tanya sama Chaerul “Rul kalau kamu mau bikin aksi-aksian lalu apa yang melegitimasi gerakan kamu?” Chaerul diam kemudian Sukarni membalas pertanyaan saya “Dit, gimana kalo kita jadikan Sukarno sebagai simbol gerakan kita?” saya terdiam lalu si kecil Adam Malik melompat dari tempat duduknya dan berseru “Setuju” pertemuan pun bubar besoknya tanggal 9 Agustus 1945, Chudancho Singgih dari PETA datang ke tempat kami, ia bersama Chudancho Ali dan Chudancho Latief Hendraningrat, di tempat kami Singgih bercerita bahwa PETA dari seluruh Djawa siap menyambut gerakan kami, apabila kami memerintahkan menyerbu tangsi-tangsi militer Djepang detik itu juga akan mereka serbu, disinilah saya sudah lihat bibit ketaatan militer terhadap sipil.

Kawan saya Jusuf Kunto mencegah pernyataan Singgih ia ingin ada sebuah gerakan sistematis dan menyimbolkan gerakan kemerdekaan negara yang rapi bukan sekedar perang. Tak lama kemudian Sukarni datang ke tempat kami berikut petikan dialog antara kami dan kelompok PETA yang masih saya ingat.

Singgih :

“Seluruh pusat-pusat pelatihan PETA sudah kami adakan semacam
koordinasi rahasia apabila Jepang mengalami kekalahan di perang Pasifik,
Indonesia jangan sampai mengalami kekosongan kekuasaan.Kita siap perang…!!!

Jusuf Kunto :

Sabar…sabar nggih, kamu siap perang lha rakyat apa sudah terkondisikan
akan peperangan yang mungkin saja kejam, nggih….begini Nggih saya ingat pesan
dari Tan Malaka agar jangan dulu mengadakan peperangan sebelum ada kepastian
akan kekuatan kita, dan saya dengar dari Bung Karno, tanpa perangpun kita bisa
menang.

Saya :

Saya setuju dengan Singgih tapi juga tidak menolak pendapat Jusuf Kunto
ada baiknya kita konsultasikan dengan kawan-kawan yang lainnya.

Tak lama kemudian Sukarni datang.

Sukarni :

Tadi Ahmad Subardjo datang menemui saya dia bilang Sukarno tidak setuju
kalau kemerdekaan tanpa persetujuan orang-orang dari PPKI dan ex-BPUPKI.

Wikana :
Kita culik saja Sukarno dan Hatta, biar mereka mau ikut gerakan kita.

Saya :
Lho kok Hatta ikut-ikutan diculik

Wikana :
Ya jangan Sukarno saja yang memimpin musti ada pendamping yang orang
luar Jawa jadi Hatta cocoklah buat dampingin Sukarno.

Adam Malik :
Oke, saya setuju

Sukarni :
Gerakan menculik Sukarno – Hatta langsung di bawah komando saya, kalo kelompok sosialis Sjahrir mencegah mereka harus kita tahan juga, tapi saya rasa sampai saat ini orang-orang Sjahrir tidak setuju dengan kemerdekaan yang cepet, saya denger dia tidak mau memerdekakan Indonesia sebelum ada kesepakatan internasional antara pemenang perang ya…sekutu dengan Belanda secara de jure masih bertjokol di Indonesia.

Saya :
Saya pikir kelompok simpatisan Kominis yang di luar negeri akan mendukung gerakan ini, tapi jangan dilupakan gerakan militer akan memancing sikap anti fasis orang-orang Sjahrir, ini harus diwaspadai, sekarang kita mulai gerak!!!!

Beberapa hari setelah pertemuan di tempat kami, Wikana mengundang seluruh elemen gerakan bawah tanah untuk rapat di laboratorium Bakteriologi, di jalan Pegangsaan deket rumah Bung Karno. Pada saat itu di tengah hingar bingarnya teriakan untuk segera memerdekakan diri, rapat memutuskan untuk mengutus Saya, Jusuf Kunto, Subadio Sastrosatomo dan Suroto untuk menemui Sukarno. Di rumah Bung Karno yang kebetulan ada Hatta, kami mendesak agar mereka berdua mengumumkan kemerdekaan, namun Sukarno menolak bila tidak ada jaminan dari pihak Djepang untuk keamanan. Kami dengan nada marah mengancam Bung Karno jika tidak akan mengumumkan kemerdekaan maka kami akan bertindak tegas terhadap Bung Karno, saya inget Sukarno dengan nada marah menanggapi ancaman kami “Ini leher saya, goroklah leher saya dan seretlah ke pojok itu, jangan menunggu besok”

Bung Karno sangat marah dengan nada sabar Bung Hatta menengahi “kami tidak bisa dipaksa, sudahlah jangan terburu-buru kita lihat keadaannya”, lalu Bung Hatta menantang kami bila kami sanggup, bikin sadja proklamasi sendiri tanpa melibatkan mereka, tentu saja kami tidak akan mampu melaksanakan manapula percaya dan kenal pada kami, selain pada Sukarno dan Hatta….?

Tanggal 16 Agustus 1945, Sukarni, Singgih, Jusuf Kunto dan Moewardi nekat mentjulik Bung Karno, Bung Hatta, Fatmawati dan bayinya Guntur untuk diamankan ke Rengasdengklok, di Rengasdengklok Para pemimpin itu di suruh tinggal di rumah Djiauw Kie Song di bawah pengawasan PETA pimpinan dr.Soetjipto. Mendengar Sukarno diculik marahlah Ahmad Subardjo ia memarahi Wikana dan Chaerul Saleh yang kebetulan di Djakarta,namun yang terpenting tak lama kemudian Laksamana Maeda mengeluarkan statement dan pesan kepada penculik Sukarno dan Hatta, agar mereka membebaskan Sukarno, Maeda menyatakan pihak Djepang tidak akan mengganggu jalannya Proklamasi dan membiarkannya, proses upacara itu.

Malamnya Sukarno, Hatta,Fatmawati dan Guntur pulang ke Djakarta, di rumah Laksamana Maeda konsep proklamasi disusun Sayuti Melik suami Sk.Trimurti yang mengetik draft proklamasi. Paginya proklamasi dibacakan, air mata saya sampai saat ini masih berlinang bila mengingat kejadian itu.

Sumber:http://www.apakabar.ws/content/view/2943/88888889/
Blog Dr: Superkoran

Sedjarah Diriku II


Revolusi Bersendjata 1945-1949

(Dari Tan Malaka sampai FDR Madiun)

Setelah 17 Agustus 1945, dan penyusunan UUD berhasil diselesaikan, suhu politik semakin panas, saya lihat Sukarno semakin tersudut ke dalam ketidak berdayaan politik, Hatta dan Sjahrir makin pegang peranan berkat pengalaman politik mereka di Luar Negeri, tampaknya Belanda dan pihak USA lebih menyenangi melakukan negosiasi politik dengan Hatta dan Sjahrir yang dinilai moderat, tidak radikal, dan tidak terlalu kental warna Djepangnya apalagi Sjahrir yang bagi sebagian orang Belanda dianggap Pahlawan karena berani melawan Djepang pada saat djaman pendudukan Nippon.

Sjahrir membangun kubu sosialis demokratnja perlahan-lahan sedemikian kuatnya, jaringan di luar negeri hebat betul, sampai-sampai sang legenda tua macam Agus Salim-pun tunduk di bawah Sjahrir, kelompok Sjahrir terdiri orang-orang yang pandai dan berpendidikan luar negeri, ada pula seorang muda yang saya perhatikan bernama Soemitro Djojohadikoesoemo, dia anaknya Margono Djojohadikoesoemo, saya nilai Soemitro adalah pemuda yang sedemikian pandainya, ia lebih senior dari saya. Kelak Mitro ini terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta di tahun 1950-an akhir.

Saya inget setelah Proklamasi 1945, pengikut Sjahrir selama dua minggu menolak pernyataan Sukarno-Hatta terhadap Proklamasi 1945, ia menilai tidak selayaknya Indonesia dipimpin oleh orang yang pernah bekerjasama dengan pemerintahan fasis Djepang,
Sjahrir dan beberapa tokoh pemuda melakukan perjalanan panjang ke seluruh pulau Djawa, ia ingin melihat pendapat rakyat terhadap Proklamasi 1945, ternyata rakyat mendukung penuh Proklamasi Sukarno-Hatta, dan setelah balik ke Djakarta otak Sjahrir berubah, ia berbalik mendukung Sukarno.

Dan sejak 1945 sampai revolusi bersenjata selesai tahun 1949 akhir, Sjahrir adalah orang paling loyal terhadap kepemimpinan Sukarno, tidak demikiannya dengan Tan Malaka, kabarnya Tan Malaka sempat mendatangi Sjahrir dan meminta Sjahrir bergabung ke dalam gerakan Tan Malaka untuk menggulingkan Sukarno-Hatta dan mendirikan sebuah negara sosialis berhaluan kiri-moderat, Sjahrir menolak tawaran Tan Malaka malah ia menganjurkan bila Tan Malaka ingin menyaingi kepopuleran Sukarno Tan Malaka harus banyak melihat kenyataan Objektif bangsa Indonesia dan jiwa bangsa Indonesia, “saat ini” Kata Sjahrir “Rakyat mencintai Bung Karno dengan sepenuh jiwanya”

Tan Malaka tidak menuruti saja kata Sjahrir, ada sebuah kejadian yang menguatkan Tan Malaka mendapat angin yaitu ada semacam isu bahwa Sukarno-Hatta membuat surat wasiat, bahwa bila dalam perjuangan revolusi dua orang ini gugur maka yang menggantikannya adalah : Tan Malaka (Kelompok Sosialis Radikal-Kiri), Sjahrir (Kelompok Sosial-Demokrat), Iwa Koesoemasoemantri (Kelompok Islam), Wongsonegoro (Birokrat dan elite ningrat Djawa), nah Sukarno ini menulis surat wasiat tersebut dan memerintahkan kepada Ahmad Subardjo untuk membagikannya kepada orang yang bersangkutan, kebetulan Ahmad Subardjo tidak membagikan surat itu kepada tiga orang dan hanya Tan Malaka yang menerimanya, kontan sadja ini membuat kelompok Tan Malaka diatas angin ia berkeliling kemana-mana untuk menyebarkan surat wasiat itu ,

hal ini biar seakan-akan rakyat tahu bahwa pengganti sah Sukarno dan Hatta bila terjadi sesuatu adalah Tan Malaka, tentu saja kelompok loyalis Sukarno curiga terhadap perbuatan Tan Malaka, mereka mengira sayap militer Tan Malaka akan membunuh Sukarno dan Hatta, atas pertimbangan itulah Sukarno pindah ke Jogjakarta, jadi selama ini sedjarah melihat bahwa kepindahan Sukarno dan Hatta Ke Jogja sekaligus mendjadikan Jogja sebagai ibukota adalah karena menghindari penangkapan oleh tentara NICA, tetapi saya melihatnya ini agar Sukarno dan Hatta menghindar bahaya dari serangan kelompok Tan Malaka yang memang sudah sangat kuat di Djakarta, Jogja menurut Sukarno merupakan basis pendukungnya, memang pendukung inti Sukarno adalah Djawa yang memiliki basis budaya Mataraman (mulai dari Cirebon sampai Surabaya).

Sumber:
http://www.apakabar.ws/content/view/2944/88888889/

Sedjarah diriku III


SEDJARAH HIDUPKU (DARI BELITUNG SAMPAI BERKELANA TAK HINGGA) DISUSUN OLEH: DIPA NUSANTARA AIDIT
Penculikan dan pembunuhan itu memancing tentara kelompok Jawa Tengah mengambil tindakan dengan membalas ke orang-orang Siliwangi, penyerbuan-penyerbuan ke markas-markas tentara Siliwangi tidak dapat di hindari, kontak senjata sering terjadi di jalan-jalan Kota Solo. Pada saat itu saya berada di Solo, lupalah urusan apa, tapi yang jelas saya bersama Pak AK Gani dan Letnan Kolonel Suharto (kelak orang ini berpangkat mayor Djenderal, ia pelaku utama penghantjuran PKI tahun 1965-1966) dari Jogjakarta.

Mas Harto yang asli Jogja sangat mengerti seluk beluk kota Solo, membawa saya ke temannya yang saya lupa namanya, markasnya ada di dekat Pasar Gede Solo, disana Mas Harto, saya, Pak Gani, dan teman Mas Harto mendengarkan laporan dari orang bernama Letnan Sudarjono, ia mengatakan Kota Solo hampir sepenuhnya dikuasai oleh orang-orang Siliwangi. Tak lama kemudian Suharto kembali ke Jogjakarta dan saya pun kembali ke Djakarta.

Saya ingat pula sebelum ke Solo saya menghadiri konferensi Partai Komunis Indonesia yang mengeluarkan sebuah resolusi bernama “Djalan Baru” resolusi ini menghendaki diselesaikannya dengan cepat demokrasi borjuis, kaum Kominis sadar bahwa tiadalah mampu kominis menyelesaikan revolusi sendirian tanpa bantuan dari pihak-pihak yah….katakanlah Borjuis kanan. Disitu saya diminta oleh kelompok kiri sayap PKI untuk menjadi ketua seksi Buruh walaupun sedari awal saya menolak jabatan itu, tapi saya pikir bolehlah.

Tiba-tiba peristiwa Madiun meletus, saat itu saya ada di Djakarta (tidak benar dikatakan saya berada di Madiun seperti cerita banyak orang), berita gegernya Madiun saya dengar dari Mas Djamin Amiseno dan Pak Djajeng, pak Djajeng yang ex-Digulis mengatakan pada saya kalau Musso sudah bertindak sembrono dan ngawur, Musso menyerang kebijakan dan cara-cara penyelesaian militer kabinet Hatta, tapi yang diserang malah Bung Karno, Musso bahkan berteriak-teriak kalau Sukarno itu antek Djepang.

“lha piye tho mas dit, lha Musso kok ditandingkan dengan Bung Karno, lha kalau di adu ya, djelas kalah, Bung Karno itu punden-nya wong Jawa, lha Musso kok ujug-ujug dari Moskow tarung sama Bung Karno, wis tho ini bakal merugikan PKI” kata Pak Djajeng, saya masih ingat Pak Djajeng mengucapkan itu dengan geram. Kalau tiada salah pagi entah 25 apa 26 September saya didatangi oleh Harjono Maskoem, tokoh pemuda dari FDR tjabang Banten dia bilang FDR Banten menolak gerakan Musso, kontan saya marahi dia, bagi saya kalah atau menang bila kita satu ideology dan cita-cita djangan sekali-kali kita tinggalkan kawan sendirian bertarung.

Sebentar sadja sayap FDR militer menguasai Madiun, lalu mereka dikalahkan oleh pasukan Siliwangi dan pasukan Djawa Tengah yang setia pada Bung Karno, seingat saya FDR sempat menguasai total Madiun, kalau tiada salah Walikota Madiun sedang sakit yang ada wakil walikotanya, gerakan Madiun jelas tidak mendapatkan dukungan rakyat, apalagi Bung Karno berpidato yang isinya memihak kepada kebijakan kabinet Hatta, mengecam Musso dan menuduh gerakan Musso/ FDR merupakan sinyalemen akan dibentuknya negara Sovyet di Indonesia.

Pasukan Siliwangi yang ditugaskan menyerang FDR dengan mudah menaklukkan pasukan yang kurang berpengalaman itu, perlawanan terakhir ada di daerah Maospati, sekitar 1500 tentara FDR bertempur dengan ribuan pasukan Siliwangi, tapi FDR kalah telak. Kekalahan FDR disusul oleh penangkapan gembong-gembong FDR.

Hatta mengambil kebijakan untuk menahan semua pasukan yang terlibat tanpa adanya toleransi pengampunan politik.Banyak tentara-tentara yang memihak FDR di penjara oleh pihak TNI. Penjara militer penuh sesak, bahkan ada kebijakan dari TNI beberapa penjara diledakkan sehingga orang-orang FDR tewas.

Kebijakan ini diambil katanya untuk menghindari pembalasan dendam orang FDR jika Belanda melakukan agresi, maka dipekirakan Belanda akan membebaskan orang-orang FDR, dan TNI tentu akan bertarung lagi dengan orang-orang FDR. Sukarno sendiri sudah memberi pengampunan politik bagi kelompok pemberontak FDR namun tampaknya Hatta enggan untuk membebaskan orang-orang FDR. Gubernur Milter Kolonel Gatot Subroto, orang yang ditunjuk Sukarno mendjadi orang yang bertanggung djawab terhadap keamanan Djawa dengan senang hati mendjalankan keinginan Hatta itu.

Nasib Pak Musso

Pak Musso, tokoh PKI pedjuang pergerakan di tahun 20-an jang bernasib buruk itu, kabur dari markasnja setelah pasukan Siliwangi pimpinan Letnan Kolonel Sadikin masuk kota Madiun, Pak Musso kabur ditemani Mas Djumino dan Agil Atjo, mereka lari ke arah kota Ponorogo, disitu ia bertemu dengan Remang, seorang warok yang paling ditakuti di kota Ponorogo, Remang yang mendukung gerakan FDR menolak memberikan bantuan kepada Pak Musso karena keluarganya sendiri akan terancam oleh pihak TNI yang memang sudah mengawasinya,

akhirnya Remang menyarankan untuk bertemu dengan Hasjim Geplak seorang kusir delman di Ponorogo, Hasjim ini walaupun rakjat ketjil namun sangat berani, ia memberikan tempat kepada tiga orang pelarian dari Madiun tempat tinggal di belakang rumahnya dan memberikan sebuah delman tua, akhirnja Pak
Musso menjamar sebagai kusir delman, sementara Mas Djumino dan Agil Atjo diperintahkan Musso menudju Djakarta untuk menemui saya dan Lukman. Tapi sayang di daerah Tegal Mas Djumino dan Agil Atjo tertangkap oleh pasukan Siliwangi, tjelakanja si Agil Atjo membawa-bawa bendera PKI dan beberapa dokumen FDR, Agil Atjo ditembak mati dan kabar Mas Djumino sampai sekarang masih sangat gelap.

Pak Musso jang masih tinggal di Ponorogo dan menjamar djadi kusir Delman mangkal di pasar Ponorogo, tapi pada suatu saat ada seorang anggota GRR (Gerakan Ravolusi Rakjat) bernama Amin, jang mengenali wajah Pak Musso, diam-diam Amin menjelidiki keberadaan Pak Musso setelah djelas rutinitas Pak Musso, Amin akhirnja melapor ke Letnan Dul Masduki, tapi untung Letnan Dul Masduki ada di pihak Pak Musso, Letnan Dul Masduki rupanja simpatisan FDR, laporan Amin didiamkan sadja.

Beberapa hari kemudian datanglah pasukan Kapten Jusuf Idham dari Siliwangi ke Madiun tujuannya adalah menangkapi para warok jang terlibat peristiwa Madiun. Si Amin ini kemudian bertjerita bahwa ia melihat orang jang persis sekali dengan wadjah Pak Musso, akhirnja laporan ini di tindak landjuti oleh Kapten Jusuf, tak lama kemudian pada tanggal 30 Oktober 1948 Pak Musso ditangkap dan ditembak mati.


Penangkapan besar-besaran kelompok FDR

Kabar Belanda akan melantjarkan agresinja ternyata benar-benar terdjadi, di tengah situasi darurat kabinet Hatta bersidang membahas kemungkinan yang terdjadi bila Belanda menyerang Indonesia, salah satu pembahasan yang paling utama adalah menyangkut berita bekas pasukan FDR baik yang lolos ataupun yang ditawan akan melakukan tindakan balas dendam, informasi ini di dapat dari Kolonel Gatot Subroto yang disampaikan kepada Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX,

unsur Masjumi dalam kabinet Hatta mendesak agar semua tawanan yang berpotensi memimpin
perlawanan terhadap pemerintahan yang sah tidak usah dibebaskan bahkan di tembak mati sadja, tapi unsur PNI menolak termasuk Sri Sultan Hamengkubuwono IX, bahkan Sultan berkeyakinan FDR merupakan kader potensial yang masih dapat dibina, akhirnya Hatta mengambil keputusan untuk melakukan voting terhadap nasib tawanan FDR. Voting di hadiri 12 Menteri, 4 Menteri menyetujui tawanan FDR di tembak mati, 4 Menteri menolak tawanan FDR di tembak mati dan setuju untuk di bebaskan dan 4 lainnya lagi dalam posisi abstain. Mendengar adanya jalan buntu terhadap nasib
tawanan FDR, Sukarno mem-veto kebijakan kabinet Hatta, ia menolak usul di tembak matinya tawanan FDR, tapi tetap di tawan dulu.

Geram atas Sukarno yang lembek terhadap FDR, diam-diam Kolonel Gatot Subroto mengambil tindakan sepihak untuk menembak mati tokoh-tokoh penting FDR, saya tidak tahu apakah Hatta terlibat dalam hal ini. Yang jelas Kolonel Gatot Subroto membawa tawanan ke desa Ngaliyan, Kelurahan Lalung, Kabupaten Karanganyar, Karesidenan Surakarta. Disana Kolonel berbadan tambun, berjenggot dan berkumis tebal itu memerintahkan penduduk desa membuat lubang besar, dan akan digunakan sebagai liang lahat para tawanan FDR.

Tokoh-tokoh FDR yang dibawa adalah: Amir Sjarifoeddin (mantan Perdana Menteri/Ketua Partai Sosialis), Maroeto Daroesman(ex-Digulis/Mantan ketua pemuda PKI tahun 1924), Soeripno (anggota PKI), Oei Gee Hwat (mantan redaktur Harian Sin Tit Po/guru Sekolah PTI), Sardjono, Sukarno, Djoko Sujono, Katamhadi, Ronomarsono dan D. Mangku. Amir Sjarifoeddien terus mendekap injil,dan sebelum di tembak mati ia sempat berpidato kemudian regu tembak meng-eksekusinya, sedangkan semua tawanan lain langsung ditembak mati, mereka di kuburkan dalam satu liang lahat.Berita yang saya terima selain di tembak matinya pimpinan-pimpinan FDR, ada sekitar 8.000 orang tewas akibat penangkapan dan penyiksaan, 14.000 lainnya sempat di tawan, saya pikir peristiwa FDR sungguh merugikan gerakan PKI ke depan.


Sikap saya terhadap Peristiwa Madiun[1]

Peristiwa Madiun bagi saja merupakan ketjelakaan politik PKI jang akibatnja sangat luar biasa. Berikut pokok pemikiran saya terhadap peristiwa Madiun berikut pendjelasan saya setjara detil, yang saya rangkum dari dokumentasi milik Agitrop PKI djuga pidato saya di bulan februari 1958 (pada lampiran kedua):

Lampiran Satu

Pada tanggal 27 Juni 1947 Kabinet Sjahrir jatuh. Sebagal ganti kabinet Sjahrir, pada tanggal 3 Juli 1947 terbentuk kabinet Amir Sjarifudin yang terdiri dari 11 orang Sayap Kiri, 7 orang dari PNI dan 8 orang dan PSII. Masyumi yang semula ikut duduk dalama kabinet Sjahrir, dalam kabinet Amir ini Masyumi menolak untuk ikut duduk. Tetapi PSII sebagai anggota Masyumi telah mengambil keputusan sendiri untuk ikut duduk dalam kabinet bersama dengan PM dan Sayap Kiri. Juga tak seorangpun dari grup Sjahrir dalam Partai Sosialis yang ikut duduk dalam kabinet

Kabinet Amir melanjutkan perundingan dengan Belanda, yang telah dirintis oleh kabinet Syahrir, dengan tetap mempertahankan kehadiran negara RI, tetap mempertahanakan pengakuan berbagal negara terhadap RI dan tetap menolak gendarmeri bersama RI-Belanda. Hal-hal ini yang menjadikan perundingan antara RI-Belanda tidak lancar dan hambatan utamanya yalah masalah gendameri bersama.

Tanggal 15 Juli van Mook mengultimatum supaya RI me narik mundur pasukannya sejauh 10 km. dari garis demarkasi. RI menolak ultimatum Belanda ini. Tanggal 21 Juli 1947 dilancarkan agresi militer terhadap Republik dengan maksud samasekali menghancurkan Republik. Atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947 Belanda mengakhiri agresinya.

Belanda berhasil merebut daerah ekonomi yang sangat pen ting dari Republik, seperti: minyak, perkebunan, tambang, kota pelabuhan. Tak kebetulan bahwa agresi Belanda ini menggunakan kode "Operatie Product".

Setelah gencatan senjata dipulihkan kembali perundingan RI- Belanda di bawah pengawasan Komisi Tiga Negara yang terdiri dan Australia, Belgia dan Amerika. Dari fihak Republik, PM Amir bertindak sebagai ketua delegasi. Sementara itu van Mook, pada tanggal 29 Agustus 1947, secara sefihak telah menggeser garis demarkasi yang sangat menguntungkan fihak Belanda dari segi perluasan daerah. Beberapa bulan kemudian (11 November 1947) akhirya Masyumi mau masuk kabinet dengan mendapat
empat buah kursi.

Dari perundingan RI-Belanda, di atas kapal Amerika yang bernama Renville, pada tanggal 17 Januari 1948 telah ditandatangani Persetujuan Renville. Dalam Persetujuan Renville tercantum antara lain fasal yang menyatakan, bahwa RI harus menarik semua pasukan yang berasa di kantong-kantong yang terdapat di belakang garis demarkasi hasll ‘ciptaan’ van Mook dan harus dimasukkan ke daaerah Republik.

PNI dan Masyumi yang semula ikut mendukung perundingan Renville dan ikut berunding sebagai anggota delegasi, menjelang penandatanganan perun- dingan menyatakan menarik diri dari delegasi dan kabinet, dan setelah penandatanganan PNI menarik dukungan terhadap persetujuan Renville. Dengan demikian kabinet Amir kehilangan dukungan dua partai besar dan pada tanggal 23
Januari 1948 kabinet Amir mengundurkan diri. Mengenai tindakan Masyumi dan PNI terhadap penandatanganan Renville Sumarsono berpendapat, bahwa oposisi yang dilakukan kedua partai itu adalah hanya suatu cara untuk mengeluarkan Sayap Kiri dan pemerintahan.

Pada tanggal 29 Januari 1948 Hatta naik panggung kekuasaan dimana ikut duduk PNI dan Masyumi, dengan Hatta sebagai PM merangkap menteri pertahanan dan Sukiman sebagai menteri dalam negeri. Program kabinet Hatta antara lain yalah: berunding dengan Belanda atas dasar persetujuan Renville dan rasionalisasi.

Sampai saat diadakannya reorganisasi dan rasionalisasi (re-ra) oleh PM Hatta, di antara laskar-laskar perjuangan yang ada, maka Pesindo merupakan laskar bersenjata yang terkuat Jumlah pasukannya terbesar, disiplinnya yang paling baik dan persenjataannya terlengkap. Kesatuannya tersebar di setiap kabupaten JaTim dan JaTeng, beberapa kabupaten di JaBar dan malahan sampai ke SumUt. Kekuatan laskar bersenjata Pesindo, kalau tidak dapat dikatakan melebihi, maka paling sedikit sama dengan TRI, tentara Pemerintah.

Pada tanggal 3 Juli 1946, Tan malaka beserta orang-orangnya melakukan kup terhadap pemerintahan Sjalrrir. Kup ini dilancar kan oleh Divisi III/Sudarsono, yang berteritorium Yogyakarta. Letnan Kolonel Suharto, komandan resimen Yogyakarta (Wehrkreise X), diperintahkan oleh Presiden Sukarno, gagal. Malah Sjahrir diculik oleh golongan kup. Karena Suharto gagal dalam menangkap Tan Malaka, maka bergeraklah pasukan dari kesatuan- kesatuan Pesindo JaTim dan berhasil membebaskan Sjahrir. Dengan berhasilnya kesataan Pesindo menggagalkan kup Tan Malaka ini maka prestise Pesindo menjadi sangat tinggi di kalangan laskar bersenjata.

Dari kesatuan-kesatuan Pesindo yang ada maka kesatuan ‘Divisi Surabaya’ (JaTim) adalah yang terkuat. Perbandingan antara bedil dan orang adalah satu banding empat (di dalam divisi Nasution/JaBar, pada waktu itu, hanya terdapat seratus pucuk senjata). Dengan demikian kekuatan tempur riel (artinya; satu orang dengan satil bedil) adalah kurang lebih satu resimen (=3 batal yon = 3×800 orang) denagan Overste (letKoI) Sidik Arselan sebagai komandan. Setelah re-ra, kesatuan mi menjadi Be (Brigade) 29 dengan Overste Moliammad (Aldimad) Dablan sebagai komandan, yang belakangan menjadi tulangpunggung dalam Perlawanan Madiun.

Untuk menentukan garis barunya, Sayap Kiri pada tanggal 26 Februari 1948 mengadakan
kongres di Solo. Kongres memu tuskan untuk membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR). Setelah kongres cabang-cabang FDR segera terbentuk di kota-kota kabupaten seluruh daerah Republik, terutama di JaTim dan Jateng. FDR beranggotakan, pada pokoknya, sama dengan keanggotaan Sayap Kiri.

Setelah terbentuknya FDR ini, dalam pidato-pidato pimpinan FDR (Amir, Maruto Darusman, Setiadjid dan yang lain-lain) di berbagai tempat, sasaran serangan hanya ditujukan kepada Masyumi, terutama terhadap Sukirnan sebagai menteri dalam negeri. Sedangkan masalah yang diangkat adalah soal berbagai macam pajak. FDR mengandalkan kekuatannya pertama, pada kaum buruh yang tergabung dalam SOBSI dan ini memang cukup besar jumlahnya dan kedua, pada kekuatan bersenjata yang
dimilikinya.

Kekuatan bersenjata yang diandalkan ini terutama laskar bersenjata Pesindo dan di samping itu FDR masih dapat memperhitungkan simpati-simpati sejumlah besar perwira yang mempunyai kedudukan kunci di dalam TNI (tentara resmi Pemerintah) dan TNI-Masyarakat terhadap FDR.

Dengan terbentuknya Sekretariat yang baru dari FDR maka tenaga Sekretariat kebanyakan diisi oleh tenaga muda, antara lain seperti Sudisman, Aidit, Njoto dan Lukman yang belakangan dipindah ke majalah Bintang Merah. Sebagai ilustrasi, dapat dikatakan di sini, bahwa kesatuan empat serangkai Aidit-Lukman- Njoto-Sudisman telah terbentuk sejak masa Sekretariat FDR ini. Belakangan, mereka berempat
beserta sejumlah orang muda yang lain menyebut dirinya "kekuatan baru" atau "generasi baru".

Sejak Republik baru berdiri grup Tan Malaka selalu bertindak sebagai fihak oposisi terhadap Pemerintah, di samping sebagai grup anti-Komunis. Dalam menghadapi kabinet Hatta, grup Tan Malaka bersikap mendukung pemerintah Hatta dan bergabung dalam Gerakan Revolusi Rakyat (GRR) yang didirikan pada tanggal 6 Juni 1948. Karena grup Tan Malaka mendukung kabinet Hatta, maka sebagal ‘hadiah’ semua tahanan kup 3 Juli, yang semuanya adalah pendukung Tan Malaka, termasuk Tan Malaka sendiri, dibebaskan oleh Hatta dengan alasan pengadilan tiada bukti.

Banyak anggota FDR yang merasa kecewa terhadap persetu juan Renville, penarikan TNI dari kantong-kantong dan di atas semuanya adalah pengunduran diri Kabinet Amir, yang dipandan merupakan Iangkah yang salah. Tetapi karena, di muka mata angggota maupun pimpinan FDR, otoritas Amir Sjanfudin sangat tinggi maka semua kesalahan bukan ditimpakan kepada Amir. Kesalahan ditimpakan kepada ‘policy maker’, yaitu lingkaran dalam Amir dari Dewan-Partai Partai Sosialis yang sebagian anggotanya berasal dari Politbiro CCPKI-ilegal yang dipimpin oleh Tan Ling Djie.

Dalam situasi Sayap Kiri, dan selanjutnya FDR, sedang diselimuti oleh pertentangan intern yang menyangkut masalah pokok revoIusi yang belum dapat terselesaikan dan sebagian anggota maupun pimpinan FDR terkena kekecewaan, maka pada tanggal 11 Agustus datanglah Muso.

Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok berhasil terus meng giring pasukan Chiang Kai-shek menuju ke selatan. Pasukan Vietminh, di bawah pimpinan Partai Bur Vietnam, telah setahun berhasil mempertahankan perjuangan bersenjatanya melawan agresor Perancis. Kaum gerilya Hukbalahap di Filipina, yang berpusat di Luzon Tengah, telah memperluas operasinya. Di Malaya, di samping kaum buruh melakukan pemogokan besar- besaran, pada bulan Juni 1948 Partai Komunis Malaya melancarkan pemberontakan bersenjata melawan penjajah Inggris.

PK Birma yang dipimpin oleh Thakin Than Tim, menolak persetujuan perjajian Inggris-Birma yang ditandatangani oleh U Nu pada bulan Januari 1948; oleh Thakin Than Tim bersama Partainya, pemerintah U Nu disebut sebagai "alat imperialis Ingrris" dan diserukan untuk menggulingkannya; pada bulan Maret Thakin memimpin Partai melancarkan perjuangan bersenjata.

Pada bulan Februari di Kalkuta diadakan "Konferensi Pemuda Mahasiswa Asia yang beijuang untuk Kebebasan dan Kemerdekaan". Konferensi ini dihadiri oleh wakil-wakil antara lain dan Tiongkok, Birma, Malaya, Indonesia.

Seiring dengan perkembangan gerakan revolusioner di ber bagai negeri itu, Amerika Serikat berusaha mencari tumpuan di mana-mana, termasuk di negeri-negeri Asia yang berbatasan dengan Lautan Teduh. Indonesia yang mempunyai letak strategis dan kaya alamnya dipandang oleh Amerika sebagai tempat yang masih ‘kosong’. Sejak 17 Agustus 1945 Amerika melihat suatu kenyataan bahwa di Indonesia telah lahir sebuah Republik yang didukung oleh seluruh rakyat.

Bukan karena kebaikan hati Amerika bilamana Amerika cenderung "merestui" lahirnya Republik
ini. Sebab bilamana penjajah Belanda sampai kembali menguasai Indonesia maka, menurut Amerika, keadaan di indonesia takkan pernah tenteram. Situasi Indonesia yang demikian takkan menguntungkan "strategi sedunia" Amerika. Maka bagi Amerika akan lebih menguntungkan bilamana Indonesia menjadi negeri yang merdeka, tetapi dikuasai oleh orang yang dapat dikendalikan oleh Amerika. Beruntunglah Amerika, karena di Indonesia muncul orang yang dikehendakinya, yaitu Mohamad Hatta.

Setelab FDR berdiri dan mulai aktif, usaha pertama yalah mengadakan turne, penjelasan keliling ke daerah-daerah. Penjelasan keliling ini antara lain dilakukan oleh: Amir Sjarifiidin (Partai Sosialis), Luat Siregar (PKI), Setiajid (PBI) dan Krissubanu (Pesindo). Dalam rapat-rapat umum yang diadakan waktu penjelasan keliling ini wakil-wakil FDR menjelaskan kepada rakyat tentang politik FDR; sikap clan pembelejetan terhadap pemerintah Hatta, khususnya masalah re-ra dalam Angkatan Perang; menjawab fitnahan-fitnahan kaum reaksioner, khususnya Murba; yang memalsu dokumen FDR; dan tuntutan berdirinya Front Nasional.

Di samping penjelasan keliling sebagai kegiatan FDR, kaum buruh yang tergabung dalam SOBSI juga mengadakaan aksi, a.l. tuntutan kenaikan jaminan sosial oleh anggota Sarbupri/Sobsi Delanggu/Solo.

Pada tanggal 2 Juli 1948, jam 8 malam, Sutarto, Komandan Divisi Pertempuran Panembahan Senopati (DPPS), secara pengecut ditembak dari belakang. Penembakan terhadap Sutarto dengan cara demikian ada yang menyebut "rasionalisasi dengan cara lain".

Pada bulan Mei 1948, berdasar peraturan rasionalisasi, Sutarto yang divisinya kompak dan persenjataannya cukup baik, dinayatakan non-aktif dan pasukannya diperintahkan melapor kepada Markas Besar di Yogya. Sutarto bersama komando bawahannya menentang perintah Markas Besar ini.

Sikap Sutarto beserta perwiranya ini didukung oleh kekuatan Kiri di Solo beserta laskar- laskar yang
menentang re-ra. Untuk menyatakan dukungannya, pada tanggal 20 Mei, bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, di Solo terjadi demonstrasi protes yang besar menentang re-ra pemerintah Hatta. Demonstrasi ini juga diikuti oleh parade, sekaligus protes, oleh beberapa batalyon bersenjata lengkap dan berat dari Pesindo dan Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI). Dalam parade dan demonstrasi tersebut diserukan dukungan terhadap kelanjutan Sutarto sebagai komandan divisi dan tuntutan agar Pemerintah membatalkan re-ranya.

Pada bulan Juli di dalam Divisi IV diadakan ‘reorganisasi sendiri’. Divisi IV berubah nama menjadi ‘Divisi Pertempuran Panembahan Senopati’ (DPPS). ‘Reorganisasi sendiri’ yang diadakan oleh Panembahan Senopati ini jauh dari keinginan, apalagi melegakan, Hatta dan Nasution di Yogya. Sebab: jumlah anak buah, personalia dan kedudukan komandan dan pembagian senjata di dalam DPPS adalah
sama dengan di dalam Divisi Panembahan Senopati yang semula.

Setelah Sutarto tertembak, komandan DPPS dipegang oleh LeKol Suadi.

Mengenai rasionalisasi di kalangan Angkatan Bersenjata, pa- da tanggal 2 September 1948, Hatta di muka sidang BP-KNIP menyatakan antara lain bahwa: "Istimewa terhadap angkatan perang kita rasionalisasi harus dilaksanakan dengan tegas dan nyata…; "… berpedoman kepada cita-cita "satu tentara, satu komando"; "… dalam bentuk dan susunan yang efektif’; "… mengurangkan jumlah angkatan perang kita sampai kepada susunan yang rasionil". Fikiran Hatta ini tidak jatuh dari langit. Beberapa peristiwa yang dapat dicatat adalan sebagai berikut.

Pada Het Corps Algemene Politie te Batavia laporan yang sangat rahasia bertanggal 1 April 1948 dan berbunyi antara lain sebagai berikut: "Sementara itu telah diadakan pertemuan rahasia antara Graham, Sukarno dan Sukiman. Graham menyatakan, bahwa Indonesia dianggap layak untuk dimasukkan dalam pelaksanaan bantuan rencana Marshall (Marshall-plan) untuk Asia Tenggara dan agar supaya
pemerintah membendung semua kegiatan Sayap Kiri".

Untuk pelaksanaan rasionalisasi di kalangan angkatan bersenjata pada tanggal 8 Mei 1948 telah diadakan rapat Dewan Siasat Militer yang dihadiri oleh Hatta bersama pimpinan Angkatan Bersenjata: Sudirman, Nasution, Latif, Subijakto dan Surjadarma.

Dalam rapat ini dibicarakan dua hal. Pertama, yang disetujui oleh semua yang hadir, TNI-Masyarakat secepat mungkin dibubarkan. Mengenai soal ini Nasution berpendapat, bahwa TNI- Masyarakat pada prinsipnya telah dibubarkan. Kedua, Hatta bersedia memberikan basis militer kepada Amerika, yang ditukar dengan senjata. RI yang belum berumur tiga tahun ini oleh Hatta telah dijual kepada Amenika.

Seiring dengan peristiwa itu John Coast, G. Hopkins dan 5 orang "diplomat" Amerika Iainnya dipindalikan dari Bangkok dan New Delhi ke ibukota RI. Pemindahan mereka ini bukan kebetulan.

Pada tanggal 21 Juli 1948 secara rahasia telah diadakan pertemuan di hotel "Huisje Hansje" Sarangan (Madiun). Pertemuan itu dihadiri oleh: Gerald Hopkins (penasihat politik Presiden Truman), Merle Cochran (wakil baru Amerika, pengganti Graham, dalam Komisi Jasa-jasa Baik), Sukarno, Hatta, Sukiman (ketua Masyumi dan menteri dalam negeri), Mokhamad Roem (anggota Masyumi) dan Kepala Polisi Sukanto (menurut: Roger Vailland dalam buku "Borobudur"). Dalam pertemuan ini tidak hadir orang dari PNI.

Dalam pertemuan Sarangan ini, yang belakangan terkenal dengan sebutan "Perundingan Sarangan", dihasilkan "Red Drive Proposals" atau usul-usul Pembasmian Kaum Merah" Setelah pertemuan Sarangan ini, atas laporan Cochran, State Department (Kementerian Luar Negeri A.S.) berpendapat bahwa
posisi Hatta harus cepat diperkuat agar supaya dapat menahan perkembanaan Komunisme.

Setelah pertemuan Sarangan ini pula Kepala Polisi Sukanto dikirim ke Amerika untuk mengurus bantuan. Temyata tidak tanggung-tangggng bantuan yang diterima oleh Hatta: 56 juta dollar AS dari State Department Amerika. Uang ini oleh Hatta antara lain untuk memperlengkapi pasukanan dalam Pemerintah, divisi Siliwangi. Jadi kalau Hatta di depan BP-KNIP mengajukan masalah: "Mestikah kita bangsa Indonesia, yang mem perjuangkan bangsa dan negara kita, hanya harus memilih antara pro Rusia dan pro Arnerika?”,. maka jawabnya yalah peristiwa- peristiwa di atas.

Dalam bulan Agustus, tanpa kehadiran Panglima Sudirman, pimpinan angkatan darat mengadakan sidang. Sidang itu mensinyalir adanya "ancaman" PKI terhadap jalan perundingan dengan Belanda, keamanan dalam negeri dan rasionalisasi. Dalam sidang itu Nasution menyatakan kesediaannya menggunakan divisi Siliwangi untuk menghancurkan pengaruh Komunis.

Dalam pidato di muka BP-KNlP mengenai rasionalisasi Hatta juga menyatakan, bahwa:"… di sinilah terdapat pemakaian tenaga yang tidak lagi produktif.."; "…angkatan perang yang jumlahnya 463.000 orang tidak dapat dibelanjai oleh negara… Rasionalisasi yang kita tuju yalah penyempurnaan dan pembangunan yang meringankan beban masyarakat beserta mengurangkan penderitaan rakyat". Alasan yang nampaknya logis dan menarik ini sebenarnya hanya dalih. Sasaran tombak reorganisasi dan rasionalisasi Hatta tetap pada pasukan yang berbau "Kiri".

Ide Hatta-Nasution mengenai re-ra dan pembentukan "tentara yang efektif" sebenarnya bertolak dari persekutaan, yang dimulai sejak berdirinya kabinet Hatta pada Januari 1948, antara politisi yang pro Amerika yang dipelopori oleh Hatta dan Masyumi di satu fihak dan para perwira "profesional" yang
dipelopori oleh Nasution dan Simatupang di fihak lain.

Tujuan bersama persekutuan itu yalah melaksanakan ide: mendemobiliser laskar "yang sedikit banyak dipengaruhi oleh organisasi Komunis"; menyingkirkan perwira-perwira yang "tidak dapat dipercaya"; posisi pimpinan hanya diberikan kepada "perwira-perwira profesional" dan tipe tentara mendatang yang dikehendaki yalah tipe tentara Divisi Siliwangi (yang notabene dipimpin oleh Nasution) dan Corps Polisi Militer (yang dipimpin oleh Gatot Subroto).

(dokumen resmi DN Aidit, jang disimpan dalam perpustakaan pribadi dan resmi milik seksi Agitasi dan Propaganda/Agitrop PKI, keluaran tahun 1962)

[1] Untuk lebih jelasnya sikap saya, saya akan lampirkan pidato saya pada saat sidang parlemen di tahun 1958, dimana saya mengkritik kebijaksanaan Hatta terhadap peristiwa Madiun, isi pidato itu saya lampirkan setelah dokumen peristiwa Madiun.

Sumber: http://www.apakabar.ws/content/view/2953/88888889/

1 komentar:

  1. Selamat Sore

    Saya Pang Tuangthip mahasiwi S2 dari Thailand, Chulalongkorn Universitus, Mejor History.

    Saya sedang tulisan Thesis tengtang “Konsep Politik DN. Aidit” Saya tertarik “Sedjarah diriku (DARI BELITUNG SAMPAI BERKELANA TAK HINGGA)” yang Bapak post di http://balada-aidit.blogspot.com/2010/01/dn-aidit-sedjarah-diriku-i.html ya.

    Permitsi ya, saya mau tanya Bapak dapat original versi dari mana? Apakah tahu tentang tambahannya seperti sumbernya dari mana?, cetak pertama dimana? Kapan?, dicetak dalam koran atau majalah party?
    Saya sangat perlu memakai data tersebut untuk thesis oleh karena itu saya tidak bisa masuk ke sumber http://www.apakabar.ws/content/view/2953/88888889/.

    Terima kasih banyak ya
    Pang
    (email: pangztuangthip@gmail.com)

    BalasHapus